Darul Manthiq - Bening Hati Cemerlang Akal Di Sini dan Di Sana

PENGETAHUAN SPIRITUAL IBNU ARABI AL-SYAIKHU 'L-AKBAR

Jumat, 09 Desember 2011

Mendengar atau membaca untaian kata Ibnu Arabi yang menjadi nama yang tertuju kepada Filosof Muslim Andalusia, langsung bersentuhan dengan penyimpangan dari ajaran Al-Islam, mengingat Ibnu Arabi menyampaikan ajarannya tentang Wihdatu 'l-Wujud.

Tuduhan penyimpangan tersebut atau penyalahan memahami banyak orang terhadap ajaran Wihdatu 'l-Wujud Ibnu Arabi ini, telah mengakibatkan beliau hijrah dari Andalusia (Spanyol sekarang) ke Makkah Arab Saudi. Beliau dikejar-kejar dan hendak dipenjarakan, bahkan mungkin dibunuh oleh penguasa saat itu karena ajarannya dianggap sesat dan menyesatkan. 

Sebenarnya yang menimpa kepada Ibnu Arabi seperti tersebut di atas, juga menimpa tokoh sufi lainnya, seperti Al-Hallaj dengan ajaran "Aku Allah" (Ana 'l-Haqq); dan Syeikh Siti Jenar dengan konsep "Manungaling Kawula Gusti".

Ada hal yang menarik dari Ibnu Arabi itu, yaitu mengenai ajarannya berupa pengetahuan yang sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan pengalaman empiris; dan tak terjangkau oleh akal-rasional. Hal ini menjadi suatu tataran yang bersifat ilahiah yang transcendental yang mengandung dan mengundang persengketaan.

Orang pada umumnya membikin pertentangan mengenai pengetahuan atau mempertentangkan pengetahuan dengan spiritualitas. Mengingat pengetahuan mesti ilmu dalam artian sain yang diproduksi penelitian yang mengandalkan kekuatan indera semata. Padahal ada hal-hal yang bersifat spiritual-ilahiah dalam pengetahuan itu, sehingga Sayyed Hossein Nasr mengemukakan bahwa ada Scientia Sacra, yaitu tentang yang ilahi dan yang suci, yang tidak dapat dijangkau dengan penalaran rasional semata-mata, tetapi juga diperlukan intuisi dan kejernihan hati nurani untuk dapat menggapainya.

Fa Wajada 'Abdan Min 'Ibadina Atainahu Rahmatan Min 'Indina Wa 'Allamnahu Min Ladunna 'Ilman: Lantas mereka berdua bertemu dengan salah seorang dari hamba-hamba Kami yang telah Kami memberikan rahmat kepadanya dari sisi Kami; dan Kami telah mengajarkan suatu ilmu kepadanya dari sisi Kami. (QSS. Al-Kahfi, 18 : 65).

Pertentangan suatu ajaran pada dasarnya tidaklah, merupakan, hal yang aneh, mengingat al-Kisah mengingatkan bahwa hampir seluruh ajaran baru pada awalnya dianggap sempalan dan ditentang oleh masyarakat setempat.

Dengan demikian, ayat tersebut menggambarkan adanya ilmu yang langsung berasal dari Allah Swt Awj berupa ilham atau wahyu. Salah seorang dari hamba-hamba Allah Swt Awj adalah Nabi Khidhir; dan yang dimaksud dengan rahmat adalah wahyu dan kenabian. Sedangkan yang dimaksud ilmu adalah ilmu tentang yang ghaib sebagaimna tercantum dalam kisah Nabi Musa dan Khidhir yang tercantum dalam QSS. Al-Kahfi, 18 : 66 -82). Di mana kisah tersebut menunjukkan bahwa,

A. Ilmu Laduni:
1. Ilmu Mukasyafah: mampu melihat dengan pandangan batin yang berasal dari ilham maupun dari wahyu;
2. Pengetahuan yang diperoleh seseorang yang shalih dari Allah Swt Awj melalui ilham dan tanpa dipelajari dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu;
3. Ilmu yang bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah Swt Awj;
4. Bukanlah hasil mempelajari suatu ilmu pengetahuan, tetapi merupakan ilham yang diletakkan ke dalam jiwa (qalbu: hati nurani) orang mu'min yang hatinya bersih. Pengetahuan pemberian Allah Swt Awj untuk menangkap suatu kejadian yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi; sebab, hati yang bersih dapat melakukan komunikasi kepada sumber ilmu, yaitu Allah Swt Awj Yang Maha Mengetahui segala sesuatu;

B. Nabi Khidhir As sebagai orang yang mempunyai ilmu laduni dan Nabi Musa As sebagai orang yang mempunyai pengetahuan biasa serta ilmu lahir.

C. Namun pada hakikatnya, semua ilmu makhluk adalah ilmu laduni, yang artinya ilmu yang berasal dari Allah Swt Awj. Qalu Subhanaka La 'Ilma Lana Illa Ma 'Allamtana Innaka Anta 'l-'Alimu 'l-Hakim: Para malaikat berkata "Mahasuci Engkau, kami tidak memiliki pengetahuan selain ilmu yang Engkau telah mengajarkannya kepada kami; sungguh Engkau Maha benar-benar Mengetahui lagi Maha Bijaksana ." (QSS. Al-Baqarah, 2 : 32).

Ibnu Arabi menjelaskan bahwa:
1. Ulama Syari'at mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kiamat. Semakin hari, ilmu mereka semakin jauh dari nasab;
2. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka;
3. Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah Swt Awj secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong sistem belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah Swt Awj;
4. Maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud, bukan dari hasil pebahasan, pemikiran, dugaan, ataupun taksiran belaka.

SISI GENDER TERSELIP DALAM KONTEMPLASI KETUHANAN IBNU ARABI MELALUI KE-PEREMPUAN-AN

Sabtu, 03 Desember 2011

IBNU ARABI
Asy-Syaikhu 'l-Akbar menyelinap padaku sesaat dalam waktu yang sebentar
Bekasannya semacam ruang pertemuan untuk belajar berkepanjangan lewat khiwar
Pembuka ruang mengenang Asy-Syaikh kapan dilahirkan; senandung harapan kepada Tuhan lewat Al-Fatihah dan dzikir sufistik miragasukma sarana terjadinya i'tibar
Asmanya kusebutkan sebagaimana firman Tuhan
Perlambangnya mesra Peraga Agama di alam semesta Madlhar Tuhan, Muhyi 'l-Din, Abu Bakar Muhammad bin Ali bi Arabi keturunan Hatim al-Thaiy, dikenal Mahaguru Terbesar, juga Al-Kibritu 'l-Ahmar
Sang Sumber Api bernisbat Arab turunan heriditas Hatim Al-Thaiy menjelma pertama di tanah belahan Mursia, jumlah waktu 560 Hijriyah
Api melebar karena berbahan bakar Al-Qur'an dan berbensin Al-Hadits, yang menampak di Seville; menyalalah api semakin membesar menuju mantap menetap selama 30 tahunan di Sevilla tempat ia belajar
Sang Mahamerah berpindah diri menyebar diri ke negeri-negeri timur, demi mengkaji hadits pada Ibnu Asakir dan Ibnu Al-Jauzi
Baghdad, Mosul dan negeri-negeri di Roma ia jelajahi
Mahaguru Terbesar berpengetahuan amat luas, meskipun hampir menyaingi Al-Muhith, namun tidak jadi, ia sadar diri bahwa ia berupaya menjadi manusia ilahi, yang penghujung posisinya menjadi Wadah Ilahi, untuk mengilahiyahkan segala diri
Punahlah fisik wadah diri dan ilahi dipendam di bawah tanah Damaskus tahun 638 Hijriyah menurut khabar pasti; namun kuyakin percikan-percikan api Tuhan tak ikut fisik mati yang terendam padam sebab tak memungkinkan lagi memantulkan cahaya tadi; namun ruhnya bergabung dengan ruh-ruh tak umum dalam Ruh Umum yang tak pernah padam dan susah dikubur; bekas penampakan Tuhan bisa saja memusnah sementara, namun Sang Tuhan tetap ada, kilatan-Nya tak henti memercikkan api
Bercakan cahaya baik yang menempel pada karya tulis Sang Belerang Merah maupun siratan ruhaniyahnya yang tak pernah mati, kusedang sadap ia semoga menyerap
Bila Tuhan berkehendak demikian atau tidak, terjadilah serapan yang diharap sebagai limpahan Tuhan
Sang Madlhar Tuhan berbakat besar dianugerahi oleh Tuhan kemampuan sastra yang tinggi, pikirannya amat dalam, dan penuh gagasan imajinatif. Ia penulis karya-karya prosa dan puisi, tak peduli dengan kekayaan dan kekuasaan, sering ekstase dan mena'wil. Karya-karyanya mencapai lebih dari 150 buku dalam berbagai disiplin ilmu yang semuanya berkualitas dan berpengaruh. Buku-buku yang ditulis tentang dirinya begitu banyak tak dapat dapat dihitung. Karyanya yang terpenting adalah Fushushu 'l-Hikam dan Al-Futuhatu 'l-Makkiyyah. Namun kitab yang berkaitan dengan Kontemplasi Ketuhanan Ibnu Arabi melalui ke-perempuan-an, ialah, Kitab Tarjumanu 'l-Asywaq (Tafsir Kerinduan).

BUKU TAFSIR KERINDUAN
Kekangan Tuhan tidak membuat aku renggang; tak pula membuat aku bercengkraman lengket dekat tergenggam dalam buaian-Nya; di bilang dekat tidak, sebab tak terangkul dan tak merangkul; dibilang jauh tidak, sebab Dia lagi dekat, tetapi masalahnya bersemayam dalam jiwa dan ragaku; namun bila dibilang dekat maupun jauh dapat membawa kepada kepunahan dan kemeniadaan Tuhan, lagi pembukanan dan pengyaan Tuhan, padahal Tuhan nir pebukanan dan pengyaan.

Maka inilah barangkali yang disebut rindu. Tapi bila ini rindu, sedangkan objek yang dirindui gelap bagiku; aku bodoh dan memang bodoh di, dari, dalam gelap itu. Maka yang terpancar cahaya dari Makhluk-Nya yang elok dan indah, terutama perempuan dan laki-laki. Semua perempuan dan laki-laki elok dan indah, kecuali laki-laki dan perempuan semuanya elok dan indah. Karena aku laki-laki, maka perempuan kujadikan media penafsiran rinduku kepada Tuhan. Namun bukan berarti Tuhan itu laki-laki atau perempuan atau laki-laki dan perempuan, bukan pula pertengahan; tidak pula gelap karena Tuhan tak jelas jenis kelamin-Nya; dan memang nir kelamin..

Tuhan adalah Tuhan; yang tahu bahwa Dia Tuhan adalah Tuhan. Aku percaya Tuhan bersemayam dalam perempuan, tetapi bukan perempuan yang fisik tampil yang terkenai kepunahan, melainkan ke-perempuan-an, yang di samping meliputi laki-laki dan perempuan juga mengandung dan mengundang rahasia ketuhanan. Nah, kutafsirkan kerinduan akan Tuhan melalui ke-perempuan-an, bukan perempuan juga bukan laki-laki bukan pula laki-laki dan perempuan.

Kuuntun peristiwa interpretasiku itu dalam bentuk puisi dengan komposisi yang beragam. Lewat kompilasi puisi ini kumemperlihatkan gagasan rinduku kepada Tuhan. Upaya penenunan puisi ini ketika aku bermukim di Makkah; dan di kota suci muslim inilah, aku melihat madlhar Allah berupa beberapa orang perempuan suci. Yang membuat aku tertarik untuk berekspresi berbau interpretsi rindu akan sang elok ada tiga perempuan:

1. Fakhru 'l-Nisa, saudara perempuan Syaikh Abu Syuja' Ibnu Rustam Ibnu Abi Raja'u 'l-Ishbihani. Ia adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Aku menkaji kitab hadits Sunanu 'l-Tirmidziy kepadanya.

2. Qurratu 'l-'Ain, Aku bertemu dengannya pada saat aku asyik tawwaf, memutari Ka'bah: Ketika aku sibuk sedang begitu asyik tawwaf, pada suatu malam, hatiku gelisah. Aku segera keluar dengan langkah sedikit cepat, melihat-lihat ke luar. Tiba-tiba saja mengalir di otakku bait-bait puisi. Aku lalu menyenandungkannya sendiri dengan suara lirih-lirih,

Aduhai, jiwa yang gelisah
Apakah mereka tahu
Hati manakah yang mereka miliki

O, relung hatiku
Andai saja engkau tahu
Lorong manakah yang mereka lalui

Adakah engkau tahu
Apakah mereka akan selamat
Atau binasa

Para pecinta bingung akan cintanya sendiri
Dan menangis tersedu-sedu

Tiba-tiba tangan yang lembut bagai sutra menyentuh pundakku. Aku menoleh. O, seorang gadis jelita dari Romawi. Aku belum pernah melihat perempuan secantik ini. Dia begitu anggun. Suaranya terdengar amat sedap. Tutur-katanya begitu lembut tetapi betapa padat, dan sarat makna. Lirikan matanya amat tajam dan menggetarkan qalbu. Sungguh betapa asyiknya aku bicara dengan dia. Namanya begitu terkenal, budinya begitu halus. Begitu usai aku menyampaikan syair itu di atas, perempuan itu mengatakan kepadaku:

Aduhai tuan, kau telah memesonaku
Engkaulah kearifan zaman

Mengalirlah dialog antara aku dan dia dalam suasana mesra, saling memuji, mengagumi, dan dengan keramahan yang anggun. Lalu aku mengenalnya sangat dekat dan aku selalu bersama dengan dia. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan. Pengetahuannya tentang yang ini sungguh sangat luar biasa.

KH. Hussein Muhammad (2011)  menyebutkan bahwa, Sang perempuan memberikan komentar-komentar spiritualitas ketuhanan secara spontan atas puisi-puisi Ibnu Arabi di atas, bait demi bait. Sesudah itu, dia memperkenalkan dirinya sebagai Qurrah al-Ain, lalu dia pamit dan melambaikan tangan sambil mengucapkan "salam" perpisahan dan pergi entah ke mana. Dan, Ibnu Arabi pun terpana.

3. Aku bertemu dengan Sayyidah Nidlam, anak perawan Syaikh Abu Syuja'. Sayyidah Nidlam biasa dipanggil 'Ainu 'l-Syams (mata matahari) dan Syaikhahu 'l-Haramain (Gurubesar untuk wilayah Makkah dan Madinah). Aku begitu terpesona akan dia. Maka aku terus mengalirkan pujian-pujian yang begitu deras tak tertahankan kepadanya. Manakala dia bicara, semua yang ada menjadi bisu. Dia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya begitu jelita, tutur bahasanya sungguh lembut, otaknya memperlihatkan kecerdasan yang sangat cemerlang, ungkapan-ungkapannya bagaikan untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun dan bersahaja.

K.H. Hussein Muhammad (2011) menjelaskan bahwa, Banyak komentar orang yang menyatakan bahwa kitab Tarjumanu 'l-Asywaq merupakan refleksi-refleksi kontemplatif Ibnu Arabi atas keterpesonaannya yang luar biasa pada perempuan perawan mahaelok itu. Keterpesonaan ini, sekaligus pengalaman spiritualitasnya bersama Nidlam, diungkapkan jelas dalam syairnya dalam buku Tarjumanu 'l-Asywaq ini.

Betapa rinduku begitu panjang
Pada gadis kecil, penggubah prosa,
Nidlam (pelantun puisi), mimbar, dan bayan

Dialah putri raja-raja Persia
Negeri megah dari Ashbihan
Putri Irak, putri guruku
Sementara aku?
O, betapa jauhnya
Mayangku dari Yaman

Andai saja kalian tahu
Betapa kami berdua
Saling menghilangkan
Cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari

Adakah, kalian, wahai Tuan-Tuan
Pernah melihat atau mendengar
Dua tubuh yang bersaing
Dapat menyatukan rindu

Andai saja kalian tahu
Cinta kami
Yang menuntun kami
Bicara manis,
bernyanyi riang
meski tanpa kata-kata

Kalian pasti tahu
Meski hilang akal
Yaman dan Irak nyatanya
Bisa berpelukan

YANG TERSELIP DALAM BUKU TAFSIR KERINDUAN IBNU ARABI
Perempuan begitu pula laki-laki, kerinduan, birahi, seksual, dan erotisitas tubuh adalah sesak dengan keilahian, sekaligus dapat menjadi sarana penghilangan kesemuaan yang tinggal adalah dimensi spiritualitas, yang justru itulah realitas, yang bila kejadian sangat sulit digambarkan; ia ada dalam tataran das Ding An Sich, secara mahdhoh ada di Tuhan sendiri. Lantas Ibnu Arabi sang pemberani yang justru das Ding An Sich di das Ding fur Mich kan (Tuhan menurut penghayatan aku yang mengsufistik rasionalis lagi empirik) yang sarananya, ya itu lah diri, alam, dan budaya, namun yang terpenting yaitu diri manusia yang dilambangkan laki dan perempuan. Perempuanlah, yakni eksitensial ke-perempuan-an yang benar benar perempuan ajang kepanaan manusia pewujud ketuhanan, sebagai alat ngaboretekeun (ngebrehkeun; ngajelaskeun) bahwa yang ada hanyalah Allah. Makanya ke-perempuan-an di samping meusnahkan segala juga sekaligus mengaffirmasikan secara tegas dan lugas keberadaan dan mengada serta cara mengadakan Allah dalam diri manusia di tengah-tengah alam semesta.

Karena itu puisi-puisi Ibnu Arabi sesak spiritualitas, bukan sesak religionitas, sehingga bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan, meskinya lebih dibaca dari sisi menegasikan yang non ilahiyah, yang justru hasilnya jadi affirmasi kebertuhanan yang justru mengikis pemahaman yang dangkal, gersang, dan tanpa makna. Itulah, puisi adalah wadah mengerti dan suatu pengertian yang tak cukup terwadahi oleh kata-kata, namun terpaksa dan memaksakan digunakanlah kata-kata sebagai simbol dari pikiran dan relung hati yang amat dalam; maka ceraplah pengertiannya bukan kata-katanya. Puisi adalah untaian kata-kata yang sarat makna, penuh nuansa pikir dan hati yang sulit ditebak. Maka, memang puisi Ibnu Arabi bisa diberi makna ganda bahkan majmuk: esoterik dan eksoterik.

K.H. Hussein Muhammad (2011) menjelaskan bahwa, Dalam puisi-puisi di atas, Ibnu Arabi boleh jadi memang sedang dicekam kerinduan yang membara terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain, kecintaan Ibnu Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan intelektual, namun juga secara fisik dan psikhis. Katanya, "Jika saja tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap degan hasrat kebencian, akan aku sebutkan di sini keindahan lahiriah sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan". kan tetapi, para pengagumnya yang fanatik menolak tafsir ini. Dalam ungkapan-ungkapan Ibnu Arbi, menurut mereka, memang sungguh-sungguh tengah berkontemplasi dan merefleksikan cinta yang menggelora kepda Tuhan. Katanya suatu ketika, "Kontemplasi terhadap Realitas tanpa dukungan formal adalah tidak mungkin, karena Tuhan, Sang Realitas, dalam Essensi-Nya, terlampau jauh dari segala kebutuhan lama semesta. Maka, bentuk dukungan formal yang paling baik adalah kontemplasi akan Tuhan dalam diri perempuan". Dengan kata lain, dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.

Reflektif dan kontemplasi spiritualitas ketuhanan Ibnu Arabi, lebih merupakan upaya membantu simpanan-simpanan dan rahasia-rahasia, yang justru perlu dan dapat disadari, diketahui, dipahami, dikenali, dan dimaklumi melalui yang tersimpan dan hal rahasia itu sendiri. Simpanan dan rahasia itu adalah misteri diri di hadapan kita sendiri; namun jelas di hadapan Allah Swt Awj. Karena itu, puisi tadi sebenarnya mengelabui diri, sebab yang hakiki bila dinyatakan baik lewat kata maupun ekspresi gerak, maka ia bukan lagi yang hakiki melainkan gambaran tentang yang hakiki. Nah, kata, bahasa, ekspresi diri yang berupa upaya yang menggambarkan yang hakiki tadi, meski kiasan-kiasan, metafora-metafora, simbol-simbol, dan rumus-rumus yang mengandung makna-makna mistis dan sarat dengan embusan-embusan spiritualitas ketuhanan yang menukik dan melampaui, meskipun dimaknai dan ditangkap maknanya oleh sang penulisnya sendiri pasti tak cukup mewakili, baik bagi dirinya sendiri, apalagi pihak lain.

K.H. Hussein Muhammad (2011) menguraikan beberapa istilah dari Ibnu Arabi tadi di atas sebagai berikut:
1. Dzat Natsr wa Nidlam merupakan ungkapan tentang Wujud Mutlaq dan Sang Pemilik (Pengatur) alam semesta;
2. Mimbar bermakna sebagai martabat-martabat (tangga-tangga) dalam alam semesta, alam kosmos, metafisika, atau "mimbar alam semsta";
3. Bayan diberi makna "Maqam Risalah" (Tempat Kenabian);
4. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi selalu memperlihatkan dualisme makna: lahir dan batin, tubuh dan ruh, ketuhanan dan makrokosmos, teologis dan kosmologis, fisika dan metafisika;
5. Semua puisi berkaitan dengan kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai bentuknya, seperti tema-tema cinta, eulogi, nama-nama dan sifat-sifat perempuan, nama-nama sungai, tempat-tempat, dan binatang-binatang;
6. Ana Dhidduha (Aku lawannya):
    a). Jika anda mengetahui keadaan-keadaan kami berdua, niscaya anda mengerti satu tempat (maqam) yang tidak dapat dipahami akal pikiran;
    b). Penyatuan sifat kasar (al-Qahhr) dan kelembutan (al-Luthf);
    c). Penyatuan dua hal yang berlawanan merupakan cara mengetahui Tuhan, meskipun ini amat sulit untuk dipahami oleh akal (nalar);
7. Pengalaman spiritualitas menghanyutkan, sangat ruhaniah dan irrasional;
8. Gagasan yang berkaitan dengan penyatuan Yin dan Yang atau meskulinitas dan femenimitas, ittihad, dan hulul;
9. Pengetahuan tentang ketuhanan (Ma'rifah Ilahiyyah) hanya dapat ditempuh melalui kontemplasi pada diri perempuan;
10.Melalui perempuanlah Tuhan ditemukan dalam Wujud-Nya yang Mahasempurna dan Mahaindah;
11.Pada diri perempuanlah laki-laki dapat merenungkan keilahian. Ketika laki-laki merenungkan Al-Haqq (Tuhan) dalam dirinya sebagai wujud yang darinya perempuan diciptakan, maka (berarti) dia merenungkan Tuhan dalam modus yang aktif. Namun bagaimanapun juga, jika dia merenungkan Tuhan dalam dirinya tanpa mereferensi pada perempuan, maka dia merenungkan Al-Haqq (Tuhan) dalam modus pasif. Pada diri perempuan dia dapat merenungkan Tuhan baik dalam peran aktif maupun pasif.

Jadi penyebutan nama-nama perempuan dalam kontemplasi ketuhanan Ibnu Arabi menurut K.H. Hussein Muhammad (2011) terseliplah di dalamnya bahwa:
1. Ibnu Arabi ingin memperlihatkan pandangannya tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender;
2. Perempuan adalah jiwa yang sempurna;
3. Antara laki-laki dan perempuan memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang lain. Meski demikian, keduanya adalah setara (sama) dalam kesempurnaannya, ini identik dengan makna firman Tuhan, Tilka 'l-Rusul Fadhdhalna Ba'dhahum 'ala Ba'dh (Para utusan itu satu atas yang lain Kami lebihkan, QSS. Al-Baqarah, 2 : 253). Dari aspek kerasulannya keduanya sama, tidak ada yang lebih ungggul. Tapi dari aspek tugas kerasulannya, memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang. Memang, karena pada saat lain Tuhan juga menyatakan, La Nufarriqu Baina Ahad min Rusulih (Kami tidak membeda-bedakan di antara utusan-Nya, QSS. Al-Baqarah, 2 : 285). Untuk itu, relasi laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa kedua jenis kelamin ini adalah setara dalam aspek universalitas kemanusiaannya, tetapi berbeda dalam tugas kemanusiaannya dengan kadar yang yang relatif, tergandung konteks sosialnya. Ibnu Arabi menyatakan dalam Al-Futuhatu 'l-Makkiyyah bahwa:


Perempuan adalah saudara kandung laki-laki
Di alam ruh dan dalam tubuh kasar
Keduanya satu dalam eksistensi
Itulah manusia
Perbedaan antara mereka aksiden semata
Perempuan dan laki-laki memang beda.

KISI-KISI EPISTEMOLOGIS DALAM FILSAFAT ISLAMI

Minggu, 27 November 2011

Ada dua pertanyaan mendasar yang merangkengi hakikat ilmu dalam filsafat Islami yang menjadi kisi-kisi epistemologis. Pertama yang berkaitan dengan objek ilmu, yaitu "Apa yang dapat diketahui?"; yang kedua menyangkut metode ilmu, yaitu "Bagaimana mengetahui sesuatu?"

OBJEK ILMU
Objek atau sasaran ilmu tidak lepas dan dilepaskan dari wilayah ada. Ada empat wilayah ada, yaitu (1) Wilayah Ontis Dunia Anorganis; (2) Wilayah Ontis Dunia Organis; (3) Wilayah Ontis Dunia Psikhis; dan (4) Wilayah Ontis Dunia Ruhani. Wilayah Ontis Dunia: (a) Anorganis dan (b) Organis menyangkut wujud (eksistensi) fisik ('alam syahadah); sedangkan Wilayah Ontis dunia: (a) Psikhis dan (b) Ruhani menyangkut wujud metafisik ('alam ghaib). Karena itu, Objek Ilmu berpadanan dengan seluruh rangkaian wujud, baik wujud ghaib maupun wujud syahadah. Karena seluruh wujud masuk kepada tataran metafisis (ontologis, teologis, kosmologis, dan antroplogis) maka persoalan wujud menjadi world view (pandangan dunia) yang melukiskan susunan wujud. Nah susunan wujud  itu adalah (1) yang tertinggi adalah Allah Swt Awj yang berkat dan rahmat-Nya turun melalui akal-akal; (2) Akal satu sampai sepuluh yang disebut akal aktif (malaikat); (3) Jiwa-jiwa dan benda-benda angkasa; (4) Alam dunia (wujud yang terendah), dunia di bawah bulan. Wujud-wujud yang tersusun secara metafisis ini dipilah-pilah menjadi objek-objek ilmu.

Pemilahan wujud-wujud secara metafisis yang menjadi objek-objek ilmu itu mendukung pemunculan klasifikasi ilmu. Pentingnya klasifikasi ilmu untuk (a) mengetahui ruang lingkup pengetahuan manusia, dan (b) melihat antar hubungan satu cabang ilmu dengan yang lainnya; juga (c) mencerminkan urutan-urutan ilmu ditinjau dari sisi kepentingannya.

Ilmu-ilmu itu sempat dibagi ke dalam Arab dan Ajam (asing); di mana kelompok ajam ini terutama ilmu-ilmu Yunani. Perkembangan proses sintetis ilmu-ilmu menyebabkan ilmu-ilmu itu diklasifikasikan atas dasar yang lebih canggih yang mencerminkan pandangan Dunia Islam. Al-Farabi mengklasifikasi ilmu mengikuti Aristoteles dengan menekankan Ilmu-ilmu linguistik, fiqh (yurisprudens), dan kalam (teologi spekulatif).

Al-Khawarizmi....

HAKIKAT PENDIDIKAN

Sabtu, 26 November 2011

Pembicaraan "Hakikat Pendidikan" mengundang dan mengandung pemikiran yang kritis, metodis, dan sistematis. N. Driyarkara menandaskan pendidikan sebagai suatu ilmu merupakan "Pemikiran ilmiah tentang realitas yang kita sebut pendidikan (mendidik dan dididik). Pemikiran ilmiah bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Kritis: Semua pernyataan, semua afirmasi harus mempunyai dasar yang cukup kuat. Orang yang bersifat kritis ingin mengerti betul-betul (tidak hanya membeo), ingin menyelami sesuatu dengan seluk-beluknya dan dasar-dasarnya. Metodis: Dalam proses berpikir dan menyelidiki itu orang menggunakan suatu cara tertentu. Sistematis: Pemikiran ilmiah dalam prosesnya itu dijiwai oleh suatu idea yang menyeluruh dan menyatukan, sehingga pikiran-pikirannya dan pendapat-pendapatnya tidak tanpa hubungan, melainkan merupakan kesatuan." 

Idea yang menopang hakikat pendidikan ialah bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan dasar yang memungkinkan berkembang dan dikembangkan ke arah yang selaras dengan kehendak diri sendiri, sesama, lingkungan, dan Tuhan.

Kalau idea bahwa manusia memiliki kemampaun dasar, maka idea tersebut menopang kepada suatu pengertian, dalam hal ini pengertian pendidikan; di mana pengertian pendidikan berdasar idea tersebut, pendidikan adalah "Upaya sadar dari pihak manusia yang telah dewasa berupa pemberian-bantuan kepada pihak manusia yang dianggap belum dewasa agar menjadi manusia dewasa."

Manusia yang telah dewasa ialah manusia yang telah mencapai kemanusiawiannya, yakni telah menjadi manusia. Sedangkan manusia yang dianggap belum dewasa ialah manusia sebelum menjadi manusia, yakni manusia berada dalam wujud potensi. Manusia yang dalam wujud potensi inilah perlu bantuan dari pihak yang menjadi manusia agar ia berhasil menjadi manusia. Namun kapan menjadi manusia itu?

M.J. Langeveld menjelaskan bahwa manusia dikatakan manusia manakala ia (1) memahami, mengerti, dan mencintai dirinya (individualitas); (2) memahami, mengerti, dan mencintai orang lain (sosialitas); dan (3) menyadari, memiliki norma kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan; serta bertindak, berbuat sesuai dengan norma kesusilaan, nilai-nilai hidup atas tanggungjawabnya sendiri demi kebahagiaan dirinya dan kebahagiaan masyarakat, orang lain. Sebelum menjadi pribadi dewasa susila, manusia berada dalam wujud potensi. Keadaan ini nampak jelas dialami anak-anak; namun keadaan anak bersama orang lain, memungkinkan dia memperoleh bantuan orang lain, yaitu orang dewasa susila, untuk mengangkat dirinya ke tarap insani, menjadi pribadi dewasa susila. Perbuatan yang menyebabkan manusia menjadi manusia, menjadi pribadi dewasa susila disebut pemanusiaan manusia muda. Inilah hakikat (intisari) pendidikan. Manusia dewasa susila merupakan tujuan umum pendidikan."

Ahmad Tafsir (2006) menandaskan bahwa "dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Tidaklah mudah menjadi manusia; sejak dahulu banyak gagal, banyak manusia gagal, menjadi manusia. Tujuan pendidikan ialah memanusiakan manusia; agar tujuan tesebut dapat dicapai dan agar program dapat disusun, maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu harus jelas. Kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani kuno menentukan tiga syarat untuk disebut manusia, yaitu (1) memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, (2) cinta tanah air, dan (3) berpengetahuan. Atas dasar ini inti pendidikan ialah menolong atau membantu, bukan mencetak atau mewujudkan. Pendidik mengetahui bahwa pada manusia itu ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu juga ada potensi untuk menjadi bukan manusia. Batu tidak mungkin ditolong menjadi manusia, karena batu tidak memiliki potensi menjadi manusia."

MENEROPONG DARI SUDUT KE-ANAK-AN ANAK TERHADAP PENDIDIKAN

Selasa, 22 November 2011

Ada tiga terma (istilah) pada topik ini, yaitu 1). Meneropong dari sudut, 2). Ke-anak-an anak, dan 3). pendidikan.

Terma "Meneropong dari Sudut" merupakan kerja akal berupa mengolah data yang terdapat dan/atau diperoleh dari empiris. Data empiris tersebut menyangkut tentunya hidup dan perikehidupan manusia di lingkungan di dunia ini di mana ia berada dan mengada. Kalau "Menoropong dari Sudut" merupakan kerja akal termaksud, maka ia sarat sisi epistemologis. Sisi epistemologis inilah yang dapat menjembatani antara "alam keharusan/alam keniscayaan" (die Welt der Sollenden) dan "alam kenyataan empirik" (die Welt der Seienden).

"Alam Keharusan/Alam Keniscayaan" merupakan suasana kejiwaan atau kerohanian yang dalam hubungan tertentu senantiasa, merupakan suasana yang diliputi oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat logik. Jadi, "Alam Keharusan/Alam Keniscayaan"  sesungguhnya sama dengan alam yang bersifat logik. Sedang "Alam Kenyataan Empirik" menunjuk kepada suasana yang bersifat inderawi dan sekaligus bersifat obyektif-kealaman; Dunia semacam ini tidaklah ditentukan oleh hukum-hukum berpikir dalam logika, melainkan ditentukan oleh prinsip-prinsip metafisik. Dengan adanya kedudukan di antara dua macam semacam ini berarti bahwa di satu pihak obyek atau sasaran peneropongan ("Meneropong dari Sudut") itu diharapkan atau dalam kenyataannya merupakan sesuatu yang dapat dipahami oleh manusia-manusia yang lain (di samping mereka yang langsung memperolehnya), di lain pihak diharapkan atau dalam kenyataannya juga dapat dalam babak terakhir ditangkap secara inderawi. Mengenai masalah kedudukan yang sentral ini dapatlah dikatakan bahwa pemikiran tanpa obyek atau sasaran merupakan sesuatu usaha seperti impian belaka, sedangkan tangkapan inderawi tanpa diolah lebih lanjut oleh akal merupakan suatu usaha yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.. Dengan perkataan lain (seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant), apabila hakikat pendidikan yang diperoleh dari peneropongan itu hendak memperoleh bobot yang bersifat ilmiah, maka haruslah ia mempunyai obyek atau sasaran yang secara langsung maupun secara tidak langsung dapat ditangkap secara inderawi, dan yang kemudian diolah lebih lanjut oleh akal manusia. (Soejono Soemargono, 1983 hal. 5).

Terma "Ke-anak-an Anak" pepal dengan eksistensial manusiawi manusia. Ke-anak-an menyangkut hakikat keperiadaan anak; anak itu sendiri menunjuk kepada manusia itu sendiri; jadi, "Ke-anak-an Anak" menyiratkan kepatutan penelaahan antropologi (hakikat manusia), khususnya antropologi anak; juga menunjukkan bahwa dalam konsep anak itu terdapat dugaan (pertimbangan) kuat bahwa pada anak itu mengandung kemungkinan (potensia) menjadi manusia atau menjadi tidak/bukan manusia. Anak manusia begitu lahir menunjukkan sebagai makhluk terbuka; beda halnya dengan binatang sebagai makhluk tertutup. Taruh saja itik begitu menetas dari telur secara otomatis hampir tanpa bantuan dia langsung jadi itik, sehingga ia tidak memungkinkan mengitik atau membukanitik; tetapi anak manusia yang tampak takberdaya, sebagai makhluk terbuka, ia memungkinkan memanusia memungkinkan membukanmanusia, membinatang, umpamanya ia dapat mengkambing. Namun kebanyak manusia menginginkan anaknya mejadi manusia; di sini tampak perlu dan dapat manusia itu dididik dan/atau mendidik; sedangkan pendidikan senantiasa maunya mengarah kepada yang baik, lebih baih bahkan terbaik, yakni menjadi manusia (memanusia sebagaimana manusia) bukan menjadi tidak/bukanmanusia (membinatang, mengkambing, dan seterusnya). Itulah pendidikan merupakan situasi atau proses memanusiakan manusia (muda: anak) agar menjadi manusia.

Untuk itu, terma "Pendidikan" mengandung pengertian "suatu upaya memberi bantuan manusia kepada mausia agar menjadi manusia".

Uraian tersebut di atas menuntut dan menuntun ke arah bahwa:
1. Perlunya pengenalan anak dalam kedudukan dan keterpautannya dengan dan dalam kehidupan masyarakat sebagai atau dijadikan  landasan suatu berpikir dan bertindak pendidikan.

2. Ke-anak-an anak patut ditelaah dalam antropologi anak.

3. Untuk kepentingan pendidikan diperlukan suatu pandangan atau pendapat (teori) psikologi sejak semula menunjukkan nisbat (keterpautan) tertentu dengan pedagogik. Di mana pedagogik tidak memerlukan suatu psikologi yang tidak memperhatikan situasi pendidikan.

4. Situasi manusiawi yang eksistensial bagi anak menampakkan diri sebagai situasi-perlu-bantuan; anak hanya dengan bantuan (pendidik: orangtua, guru), ia dapat melangsungkan kehidupannya. Situasi tersebut mempertunjukkan bahwa sejak dini kehidupan anak menunjukkan keterpautannya manusia lain (dengan orang dewasa: pendidik: orangtua dan guru) yang, karena rasa tanggungjawab, siap memberikan bantuan kepadanya untuk memungkinkan kelangsungan pelaksanaan kehidupannya. Sejak dini kehidupan anak menunjukkan: a). Keterpautannya dengan anak lain, sebagai rekan sebayanya dalam permainan; b). bahkan ia belajar juga bertemu dengan dirinya sendiri: Het Zijn-met-en-bijde-ander en het Zijn-met-bij-zichzelf. (Beets, 1954 hal. 30).

5. Anak sebagai salah satu dimensi yang sangat penting dari pendidikan; tanpa menempatkannya dalam situasi eksistensial manusiawinya selaras dengan kehidupan ke-anak-annya hanya akan melahirkan suatu abstraksi, suatu FremdKorper belaka dari anak tersebut. (M.I. Soelaeman, 1985).

Kehidupan ke-anak-an anak tak dapat lepas dari lingkungan dan situasi di mana: (a) Dia mendapatkan dirinya; (b) Dia melangsungkan kehidupannya; (c) Tempat dari mana anak mendapatkan pengaruh; (d) Lingkungan sebagai tempat anak mendapatkan dirinya dan melangsungkan kehidupannya serta ke arah kehidupan mana anak dibantu pengarahannya secara produktif. (Taba, 1962 hal. 10). Dengan demikian, hendaknya anak tidak ditempatkan dalam suatu abstraksi, yakni lepas dari situasinya; atau tidak diartikan "berdasarkan ukuran dan timbangan: Weegbaar en Meetbaar, tetapi sebagaimana ia benar-benar menampakkan diri dan dialami oleh yang berada di dalamnya.

Dengan demikian, pendidikan dalam peneropongan dari sudut ke-anak-an anak, adalah:
1. Lingkungan dan situasi anak dalam artian (a) di mana anak mendapatkan dirinya; (b) di mana anak melangsungkan kehidupan; (c) selaras dengan situasi eksistensial ke-anak-an anak, sebagai manusia yang sedang berkembang dan dalam status perlu bantuan. (M.J. Langeveld, 1957 hal. 214).

2. Merupakan lingkungan dan situasi yang membantu anak dapat berpartisipasi dalam kehidupan termaksud secara produktif.

3. Sebagai lingkungan dan situasi yang tidak saja tampil sebagai lingkungan dan situasi kehidupan melainkan adakalanya lingkungan dan situasi mendidik bagi anak.

4. Pemikiran dan tindakan yang bertolak dari pandangan bahwa anak dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga. Kalau ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga, maka ia (a) mendapatkan pendidikan pertama dalam lingkungan keluarga dalam situasi kasih sayang; (b) berbarengan dengan kelahirnya yang telah tersedia wadah yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya berupa situasi kasih sayang di lingkungan keluarga tersebut, ia (anak) berkemampuan memperoleh sendiri pendidikan, di mana perolehan sendiri itu, yang diperoleh dan diolahnya sendiri; (c) perolehannya sendiri itu menjadi bekal yang didapatkannya dalam lingkungan dari situasi kehidupan keluarganya, oleh ia (anak) bekal tersebut menjadi bekal memasuki sekolah, berpartisipasi dengan dan dalam kehidupan sekolah mendapatkan pengaruh (pendidikan) dari dan dalam sekolah itu; (d) guna pelaksanaan pendidikan anak di sekolah itu telah direncanakan dan dikembangkan kurikulum yang dengan khusus dan sengaja dirancang untuk keperluan itu.

Jadi, tidak ada pendidikan yang berlangsung dalam suatu abstrak, melainkan selalu dalam dan untuk suatu masyarakat tertentu.

Perlu suatu integral concept of curriculum yang dipandang sebagai konsekuensi dari tilikan psikologis yang mendalam dan yang memandang kepribadian anak sebagai satu dan tak terbagi: "the personality is one and indivisible." (Mannhein, 1954 hal. 55).

Sifat integral dari pendidikan berkaitan dengan dua aspek, yaitu bahwa kegiatan pendidikan berkaitan dengan (1) lembaga-lembaga sosial di mana anak itu mendapatkan dirinya seperti keluarga dan sekolah; (2) keseluruhan pribadi anak, termasuk di dalamnya jenjang perkembangannya.

MENDEKATI ANAK DALAM UPAYA MENDIDIK

Tindakan mendekati anak (murid, siswa) dalam upaya mendidik berkaitan erat dengan pandangan atau pendapat. Berbagai pendapat mengenai mendekati anak (murid, siswa) perlu dipilih suatu pendapat yang tidak melihat anak (murid, siswa) sebagai sekedar "objek" mendidik, melainkan:
1. benar-benar sebagai anak (murid, siswa), dengan segala ke-anak-an (dan ke-murid-an, ke-siswa-an) yang terlihat dalam situasi pendidikan di sekolah;
2. benar-benar anak yang "eksistensial-manusiawi" dan bukan sebagai fremdkorper. Dengan demikian pendapat yang dipilih mengenai mendekati anak dalam mendidik, adalah pendapat yang menempatkan anak (murid, siswa) dalam a total life orientation. That is, that one should respond as a whole person (including feeling, ideas, and emotions). (McNeil, 1977, h. 3).

Realitas anak (murid, siswa) adalah realita sebagaimana yang dialami dan dihayati anak (murid, siswa) bersangkutan dalam situasi kehidupan dan pendidikan di lingkungan pendidikan tersebut. Mendekati anak (murid, siswa) dalam mendidik menyangkut pengenalan akan anak (murid, siswa) sebagai suatu realitas anak (murid, siswa) sebagaimana ia alami dan hayati dalam situasi, khususnya situasi pendidikan di mana ia berada dan mengada di dalamnya.

Pendapat mengenai mendekati anak dalam mendidik itu, adalah pendapat yang mendukung bahwa:
1. Pendidikan, termasuk tindakan mendidik, dirancang dan diupayakan bagi kepentingan anak (murid, siswa) dalam rangka menyongsong kehidupannya sebagai manusia dewasa dalam masyarakatnya;
2. Keseluruhan tindakan mendidik dikerahkan dan diarahkan het kind monding te helpen worden, bekwaam te helpen maken zelfstanding zijn levenstaak te volbrengen (M.J. Langeveld); ...a way of preparing young people to participate as productive members of our society. 

Kepedulian tindakan mendidik yang berpihak kepada anak (murid, siswa) hendaknya tampak jelas pada tujuan, perancangan, maupun pengupayaan tindakan mendidik itu. Adapun indikator mendekati anak (murid, siswa) dalam mendidik yang berkepedulian terhadap anak (murid, siswa) bersangkutan antara lain, adalah:
1. Pemahamannya berpusat pada anak (murid, siswa: childcentered);
2. Berazaskan anak aktif, umpamanya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA);
3. Memasukan program bimbingan dan penyuluhan dalam kurikulum pendidikan;
4. Menerapkan sistem modul;
5. Berorientasi kepada tujuan, di mana tujuan instruksional khususnya berpusat pada anak (murid, siswa);
6. Proses "Belajar-mengajar" (pembelajaran)nya dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seseorang belajar, selain kepada apa yang dipelajari;
7. Berazas keluwesan dalam pengembangan program atau kurikulum pendidikannya dengan mempertimbangkan kebutuhan anak (murid, siswa) pada umumnya secara perorangan sesuai dengan minat dan bakatnya serta kebutuhan lingkungan.


SISI GENEALOGIS ILMU MANTHIQ

Kamis, 17 November 2011

Akar yang diduga menjadi latar belakang munculnya Ilmu Manthiq, ialah perdebatan antara Abu Sa'id Al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M), dalam khazanah Peradaban Islam, tentang kata dan makna; bahasa dan logika.

Abu Sa'id Al-Syirafi, yang ahli bahasa, berpandangan bahwa kata muncul lebih dahulu daripada makna. Kalau "kata lebih dahulu muncul daripada makna", maka berkonsekuensi logis bahwa "Setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing".

Abu Bisyr Matta memandang bahwa justeru makna ada lebih dahulu dibanding kata; karenanya Logika (Ilmu Manthiq) muncul lebih dahulu daripada bahasa. Manakala Logika (Ilmu Manthiq) muncul lebih dahulu daripada bahasa, maka implikasi-logisnya bahwa makna dan logika (Ilmu Manthiq) inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.

Sisi nativistik menempatkan makna (manthiq; logika) pada posisi dasar, mengingat bahwa manusia dilahirkan dengan dibekali bakat/pembawaan (makna, manthiq, logika), yang menentukan dan menciptakan garis-garis kata (bahasa); di mana perkembangan dan pengembangan kata (bahasa) berlanjut atas ketentuan makna (manthiq, logika).

Sisi empiris justeru kata (bahasa) terlebih dahulu ada dalam dan dari lingkungan; di mana perkembangan dan pengembangan kata dan bahasa yang sarat makna (manthiq, logika) itu ditentukan oleh pengaruh yang dialimi dalam dan dari lingkungan, termasuk ajaran Ilmu Manthiq atau logika. Walhashil kata atau bahasa sebagai lingkungan yang menentukan makna.

Dasar yang berkaitan dengan sisi nativistik mengakibatkan bahwa manthiq (logika), yaitu makna telah ada sejak sebelum dan semenjak lahir, sehingga Ilmu Manthiq (logika) atau kata dan bahasa yang artifisial itu sebagai sarana perkembangan dan pengembangan manthiq (logika; makna) potesial.

Rene Descartes berpendapat bahwa dalam pertautannya dengan lingkungannya, orang menggunakan pengertian-pengertian tertentu yang tidak dapat dikatakan sebagai abstraksi dari pengalaman yang dialaminya dari lingkungan. Ia menunjuk misalnya kepada pengertian Tuhan yang tidak muncul karena pengamatan inderiah dan karenanya pengertian seperti itu harus disimpulkan didapat manusia sejak kelahirannya. (M.I. Soelaeman, 1988 p. 50).

Leibniz berpikir lebih jauh dari itu. Bagi Leibniz pengertian yang harus dikembalikan kepada idea-idea yang dibawa lahir, bukan hanya beberapa pengertian saja, melainkan semuanya harus dikembalikan kepada idea-idea yang dibawa lahir. Realita yang sehari-hari nampak secara material sebenarnya adalah idea.

Perdebatan tersebut baik langsung ataupun tidak langsung bersentuhan dengan masalah ajar dan dasar. Yang tentunya menyinggung persoalan-persoalan:
1. Apakah kata atau bahasa seseorang itu merupakan bawaan atau hasil pengaruh lingkungan (orang, ajaran, kebudayaan), termasuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Ilmu Manthiq (logika) yang dibukukan dan dibakukan; dibakukan dan dibukukan secara sistematik oleh Aristoteles sebagai Guru Pertama, dan oleh Al-Farabi sebagai Guru Kedua?
2. Manakala dalam kata dan bahasa itu ada faktor bawaan dan ada faktor pengaruh dari lingkungan termasuk Ilmu Manthiq (logika) yang telah terbukukan dan terbakukan, yang manakah yang bawaan dan yang manakah yang pengaruh lingkungan?
3. Seberapa jauhkah faktor bawaan dan seberapa jauh pula faktor lingkungan dapat mempengaruhi kata dan bahasa seseorang?

Schopenhauer berpendapat bahwa "The world is my idea, the world, like man, is through and through will and  through idea...". Segala kejadian di dunia dipandangnya sebagai manifestasi dari benih yang ada padanya sejak semula. Hal ini tidak saja berlaku bagi tanaman, melainkan juga bagi segala organisme, termasuk manusia. Oleh karena itu, maka yang penting adalah prokreasinya. Perkembangan manusia hanya merupakan semacam penjabaran dari yang telah disiapkan semula, yang telah dibawakan sejak kelahirannya. (M.I. Soelaeman, 1988 p. 50).

Dengan demikian, makna dan kata, logika (manthiq) dan bahasa, manthiq (logika) potensial dan Ilmu Manthiq (Ilmu Logika) sebagai manthiq 9logika) artifisial dimulai sejak jauh sebelum kelahiran manusia (yang berlogika dan berbahasa). Manusia dalam bentuk zygote yang terbentuk melalui pertemuan sel ibu dengan sel ayah (sperma). Dalam zat hidup ini terkandung potensi bermanthiq sekaligus berbarengan berbahasa yang menimbulkan berlogika yang mengakibatkan berbahasa yang beragam itu; bahkan dimulai sejak sebelum manusia dan alam diciptakan dan berada sebagaimana sekarang adanya.

Jadi, akallah yang pertama diciptakan Allah Swt Awj sebelum diciptakan segala yang ada dan yang mungkin ada. Dan akal inilah gen dari manthiq (logika) potensial juga manthiq (logika) artifisial yang tak terpisahkan dari kata dan bahasa yang juga artifisial.

Akal sebagai gen manthiq (logika) itu menjadi zat hidup yang mengandung manthiq (logika) potensial yang berpasangan dengan manthiq (logika) artifisial yang berimbang kelak dalam eksistensial manusia di dunia, yang mengandung dan mengundang manthiq (logika) artifisial yang berpasangan dengan bahasa atau makna dengan kata.

Akal yang pertama diciptakan itu bukanlah akal yang melekat pada seseorang atau kelompok orang-orang, atau manusia yang telah, sedang, dan akan (pernah) berada di bumi ini.

Akal yang melekat pada manusia di bumi ini sepenuhnya ditentukan oleh akal yang pertama diciptakan itu; akal yang menjadi gen manthiq (logika) tadi.

Akal yang pertama diciptakan yang menjadi gen manthiq (logika) tadi pada saat menyelinap ke dalam akal yang melakat pada manusia ini, ia berubah dan mengubah dirinya menjadi akal yang utuh dan penuh. Akal yang pertama diciptakan dan penyelinapannya tidak dapat diketahui oleh manusia. Akal yang utuh penuh itu disebut genotype dari akal yang tidak diketahui tadi.

Akal yang melekat pada manusia yang menjadi wadah dari akal yang utuh penuh tadi, mengubah dirinya menjadi fenotype dari akal yang tidak diketahui tadi. Karena itu, ia merupakan atau dapat disebut akal yang telah mencerap pengaruh lingkungan di mana manusia hidup. Nah, manusia yang berakal, yang akalnya itu menjadi wadah akal yang tidak diketahui itu yang melahirkan genotype dan fenotype dari akal itu, seolah-olah tampak berakalnya bukan badannya. Akal fenomenal inilah yang disebut akal utuh (genotype dari akal)  akal sebagaimana telah berkembang dalam lingkungan tertentu.

Denagn demikian, manusia dalam kehidupan sehari-hari dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan sesamanya; hal ini tak ayal lagi karena ia memiliki akal untuk berpikir. Al-Qur'an menunjukkan bahwa manusia sangat dihargai karena peranan akalnya. Dan Al-Qur'an juga memuat seruan Allah Swt Awj kepada manusia, agar ia selalu berpikir.

Akal manusia bagi manusia merupakan suatu sarana super canggih, sebagai yang dikaruniakan oleh Allah Swt Awj kepadanya, tidak kepada makhluk lainnya.

Manusia dengan akalnya dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Ia dapat memahami lebih mendalam bagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya.

Manusia karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berpikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya.

Manusia ketika masih diberi kehidupan dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula manusia akan beraktivitas berpikir yang akan terlepaskan dan melapaskannya. Ia berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada saat mencari kebenaran dengan jalan berpikir itulah Ilmu Manthiq (logika) berperan penting dalam mencari suatu kebenaran itu. Rene Descartes menandaskan cogito ergo sum (Aku berpikir, karena itu aku ada.

Teori manthiq (logika), yang jelas menggunakan nalar, dalam pensyari'atan Hukum Islam, sama sekali tak dapat melepaskan diri dari apa yang disebut sebagai Ilmu Manthiq. Karena itu, Ahlu 'l-Ra'yi (Manthiq, Logika) dan Ahlu 'l-Qiyas (Analogi) memandang bahwa syari'at itu sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai akal yang universal yang disyari'atkan oleh Al-Qur'anu 'l-Karim. Al-Imam Al-Syafi'i, dalam teori ijtihad, ketika memahami Al-Qur'an maupun sunnah ada istilah Dilalah Ghair Mandhum (petuunjuk kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafadl yang tidak sharih) yang tentunya dibutuhkan analisis berpikir tepat dalam memahaminya. Untuk itu, signifikansi akal teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh kredibilitas dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap persoalan hidup.

Memang perlu diakui bahwa hasil pemikiran manusia meskipun menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan kebenarannya. Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berpikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah, perlulah ajar berupa kaidah-kaidah berpikir atau metodologi berpikir ilmiah yang dikenal Ilmu Manthiq (logika). Peran Ilmu Manthiq (logika) seperti halnya Nahwi li 'l-Lisan (Grammar dalam pengucapan). (Sullamu 'l-Munauwraq, Syekh Abdurrahman Al-Akhdhari).

MANTHIQ SEBAGAI ILMU

Senin, 14 November 2011

Ada dua pertanyaan mengenai Manthiq sebagai ilmu, yaitu:
1. Apakah Manthiq itu benar-benar suatu ilmu?
2. Ilmu yang bagaimanakah Manthiq itu?

Kedua pertanyaan tersebut di atas berkaitan dengan syarat-syarat ilmu. Adapun syarat-syarat ilmu, adalah objek, metode, dan struktur organis ilmu.

Bila Manthiq memenuhi syarat-syarat ilmu termaksud di atas, maka Manthiq benar-benar merupakan ilmu; atau Manthiq sebagai ilmu.

Objek Material Ilmu Manthiq adalah pikiran manusia; sedangkan Objek Formal Ilmu Manthiq adalah alur jalannya pikiran; atau berpikir dengan lurus.

Metode Ilmu Manthiq adalah Metode Analitis dan Metode Sintetis. Bila seseorang memperhatikan pikirannya sendiri, maka ia sedang mengadakan analisis guna mendapatkan hukum-hukum atau patokan-patokan berpikir. Ia setelah memperoleh patokan-patokan berpikir itu, lalu ia menyusun dan menjadikan sekumpulan hukum, yakni  hukum berpikir. Kerja menyusun dan menjadikan sekumpulan hukum berpikir inilah yang disebut aktivitas sintetis.

Olah pikir berbentuk kerja analitis dan sintetis berkaitan dengan struktur yang organis, yaitu bahwa "Manthiq di dalam memberikan uraian, ia secara berturut-turut memberikan kupasan segala aspek berpikir dari yang paling sedarhana sampai yang paling kompleks, tanpa ada pertentangan di antara aspek-aspek tersebut, melainkan saling melengkapi".

Manthiq menguraikan dari masalah mengerti, kemudian berpendapat, dan akhirnya sampai pada penyimpulannya.

Ilmu terinci atas dasar objek, kegunaan, cara bekerja, dan cara berpikirnya. Ilmu atas dasar:
a). Objeknya terperinci 1). Ilmu Alamiah dan 2) Ilmu Rohaniah.
b). Kegunaannya terperincilah 1). Ilmu Teoretis dan 2). Ilmu Praktis.
c). Cara Kerjanya terperincilah 1). Ilmu Normatif dan 2). Ilmu Deskriptif atau Empirik.
d). Cara Berpikirnya terperincilah 1). Ilmu Finalistis atau Teleologis dan 2). Ilmu Kausalistis.

Nah, Manthiq masuk ke dalam Ilmu Rohanian, Teoretis-Praktis, Normatif-Deskriptif, dan Finalistis.

REFERENSI
A. Soedomo Hadi, Logika Filsafat Berpikir
Khalimi, Logika Teori dan Aplikasi

SISI FILOSOFIS MENGENAI TUJUAN PENDIDIKAN

Sabtu, 05 November 2011

Tujuan pendidikan menyangkut persoalan dan pemecahan mengenai "apa yang harus dikerjakan?". Lingkup yang mengandung dan mengundang pemecahan "apa yang harus dikerjakan?" adalah bidang filsafat yang disebut aksiologis. Tiga pertanyaan lain yang sangat erat dengan pertanyaan "apa yang harus dikerjakan?", adalah, "apa yang dapat diketahui?", "apa yang boleh diharapkan?", dan "apa manusia itu?".

"Apa yang dapat diketahui?" pemecahannya dapat dibuka dalam bidang metafisika, yang menurut sebagian bahwa metafisika itu adalah epistemologi itu sendiri. "Apa yang boleh diharapkan?" terdapat dalam religi; dan "Apa itu manusia?" terdapat dalam antropologi-filsafi. Keempat pertanyaan itu intinya dan tertumpu pada pertanyaan "Apa itu manusia?'".

Perumusan tujuan pendidikan menjadi aktivitas prinsipil lagi kerja pertama sekali bagi disainer pendidikan. Karena itu yang mendisain pendidikan dalam merumuskan tujuan pendidikan mesti berpangkaltolak dari pandangan hidupnya yang mendasar. Dengan demikian perumusan tujuan pendidikan berdasarkan philosophy of life atau secara politis berdasarkan pada way of life.

Rumusan tujuan pendidikan menentukan rancangan, pembuatan program, dan evaluasi pendidikan; tujuan pendidikan menentukan program, rancangbangun, dan penilaian pendidikan itu sendiri; walhashil mutu pendidikan cepat terlihat pada dan dalam rumusan tujuan pendidikan.

Philosophy of life atau way of life yang menentukan rumusan tujuan pendidikan itu juga mengakibatkan berbeda-bedanya rumusan tujuan pendidikan itu. Di sisi lain tujuan pendidikan itu menyangkut tujuan hidup manusia; sehingga rumusan tujuan pendidikan menyangkut gambaran manusia ideal; manusia yang diharapkan; dengan demikian posisi tujuan pendidikan itu sebagai alat pencapaian manusia ideal termaksud.

Manakala way of life itu adalah agama, maka rumusan tujuan pendidikan bertolak dari pandangan agama; sekaligus manusia yang ideal sebagai yang terdapat dalam rumusan tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh tujuan pendidikan itu sendiri, adalah, manusia ideal menurut ajaran agama tertentu. Manakala way of lifenya dalam suatu madzhab dari filsafat, maka rumusan dan manusia ideal tujuan pendidikan itu ditentukan sebagaimana penentuan ajaran madzhab filsafat tersebut; demikian juga way of life yang diperoleh dari nilai-nilai waris nenek moyang. Namun dalam real-faktis terdapat campuran dari ketiga pandangan hidup itu baik dalam merumuskan tujuan pendidikan maupun manusia yang ideal.

Uraian tersebut menyentuh bahwa rumusan tujuan pendidikan mengacu kepada persoalan metafisik, epistemologi, religi, dan aksiologi yang seluruh dan keseluruhan bidang-bidang tersebut merupakan persoalan pokok filosofis; sedangkan filsafat bersifat radikal dan universal. Namun pendidikan termasuk tujuan dan situasi pendidikan itu, bersentuhan dengan masalah yang spesifik. Yang mengakibatkannya rumusan tujuan pendidikan disempitkan oleh keberlangsungan pendidikan itu yang terjadi dalam situasi tertentu dalam wilayah atau negara tertentu.

Bila negara tertentu yang menentukan rumusan tujuan pendidikan dengan berdasarkan filsafat atau pandangan hidup negaranya, maka rumusan tujuan pendidikan itu terbatas; hal ini membawa ke arah saintifik atau ilmu pendidikan. Karena itu tujuan pendidikan pada setiap negara akan berbeda-beda satu sama lain mengingat setiap negara memiliki filsafat negara masing-masing. Perbedaan itu juga terjadi pada satu negara tertentu; mengingat yang merumuskan adalah perwakilan dari masyarakat atau bangsa; yang pangkal dan penghujungnya ada kemungkinan rumusan tujuan pendidikan tidak sama sebagai yang dikehendaki atau menyimpang dari filsafat negaranya.

Namun sifat yang menetap atau sifat universal dan radikal sebagai issue inti filsafat masih melekat dalam perumusan tujuan pendidikan di segala negara, yaitu prinsip antropologis - normatif - yang praktis. Dan bahwa selulurh mausia di mana pun dan kapanpun serta apa dan siapa pun menghendaki manusia yang terbaik; manusia odeal atau manusia yang diharapkan. Dan dalam hal ini tipis hampir tidak ada perbedaan. Namun manakala muncul upaya pemecahan "apa dan siapa manusia yang terbaik itu; apa pula ciri manusia terbaik itu?", akan membawa dan mengakibatkan perbedaan selaras dengan pandangan dunianya, baik menyangkut hakikat manusia, yaitu sisi antropologis, menyangkut sistem nilai, yaitu sisi normatif, maupun pelakasanaannya yang menyangkut sisi praktis.

Ahmad Tafsir (2006) menggariskan bahwa manusia ideal yang perlu ada dalam rumusan tujuan pendidikan itu, adalah, manusia yang tenang dan produktif dalam menjalani hidup bersama; dengan penguraiannya sebagai berikut.

Manusia ideal dalam rumusan tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui pendidikan itu, ialah, karakteristik lulusan yang diharapkan, yakni lulusan yang merupakan manusia terbaik, yang cirinya adalah (1) tenang dan (2) produktif dalam kehidupan bersama; spesifikasi dari kedua ciri tersebut meliputi tiga indikator, yaitu: I. Berbadan sehat serta kuat, yang memungkinkan tenang dan produktif. Kuat menyangkut kemampuan otot dan non-otot dalam penyelesaian pekerjaan, yang mengakibatkan berproduksi maksimal. II. Otaknya cerdas serta pandai. Cerdas ialah pintar, yang di dalamnya mengandung kemampuan menyelesaikan masalah secara cepat dan tepat; biasanya orang pintar jarang memerintah atau menyuruh orang lain. Cerdas merupakan kemampuan dibawa sejak lahir, biasanya ukurannya adalah intellegence quotient (IQ); karena itu cerdas tidak dapat ditingkatkan; namun dapat dilatih agar aktual efektif. Pendidikan di antaranya metatih kecerdasan subjek didik. Sedang padai, cirinya adalah banyak pengetahuan; sedangkan banyak yang diketahui diperlukan IQ. Bila IQ tinggi tapi kurang banyak pengetahuan, maka IQ itu seperti kekurangan onderdil; IQ yang tinggi itu kurang dapat diaktualkan secara maksimal. Kepandaian dapat ditingkatkan. Kepandaian dengan kecerdasan seperti ilmu dan paham yang terdapat dalam ungkapan: Rabbiy Zidniy 'Ilman wa Urzuqniy Fahman... III. Beriman kuat, yang intinya adalah kemampuan mengendalikan diri yang tinggi dan tahan banting; ini berkaitan dengan konsep emotional quotient (EQ). Ketiga indikator dari tenang dan produktif dalam kehidupan bersama tersebut mencakup rincian ciri-cirinya, yaitu 1). disiplin, 2). sifat jujur, 3). kreatif, 4). ulet, 5). berdaya saing tinggi, 6). mampu hidup berdampingan dengan orang lain, 7). demokratis, 8). menghargai waktu, dan 9). memiliki kemampuan mengendalikan diri yang tinggi. Rumusan tujuan pendidikan juga menyangkut I. Pendidikan Berorientasi Kompetensi dan II. Pembangunan Masyarakat Madani. Pendidikan berorientasi kompetensi menyangkut tuntutan dan tuntunan agar pedidikan dilakukan dengan benar; dan menyangkut keterampilan mengalami hidup, yaitu harus mengetahui (knowing), harus tahu cara melaksanakan suatu yang diketahui (doing), dan mengalami hidup seperti yang diketahui itu. Sedangkan pembangunan masyarakat madani mencakup 1). adanya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat manusia sesuai dengan kemanusiaannya, 2). hukum itu ditaati, dan 3). ada penegak hukum. Adapun langkah-langkahnya: 1). membuat hukum yang manusiawi, yakni hukum yang sesuai dengan dengan hakikat manusia, 2). menciptakan masyarakat yang taat hukum, dan 3). pengadaan dan kemengadaan hingga adanya penegak hukum.  

TUJUAN DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI ILMU MANTHIQ

Senin, 31 Oktober 2011

Kerja keras sekaligus yang menentukan manusia sebagai manusia, tentunya ada pelibatan Allah Swt Awj, adalah olah pikir dalam menemukan kebenaran.

Socrates meyakini bahwa "tanpa teruji (penderitaan) hidup tak bermakna". Bagi Socrates --seperti halnya para bapak filsafat dari Yunani-- Martabat manusia ditentukan oleh olah pikir dalam menemukan kebenaran. Namun perlu disadari bahwa manusia juga makhluk yang penuh rasa ingin tahu. Hal yang merisaukan, seperti ditulis oleh Aristoteles, ketika manusia berfilsafat. Filsafat merupakan induk dari dan sejalan dengan ilmu pengetahuan (sains). Bahkan, filsafat secara umum merupakan ilmu pengetahuan dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada. (Milton D. Hunnex, terj., 2004 p. 1-2).

Olah pikir merupakan aktualisasi potensi akal, sehingga menyiratkan perlu dan dapat dididikan hal yang berkaitan dengan olah pikir tersebut. Ilmu Manthiq (logika) merupakan alat berpikir agar pemikiran itu benar, baik, dan tepat, yang memungkinkan turut mendukung ke arah perolehan kebenaran.

Pencarian dalam kerangka penemuan kebenaran adalah salah satu kerja pikir filsafi; yang pangkal-penghujungnya pengetahuan tentang ilmu (pengetahuan), yakni pengetahuan filsfat, di mana pengetahuan filsafat itu adalah ilmu (pengetahuan) yang utuh dan menyeluruh itu sendiri, yang bersifat untuh menyeluruh dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada.

Uraian tersebut di atas menunjukkan perlu dan dapatnya "Mempelajari Ilmu Manthiq (Logika)". Sedangkan "Mempelajari Ilmu Manthiq (logika), seperti halnya mempelajari ilmu-ilmu lainnya, tidak terlepas dari tujuan dan kegunaan.

Tujuan "Mempelajari Ilmu Manthiq (Logika)", dilihat dari karakter yang terkandung dalam Ilmu Manthiq (logika) itu sendiri, ialah "Memelihara, melatih, mengajar, dan memdidik yang bermuatan mengembangkan potensi akal dalam mengkaji objek pikir dengan menggunakan metodologi berpikir".

Tujuan "Mempelajari Ilmu Manthiq (Logika)"  yang diajukan oleh Muhammad Nur Al-Ibarahim tersebut di atas (Khalimi, 2011 p. 18) menunjukkan bahwa,

1. Ilmu Manthiq (logika) sebagai ilmu buatan (artifisial) sebagai hasil pengembangan dari potensi akal, dapat memelihara kemampuan dasar akal yang bersifat potensial tadi dari pengaruh luar (lingkungan) yang memungkinkan potensi akal tadi ke arah kesesatan; untuk itu, metodologi berpikir sebagai produk dan terdapat secara inhern dalam Ilmu Manthiq (logika) turut menjaga dan mengurusnya serta meluruskan potensi akal dalam mengkaji objek pikirnya.

2. Ilmu Manthiq (logika) yang memuat prinsip-prinsip berpikir benar, baik, dan tepat, kerangka pikir benar, baik, dan tepat, serta rancangbangun (sitematika) berpikir, dengan sendirinya, melatih orang berpikir sehingga suatu ketika orang tersebut berketerampilan mengapliksikan prinsip, rangka, dam sistematika berpikir dalam mengkaji objek pikir; lantas setelah begitu itu orang tersebut terbiasa berpikir teoritis dan praktis: aplikasi - praktris - mekanistik bermanthiq.

3. Ilmu Manthiq (logika) yang memuat format berpikir seperti tashawwur (pengertian), tashdiq (keputusan), dn istidlal (penuturan) memiliki sisI dinamis, sehingga memungkinkan mengajar kepada orang dalam kerangka mempertajam potensi akal (intelektualitas) serta pengetahuan, kemauan, dan kemampuan berpikir itu sendiri secara actus. Walhashil, Ilmu Manthiq (logika) mengajar manusia menuju kemahiran intelektualitas sebagai hasil pengajaran Ilmu Manthiq (logika) tersebut berupa berpikir ilmiah baik bersifat saintifik, logis-filosofis, mupun mistik-sufistik.

4. Ilmu Manthiq (logika) sebagai ilmu yanag bertolak dari pengembangan potensi akal; sedangkan akal mencakup akal potentia maupun akal actus, yang keduanya merupakan alat kerja ruhani yang menjadikan jasmani sebagai jembatan untuk merealisasikan berpikir di tengah-tengah alam semesta sekaligus berhadapan denagan diri sendiri dan Allah Swt Awj, maka Ilmu Manthiq (logika) dengan hal berkaitan dengannya seperti telah disinggung di atas, pada sisi dasar dan fungsinya bagi manusia sebagai diri sendiri (individu), sosial, dan makhluk Allah Swt Awj, mendidik manusia dapat berpikir secara universal, sistematis, dan radikal. Ilmu Manthiq (logika) disebut mendidik ke arah mewujud pribadi yang berpikir secara universal, sistematis, dan radikal, bahkan total, komprehensif, dan integral, karena Ilmu Manthiq (logika) itu di samping sebagai alat yang memungkinkan dapat turut mengembangkan manusia ke arah itu juga sebagai filsafat berpikir. Sedangkan filsafat itu sendiri berpikir universal, sistematis, dan radikal, yang berfungsi sebagai cara berpikir kritik dan konstruktif.

Filsafat, tentu logika (Ilmu Manthiq) di dalamnya, berusaha untuk memhami kehidupan dan dunia secara keseluruhan. Metode yang digunakan adalah metode kritik dan konstruktif. Dalam fungsinya sebagai alat kritik, filsafat, logika (Ilmu Manthiq) berusaha menguji asumsi-asumsi dan ide-ide dengan tujuan untuk mengklarifikasi dan memahaminya. Fungsi kritik ini banyak digunakan dalam masalah-masalah seperti teori ilmu pengetahuan dan teori tentang nilai. Intinya adalah analisis. Sementara dalam fungsinya yang konstruktif, filsafat (logika, Ilmu Manthiq) berusaha menelaah dan mengorganisir seluruh fakta yang ada supaya dapatt menemukan satu pandangan tentang dunia secara keseluruhan. Pada dasarnya kedua fungsi ini bersifat sinopsis dan spekulatif. Hal ini akan melibatkan sejumlah kajian seperti kajian metafisika dan teori tentang realitas. Sejumlah filosof meyakini bahwa filsafat (logika, Ilmu Manthiq) membatasi diri hanya dalam fungsinya sebagai alat kritik saja. Biasanya, filsafat (logika, Ilmu Manthiq) memberi semacam ekspresi pada kepentingan  spekulatif manusia --suatu usaha untuk memahami dirinya sendiri dalam hubungannya dengan alam semesta sebagai satu kesatuan. (Milton D. Hunnex, terj., 2004 p.3).

Dengan demikian pantaslah "mendidik dalam kerangka mengembangkan potensi akal dalam mengkaji objek berpikirnya dengan menggunakan metodologi berpikir" itu, menjadi tujuan "mempelajari Ilmu Manthiq (logika)".

Tujuan dari sisi keperiadaan manusia itu sendiri, yang dituntut untuk tahu, mau, dan mampu berpikir kritis dan konstruktif yang sinoptik lagi kontemplatif, maka tujuan "Mempelajari Ilmu Manthiq (logika)"  bagi manusia digambarkan tersebut berikut, adalah: Orang yang mempelajari Ilmu Manthiq (logika) diharapkan dapat:

1. Menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi yang tepat dan benar;
2. Membedakan proses dan kesimpulan berpikir yang benar dari yang salah.

Ilmu Manthiq (logika), seperti telah disebutkan di muka, merupakan Ilmu Alat berpikir teoretis dan praktis secara baik, benar, dan tepat untuk mencari kebenaran dan menemukannya, maka sisi kegunaan mempelajari Ilmu Manthiq (logika) tidak bersifat langsung; artinya kegunaannya terasa ada tatkala kita menimbang ilmu-ilmu apakah benar, berbobot ilmiah atau tidak.

Khalimi (2011 p. 18-19) menjelasakan bahwa, Jadi, mempelajari Ilmu Manthiq (logika) itu sama dengan mempelajari Ilmu Pasti dalam arti sama-sama tidak langsung memperoleh faedah dengan ilmu itu sendiri, tetapi ilmu-ilmu itu sebagai perantara yang merupakan suatu jembatan untuk ilmu-ilmu yang lain juga untuk menimbang sampai di mana kebenaran ilmu-ilmu itu. Dengan demikian, maka Ilmu Manthiq (logika) juga boleh disebut Ilmu Pertimbangan atau Ukuran, dalam bahasa Arab disebut 'Ilmu Mizan atau Mi'yaru 'l-'Ulum... Ilmu Manthiq (logika) merupakan lampu obor penerang jalan menuju arah yang dituju; yang karenanya Ilmu Manthiq (logika) dinamakan ilmu dari segala ilmu, Ilmu Timbangan dan Ukuran dari segala ilmu.

Kegunaan Mempelajari Ilmu Manthiq (logika) berdasarkan beberapa ahlinya adalah bahwa, Ilmu Manthiq (logika) itu dapat:

1. Membantu manusia untuk dapat tahu, mau, dan mampu berpikir rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis, dan koheren;
2. Melatih jiwa manusia, sehingga menjadikan ia mampu memperhalus jiwa pikirannya;
3. Mendidik kekuatan akal pikiran serta memperkembangkannya ke arah wujud yang terbaik; yang diperolehnya melalui pelatihan dan pembiasaan mengadakan penyelidikan-penyelidikan tentang cara berpikir yang digariskan Ilmu Manthiq (logika). Pelatihan dan pembiasaan berpikir sebagaimana yang dituntut dan dituntun Ilmu Manthiq (logika), manusia akan mudah dan cepat mengetahui di mana letak kesalahan yang menggelincirkannya dalam upaya menuju hukum-hukum yang diperbolehkan dengan pemikiran itu;
4. Meningkatkan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan manusia dalam berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif;
5. Menambah kecerdasan dan meningkatkan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri;
6. Menjadi tuntutan dan tuntunan serta pendorong manusia untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis;
7. Meningkatkan rasa cinta manusia akan kebenaran sekaligus menghindari kesalahan-kesalahan berpikir serta kekeliruan dan kesesatannya;
8. Menjadi tuntutan dan tuntunan kepada manusia agar tahu, mau, dan mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian, sehingga menghindari klenik;
9. Meningkatkan citra diri manusia sebagai konsekuensi tahu, mau, dan mampu berpikir rasional, kritis, lurus, metodis, dan analitis sebagaimana dituntut dan dituntun oleh Ilmu Manthiq (logika).

Imam Al-Ahdhari bersenandung bahwa, Fa Ya'shimu 'l-Afkara 'an Ghayyi 'l-Khatha-i; wa 'an Daqiqi 'l-Fahmi  Yaksyifu 'l-Ghitha-a: Manthiq (logika) dapat memelihara pikiran dari kesalahan berpikir; memperdalam pemahaman dan menyingkap selimut kebodohan.

Al-Imam Al-Ghazali menandaskan bahwa, Anna Man La Ma'rifata lahu bi 'l-Manthiqi La Yuwtsaqu bi 'Ilmihi: Sungguh orang yang tidak memiliki pengetahuan dalam Ilmu Manthiq (logika) tidak dapat dipercaya ilmunya.

Pernyataan Al-Imam Al-Ghazali tersebut di atas manakala dipertautkan dengan uraian mengenai tujuan dan kegunaan "mempelajari Ilmu Manthiq (logika)', maka:

1. Ilmu Manthiq (logika dapat memenuhi harapan orang yang mempelajarinya, yakni orang mempelajari Ilmu Manthiq (logika) berharapan dapat bernalar dengan baik, benar, dan tepat.

2. Prinsip-prinsip abstrak dari dan dalam Ilmu Manthiq (logika) dapat diaplikasikan atau diimplementasikan dalam semua bidang ilmu bahkan pada seluruh lapangan kehidupan.

3. Ilmu Manthiq (logika) yang memuat prinsip-prinsip abstrak itu dapat membantu kita untuk tahu, mau, dan mampu berpikir abstrak, yang menjadi tuntutan dan tuntunan guna mengembangkan pemikiran.

4. Ilmu Manthiq (logika) bila dipelajari secara tepat dapat membantu kita untuk berpikir lurus, tepat, dan teratur; di samping itu Ilmu Manthiq (logika) juga dapat membantu kita untuk:
a). menginterpretasikan secara tepat fakta dan persepsi orang lain;
b). melacak penalaran yang sesat dan tidak logis kemudian menunjukkan di mana letak kesalahannya;
c). mengembangkan pemikiran ilmiah dan reflektif dengan tetap setia pada kebenaran, yang merupakn ciri khas pencari kebenaran atau pencinta kebijaksanaan;
d). menjalani suatu disiplin intelektual yang perlu untuk memandu kita dalam proses menarik kesimpulan (natijah, konklusi);
e). menghindarkan: 1. berbagai macam kesalahan berpikir (fallacia) yang muncul etah karena otoritas (kuasa), emosi, prasangka, keindahan, bahasa, atau kebiasaan. Logika (manthiq) adalah logos yang dipertentangkan dan melawan mythos; 2. terlalu gampang melakukan generalisasi dan kecenderungan menarik kesimpulan (natijah, konklusi) yang salah karena melebihi apa yang dinyatakan dalam premis-premis (muqaddamat) sebelumnya.

EPISTEMOLOGI

Kamis, 27 Oktober 2011

Istilah epistemologi terbangun dari kata "episteme" dan "logos"; "episteme" yang mengandung arti "pengetahuan atau ilmu" berasal dari bahasa Yunani; begitu juga "lolos" yang berarti "kata", "bahasa", "sabda", "firman", "ajaran", atau "teori". Dengan demikian, epistemologi secara pendekatan kebahasaan (etimologis) adalah teori ilmu.

Epistemologi yang menjadi suatu bidang garapan filsafat memperbincangkan teori pengatahuan, teori kebenaran, dan logika.

Teori pengetahuan mencakup pembahasan objek atau sasaran pengetahuan, sumber pengatahuan, dan aliran filsafi mengenai hakikat pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan, dan nilai pengetahuan.

Paling tidak, ada tiga objek atau sasaran pengetahuan, yaitu objek indriah, objek non-indriah, dan objek di luar jangkauan kemampuan manusia.

Objek indriah disebut juga objek manifes, real, dan konkret. Objek indriah ini menuntut dan menuntun manusia untuk menggunakan indera; dan indera itu sendiri menjadi sumber pengetahuan (Al-Hawwasu Abwabu 'l-'Ulum: Panca indera itu merupakan pintu-pintu segala pengetahuan).

Aliran filsafat yang mengembangkan dan memandang inderalah satu satunya sumber pengetahuan adalah empirisme. 

Cara memperoleh pengetahuan termaksud melalui eksperimen. Pengetahuan yang diperolehnya disebut aposteriori (pengetahuan yang telah teralami). Sifatnya logis-empiris. Hakikat ilmu adalah sains. Sedangkan nilai pengetahuan tersebut adalah bebas nilai. Saintifik tidak berkaitan dengan sopan atau tidak sopan; saintifik bersifat objektif.

Objek non-indriah disebut juga objek ideal, rasio, intelek, dan bstrak. Objek non-indriah ini menuntut dan menuntun manusia untuk menggunakan akal; dan akal menjadi sumber pengetahuan (Qiwamu 'l-Mar-i 'Aqluhu: garis penuntun seseorang, termasuk dalam perolehan pengetahuan, adalah akalnya).

Aliran filsafat yang mengembangkan dan memandang akallah satu-satunya sumber pengetahuan adalah rasionalisme.

Cara menperoleh pengetahuan termaksud melalui merenung. Pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan a priori (pengetahuan yang belum atau tidak teralami). Sifatnya logis. Hakikat ilmu adalah filsafat. Sedangkan nilai pengetahuan tersebut adalah sarat nilai.

Objek di luar jangkauan kemampuan manusia disebut juga objek transcendental atau spiritual. Objek di luar jangkauan kemampuan manusia ini menuntut dan menuntun manusia untuk menggunakan qalb; dan qalb menjadi sumber pengetahuan.

Aliran filsafat yang mengembangkan dan memandang qalblah satu satunya sumber pengetahuan adalah intuisisme.

Cara memperoleh pengetahuan termaksud melalui riyadhah (latihan). Pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan laduni. Sifatnya supra-logis. Hakikat ilmu adalah mistik. Sedangkan nilai pengetahuan tersebut adalah kental esoterik sufistik.

Baik pengetahuan sains, pengetahuan filsafi, maupun pengetahuan mistik merupakan penjabaran dari kebenaran; sebab yang hendak diketahui adalah yang benar. Apa benar itu?

Teori Korespondensi membatasi bahwa yang disebut benar, ialah kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Teori ini berdampingan erat dengan aliran filsafat empirisme.

Teori Konsistensi (koherensi) membatasi bahwa yang disebut benar, ialah keselarasan antara suatu penyataan dengan pernyataan yang lain. Teori ini berdampingan erat dengan aliran filsafat rasionalisme.

Teori pragmatisme membatasi bahwa yang disebut benar sangat tergantung kepada situasi dan kondisi; dengan demikian inti kebenaran adalah kegunaan.

Aliran filsafat ituisisme berdampingan dengan teori kebenaran yang disebut dan mengembangkan kata hati, yang oleh Immanuel Kant sering disebut dengan Imperative Praktis.

Logika dalah suatu ilmu yang mempelajari tentang cara berpikir yang baik, tepat, dan benar dengan menggunakan akal yang mendapatkan bimbingan dari Allah Swt Awj agar terhindar dari kesalahan.Logika pada pokoknya mencakup pengertian, keputusan, dan penuturan. Terdapat Logika Formal dan Material. Logika Formal mencakup bahasan definisi, klasifikasi, oposisi, eduksi, silogisme, dan delima. Logika Material mencakup generalisasi, analogi, hubungan kausalitas, hipotesis, teori, penjelasan, dan probabilitas  yang meliputi mengenai hakikat pengetahuan itu sendiri.

 

PROSEDUR PENUNTUN BERPIKIR FILSAFI

Rabu, 26 Oktober 2011

Prosedur tentu mengandung langkah-langkah teknis segaligus pelaksanaan yang tak begitu saja muncul; namun justeru merupakan penjabaran dari manual yang mengacu kepada praktek; dan praktek itu sendiri merupakan aplikasi dari unsur teoritis, sehingga tidak ada teori yang paling baik kecuali praktek itu sendiri sebagai penerapan dari teori. 

Paulo Freire lebih senang menggunakan istilah praksis. Di mana praksis tersebut merupakan penerapan secara penuh, padu, dan utuh dari Kata (word) dan Kerja (work), yang keduanya merupakan yang terkonstruk secara terstruktur dari dialektika aksi dan refleksi. Pertautan terus menurus antara aksi (tindakan, perbuatan) dengan refleksi (teori) menunjukkan bahwa praksis itu merupakan aplikasi teori kepada praktek secara sekaligus koresponden - konsisten - intuitif.

Karena itu praktek merupakan turunan dari ilmu; sedangkan ilmu itu sendiri menjadi penjabaran dari suatu teori; dan teori itu sendiri tidak muncul begitu saja, namun merupakan buah dari filsafat; filsafat dari kitab kitab suci (agama dalam artian potentia, tidak sekedar actus), yang penghujungnya agama dari wahyu; akhir dan awalnya kita tahu bahwa wahyu itu dari Sang Tuhan. Dengan demikian "prosedur penuntun berpikir filsafi" berujungpangkal kepada/dari Sang Tuhan. Apa yang kepada/dari Sang Tuhan itu, secara tafshili (perincian)nya? ialah manakala kita hendak tahu, mau, dan mampu berpikir filsafi:

1. Posisikan diri pribadi kita sebagai pelajar. Belajarlah menjadi pemula. Posisi pemula dalam segala hal, termasuk pemula dalam mengarifi hidup ini posisi dasar yang membawa kepada kesadaran; hanya yang berkesadaran sebagai pemulalah yang terpaut harus dan dapat merasa heran; heran akan ada dunia, kok dunia ini ada, saya, anda, dia, kita, dan mereka ada; heran kok Tuhan ada, dan seterusnya. Perwujudan "yang menjadi pemula" dalam segala hal, umpamanya tergambar tatkala seseorang melihat segala yang tentu sepanjang terlihat dan dapat dilihat serta dalam posisi melihat, maka ia melihat segalanya itu seolah-olah pertamakalinya melihat; untuk itu, reaksi yang muncul adalah keheranan. Sedangkan heran, termasuk heran melihat segala hal, merupakan dasar berfilsafat; dan memang filsafat bermula dari rasa heran.

2.Kita membiasakan diri pribadi tidak cepat begitu saja langsung percaya bahwa dunia luar itu ada. Akal sehat  (common sense) menyatakan bahwa matahari yang muncul tiap pagi itu ada lepas dari kesadaran kita. Justru filsafat mempersoalkan bahwa, apakah benda yang di luar pikiran kita itu "sungguh berada di luar pikiran" atau merupakan "pantulan dan konstruksi pikiran kita". Apakah yang ada itu benda atau kita; atau justeru yang ada itu pikiran; jangan-jangan kitanya tidak ada? Hal ini menggambarkan kontroversi rumit dan sulit dari dan dalam aliran-aliran filsafat.

3. Kita mesti membiasakan diri pribadi untuk melucuti ciri-ciri fisik konkret yang dilihat; dan hingga  kita menemukan ciri umum dalam hal-hal konkret itu. Dalam filsafat fenomenologi terdapat ajaran metodologis: Reduksi fenomenologis - Reduksi Eiditis - Eidos, yakni: Kita menyingkirkan ciri-ciri meja di depan ini; proses penyingkiran itu ada keterlibatan analisis, yang pada analisis terakhir akan menemukan ciri-ciri umum; di mana ciri-ciri umum yang sangat abstrak itu mendukung kepada peraihan makna. Wilayah ciri-ciri umum dan abstrak itu menjadi issue kontroversial di beberapa aliran atau ajaran filsafat.

4. Bentuklah kebiasaan dalam diri pribadi kita sadar akan tugas berupa mencari titik atau pangkal tolak dari segala sesuatu yang kita alami atau amati; Manakah yang lebih dahulu, buah durian yang kita lihat itu atau pikiran kita tentang buah durian? Memang pertanyaan ini sulit dijawab? Namun memang dalam berfilsafat yang pokok bukan jawaban, justeru yang terpenting adalah pertanyaan. Ajaran filsafat menuntut dan menuntun kita harus dan dapat memilih salah satu, sehingga akan menentukan posisi dalam menjelaskan segala sesuatu; dan memang pola inilah yang dilakukan oleh berbagai aliran filsafat.

5. Kita mesti membiasakan memikirkan bagian-bagian tanpa melepaskannya dari keseluruhan. Pola ilmu spesifik dalam memberikan gambaran mengenai realitas khusus; sedangkan filsafat tidak berkehendak mengisolasi semacam yang dikerjakan saintifik itu; berfilsafat berarti memberi perspektif tentang keseluruhan. Argumen filsafi tidak bermain dengan satu komponen, melainkan dengan totalitas, sehingga menghindari pandangan mata-dekat dan mengupayakan untuk memiliki pandangan mata-jauh. Berpikir filsafi bersifat universal, sistematis, dan radikal.


KETERARAHAN PENDIDIKAN MEWUJUD PRIBADI INTEGRAL

Senin, 24 Oktober 2011

Pendidikan harus mengarahkan terdidik (c.q. anak) menjadi pribadi yang mengenal, mengetahui, memahami, bahkan mengarifi nilai (nilai kognisi), meresapi dan berkemauan untuk merealisasikan nilai; nilai telah menjadi miliknya (internalisasi nilai), berkemampuan menjelmakan nilai yang mempribadi (personifikasi nilai), dan merealisasikan nilai itu sendiri.

Perealisasian nilai itu karena kata hatinya, si terdidik tadi. Kata hari ialah suatu intasi yang dimiliki terdidik yang mengharuskannya untuk melaksanakannya, ia akan merasa dikejar-kejar oleh dirinya sendiri. Scheler menyebutnya :Suatu panggilan yang muncul dalam diri sendiri, namun diraskan seperti datang dari intansi yang lebih tinggi". Immanuel Kant menyebutnya "imperative Praktis, yang memerintah untuk melaksanakannya, saya --diri sendiri yang menjadi pengawasnya-- merasakan keberharusan melaksanakannya selaras dengan tuntutan dan tuntunan yang seharusnya".

Untuk itu, pendidikan pada dasarnya "komunikasi dan interkomunikasi --pergaulan sosial terkontrol yang dinamik-- yang terarah kepada perealisasian nilai. Dan harus diingat bahwa komunikasi tersut bukan untuk kepentingan diri sendiri, ia hanya merupakan alat; karenanya harus dilandasai kasih sayang sebagai dasar identifikasi, saling mempercayai (kepercayaan) sebagai dasar kewibawaan, dan bertanggungjawab yang menunjukkan bahwa pendidikan itu tidak dapat dilaksanakan oleh sembarang orang.

Ada beberapa term (istilah) yang bertautan dengan pendidikan. Bila uraian tersebut di atas ditinjau secara pola pikir parsial (molekuler, unsuriah), yang kadang-kadang satu sama lainnya diidentikkan, yaitu mendidik, mengajar, melatih, bahkan memelihara dan mengurus terdidik (c.q. anak).

Terma (istilah) memelihara dan mengurus terkadang dipertautkan dengan binatang ternak, seperti memelihara kera, mengurus kerbau dan sebagainya. Untuk itu, kurang selaras dipergunakan untuk manusia.

Terma (istilah) mengajar terlalu sempit, hanya menekankan pada bidang pengetahuan (pengajaran intelek). Lebih sempit lagi terma (istilah) melatih (latihan) hanya menekankan pada bidang keterampilan yang tidak selalu meminta upaya berpikir seperti halnya dalam mengajar, bahkan latihan dan belajar dapat pula diterapkan terhadap binatang, seperti melatih anjing pelacak bagi kepentingan para polisi, melatih harimau dan singa untuk pertunjukan sirkus, melatih ikan lumba-lumba, dan sebagainya; dan memang secara filosofis ia diangkat ke dalam dunia pendidikan atas dasar eksperimen terhadap binatang di laboratorium psikologi, yang hasil-hasil eksperimentasinya itu diaplikasikan terhadap pelaksanaan (proses) belajar mengajar (manusia seolah-olah dicetak atau dipolakan dengan menggunakan cetakan atau pol untuk mencetak, membentuk, atau mempolakan binatang?).

Ada sejumlah tokoh yang telah menghasilkan eksperimentasi tersebut di atas, yang pada mula telah dirintis oleh Aristoteles, ia tokoh pendiri paham filsafat realisme yang secara epistemologis dikembangkan oleh John Locke dengan empirismenya yang menekankan pada objek (korespondensi); secara pedagogis (khususnya teori belajar) dikembangkan oleh para psikolog behaviorisme, yang semuanya secara metafisis bermuara pada paham filsafat materialisme, yaitu Pavlov, Thorndike, Skinner, dan para ahli yang sedang trend (beken) sekarang.

Eksperimentasi mereka semula diilhami oleh Wundt dengan gagasan dan pendirian laboratorium psikologinya, yang hingga sekarang menghasilkan, dalam pendidika, Teknologi Pendidikan. Hewan-hewan yang pernah dieksperimentasikan oleh mereka itu di antaranya burung merpati, anjing, simpase (kera), dan paling banter manusia sakit.

Pendidikan (mendidik anak) meliput seluruh kepribadiaannya secara integratif dan komprehensif. Sedangkan pengajaran (mengajar) meliputi hanya sebagian dari kepribadian, yaitu segi inteleknya saja; dan latihan hanya menyangkut segi jasmani-jiwani atau psikomotoris kepribadian.

Karenanya tujuan mendidik (pendidikan) diarahkan pada pencapaian kepribadian yang terpadu, yang terintegrasi yang sering dirumuskan untuk mencapai kepribadian yang dewasa.

Para pedagog pada umumnya sejalan bahwa tujuan poendidikan (mendidik) adalah untuk mencapai kedewasaan; manusia normatif: tahu nilai, mau dan mampu (tersentuh dan tergugah kata hatinya, karena nilai telah terinternalisasi dan mempribadi --terpersonifikasi) merealisasikannya serta perealisasiannya itu selaras dengan tuntutan dan tuntunan yang seharusnya sebagai manusia bertanggungjawab (tanggungjawab merupakan ciri wanci --ciri khas-- bagi dan kemampuan dasar pribadi etis manusia sebagai manusia?).

Tujuan mengajar (pengajaran) hanya diarahkan dan ditekankan pada ranah kognitif (mengenal nilai, kehidupan atau kemampuan intelek, terdidik diarahkan supaya menjadi orang dewasa memiliki kemampuan berpikir ilmiah: Logico-hypothrtico-verificative, seperti mampu berpikir abstrak logis, objektif, kritis, sistematis, analisis, sintesis, integratif, dan innovatif.

Tujuan melatih (latihan) diarahkan dan ditekankan hanya pada ranah psikomotor, agar...

LAPANGAN ILMU MANTHIQ

Kalau Ilmu Manthiq itu alat berpikir, agar dapat berpikir secara syah, maka muncullah "apakah berpikir itu?".

Istilah pikiran tidak asing lagi, dapat dikenal, dan arti berpikir pada umumnya dapat diketahui. "Berpikir adalah suatu kegiatan jiwani untuk mencapai pengetahuan" (Parta SM).

Giebs menjelaskan "berpikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisa, membutikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasannya, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pemikiran, mencari bagaimana berbagai hal itu berhungan satu sama lain".

Ibnu Sina menyebutkan bahwa, "berpikir menurut manusia pada umumnya adalah pelompatan akal budi dengan cara memindahkan suatu gagasan tentang sesuatu yang terdapat dalam akal budi kepada sesuatu yang terdapat di luar akal budi tersebut; lompatan perpindahan tersebut tak pernah kosong dari pengkonstruksian atau penyusunan".

Berpikir yang juga disebut refleksi sering disebut "sebagai penataan konsep atau idea yang kompleks dengan jalan perenungan dan penyadaran dengan penuh pertimbangan dalam rangka pencarian makna". Dengan demikian, berpikir adalah "penangkapan inti yang terjadi dalam akal budi". Walhashil, pemikiran berdasarkan uraian tersebut, secara ringkas dapat dikatakan "pencarian sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang telah diketahui".

Kalau berpikir itu, Dorongan jiwani untuk menyusun "sesuatu sudah diketahui" guna mencapai "sesuatu yang belum diketahui"; sedangkan Ilmu Manthiq secara lughawi (etimologis, pendekatan kebahasaan) adalah "suatu ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa; maka Ilmu Manthiq mempersoalkan "pemikiran" yang dinyatakan dalam bentuk bahasa, serta beberapa proses pembentukannya.

"Sesuatu yang telah diketahui" baik berbentuk tshawwur (konsep) maupun tashdiq (penilaian), disebut "bahan" pemikiran; sedangkan "sesuatu yang belum diketahui" yang dapat berbentuk tshawwur atau tashdiq, disebbut natijah (konklusi) yang akan diperoleh dari pemikiran itu. Jadi, "sesuatu yang belum diketahui" disebut natijah (konklusi); sedangkan "sesuatu yang telah diketahui" disebut bahan atau dasar pemikiran (premis dan mediasi).

Alam berubah, dari tiada (creatio ex nihilo) menjadi ada (diadakan); maka natijah (konklusi) yang dapat ditarik, bahwa "alam itu baru". Perubahan alam dan memang teramati bahwa alam ini senantiasa berubah, tiada yang menetap di alam ini, bahkan disebutnya juga alam fana, merupakan bahan pemikiran; dan dari bahan pemikiran tersebut dapat ditarik suatu natijah (konklusi) bahwa "alam ini baru". Kalau alur pemikiran ini digambarkan, maka pemikiran ini mempunyai bentuk sebagai berikut.

Alam itu berubah.
Setiap yang berubah baru.
Alam ini baru.

Uraian tersebut di atas menunjukkan, bahwa pemikiran itu dalam "pengetahuan tak langsung" yang didasarkan atas "pengetahuan langsung". Pemikiran mungkin benar mungkin tak benar; artinya suatu natijah (konklusi) yang ditarik mungkin benar mungkin tak benar. Untuk itu, persoalan kebenaran dan ketakbenaran sangat penting dalam peristiwa pemikiran; dan memang Ilmu Manthiq hanya mempersoalkan "kalimat sempurna berbentuk "pemberitaan". Kalimat sempurna berbentuk pemberitaan itulah yang disebut qaqiyah (proposisi, keputusan). Sedangkan yang disebut kalimat pemberitaan mengandung dua kemungkinan, yaitu kemungkinan benar dan kemungkinan tak benar (dusta). Karena itu pula, bertolak dari pertautan Ilmu Manthiq dan pemikiran, maka Ilmu Manthiq harus mempersoalkan dasar-dasar atau prinsip-prinsip dan kriteria kebenaran itu. Karenanya tidaklah dapat disebut tanpa alasan bila Ilmu Manthiq itu disebut juga Ilmu Mizan (sebagai timbangan untuk mempertimbangkan yang syah dan mana yang tidak, guna peraihan pengetahuan yang benar, terhindar dari pengetahuan yang tak benar).

Pemikiran konkret di atas, bila ditelusuri secara seksama, maka akan terbaca bahwa pemikiran itu meliputi qudhaya (proposisi-proposisi, keputusan-keputusan) yang disepadankan dengan Kalam atau Jumlah Mufidah (kalimat sempurna) dalam Ilmu Nahwu (Tata Bahasa). Contoh tersebut di atas bila diteliti, maka terdapat atau terdiri atas 3 qadhiyah (proposisi, keputusan), yaitu:

Alam itu berubah.
Setiap yang berubah baru.
Alam itu baru.

Ibnu Sina menyebutkan bahwa qadhiyah itu, adalah, "Setiap perkataan (keterangan atau ketentuan, juga sering diterjamahkan menjadi keputusan) yang meliput pertautan antara dua lafadh atau ism (term), di mana perkataan itu mengandung hukum pertimbangan benar atau tidak benar"; bahkan terkadang qadhiyah itu disepadankan dengan thesis yang memerlukan antithesis untuk melahirkan thesis lain, di mana thesis yang lahir itu disebut sinthesis.

Rangkaian dialektika: thesis - atithesis - sinthesis ciptaan Hegel tersebut di atas, berlangsung secara terus menerus dalam rangka perkembangan dan pengembangan pengetahuan.

Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Ada suatu fase pertama (tesis) yang menampilkan lawannya (antitesis), yaitu fase kedua. Akhirnya timbullah fase ketiga yang memperdamaikan fase pertama dan kedua (sintesis). Dalam sintesis itu tesis dan antitesis menjadi "aufgehoben", kata Hegel. Kata Jerman ini mempunyai lebih dari satu arti dan Hegel memaksudkan semua arti itu (dalam bahasa Inggris umumnya diterjamahkan dengan "sublated"). Di satu pihak "aufgehoben" berarti: dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi. Dan memang dimaksudkan "karena adanya sintesis, maka tesis dan antitesis sudah tidak ada lagi"; sudah lewat. Tetapi di lain pihak kata tersebut berarti juga: diangkat, dibawa ke tahap atau ketaraf lebih tinggi. Dan itu juga dimaksudkan Hegel: dalam sintesis masih terdapat tesis dan antitesis, tetapi kedua-duanya diangkat kepada tingkatan baru. Dengan perkataan lain, dalam sintesis baik tesis maupun antitesis mendapat eksistensi baru. Atau dengan perkataan lain lagi, kebenaran yang terkandung dalam tesis dan antitesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi dalam bentuk lebih sempurna. Dan proses ini akan berlangsung terus. Sintesis yang telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-duanya dapat diperdamaikan menjadi sintesis baru. Maka dari itu, proses dialektika sebaiknya dikiaskan dengan gerak spiral dan bukan dengan gerak lurus. (K. Bertens, 1991).

Jadi bentuk pemikiran pada contoh di atas meliput tiga qadhiyah (proposisi, keputusan). Karena itu, dalam membicarakan pemikiran, Ilmu Manthiq mempersoalkan qadhaya (proposisi-proposisi, keputusan-keputusan).

Qadhaya bentuk jamak (plural) dari qadhiyah dapat terbagi kepada beberapa hadd atau term. Setiap ism, lafadh, atau hadd (term) adalah kata; satu kata atau lebih, namun tidak setiap kta merupakan ism, lafadh, atau hadd (term).

Dengan demikian, walaupun Ilmu Manthiq hanya membbicarakan pemikiran; ia juga membicarakan qadhaya (proposisi-proposisi, keputusan-keputusan) dan lafadh, ism, atau hadd (term) yang merupakan persoalan, bagian atau unsur terpenting dalam pemikiran itu.

Uraian tersebut di atas, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan yang dibicarakan dalam Ilmu Manthiq terbagi kepada tidak pokok terpenting, yaitu:

1. Prinsip-prinsip mengenai hadd (term, pengertian);
2. Prinsip-prinsip mengenai qadhiyah (proposisi, keputusan);
3. Prinsip-prinsip mengenai istidlal (pemikiran atau penuturan).

Ilmu Manthiq di samping mempersoalkan prinsip-prinsip atau aturan-aturan dan kriteria kebenaran, mabadi (dasar-dasar) tashawwur, mabadi tashdiqat, dan mabadi istidlal, juga mempersoalkan klasifikasi, ta'rif, qismah, dan tashnif sangat diperlukan sekali dalam pemikiran. Unsur-unsur proses pemikiran tersebut perlu dibicarakan lebih lanjut.