Darul Manthiq - Bening Hati Cemerlang Akal Di Sini dan Di Sana

PARADOKS

Jumat, 21 Oktober 2011

Setiap manusia yang tadzakkur, tafakkur, dan tadabbur, katakan saja berpikir logis baik rasional-logis maupun inner atau transcendental-logis, terdorong oleh bimbang, sangsi, dan ragu. Keraguan sebagai keperiadaan khas kemanusiawian manusia.

Al-Qur'an mendorong manusia tadzakkur, tafakkur, dan tadabbur. Katakan saja Al-Qur'an mendorong manusia berpikir logis baik rasional-logis maupun inner atau transcendental-logis.

Al-Qur'an mendorong manusia bimbang, sangsi, dan ragu. Keraguan sebagai keperiadaan khas kemanusiawian manusia.

Setiap pertanyaan muncul dari keraguan. Setiap pertanyaan muncul dari permasalahan. Permasalahan muncul dari keraguan.

Murtadha Muthahhari (terj., 1981) menyatakan bahwa, keraguan membimbing orang kepada keyakinan. Pertanyaan membawa orang menuju ke arah penetapan. Kegelisahan adalah pengantar ke arah penetapan. Keraguan adalah jembatan yang menakjubkan sekaligus tempat tinggal yang buruk.

Al-Qur'an menganjurkan tadzakkur, tafakkur, dan tadabbur serta memperoleh keyakinan secara mantap. Keperiadaan manusia pada mulanya ragu dan bimbang. Al-Qur'an tidak meliput keraguan; Al-Qur'an pula yang menyatakan secara tegas bahwa manusia pada dasarnya senantiasa ada dalam bimbang dan ragu; karenanya Al-Qur'an menganjurkan manusia berpikir, sebab manusia itu bimbang dan ragu; bagaimana mungkin terjadi pemikiran bila idak ada keraguan.

Dengan demikian tak dapat disalahkan sepenuhnya salah satu pihak berpandangan bahwa, aku tidak meragukan keraguanku; aku senantiasa ragu; hanya satu-satunya yang ragu itu rahmat dan ni'mat. Ragu membawa khaf dan raja'.

Khaf dan raja'nya ada pada manusia sekaligus ciri khas manusia sebagai makhluk. Untuk itu manusia pada penghujungnya tidak tahu manusia ada dalam pensampaian pada ketidaktahuan; maka manusia ada dalam keraguan. Keraguan senantiasa menuntut ingin tahu, namun manusia tetap tidak tahu; maka manusia ragu. Ragu mendorong untuk tahu; manusia senantiasa ingin tahu. Bagaimana manusia memiliki ingin tahu kalau tidak memiliki ingin tahu kalau tidak memiliki ragu. Jadi, justeru karena ragu aku menuju-tertujukan pada sang pemberi ragu, yang tak pernah ragu?

Saya tidak tahu "apa benar itu gambaran ragu?", namun yang jelas perlu dikembalikan kepada persoalan: Apakah itu ragu?

Yang berkecimpung dalam persoalan Ilmu Manthiq (logika) mengungkapkan bahwa, Ilmu Manthiq (logika) mempersoalkan, dianataranya qadhiyah (proposisi). Qadhiyah (proposisi) itu berbentuk dalam Kalam Khabari. Sedangkan Kalam Khabari mengandung kebenaran dan ketidakbenaran.

Kalam Khabari terdiri atas memiliki dua bentuk, yaitu bentuk qath'i (pasti) dan bentuk dhanni (samar). Qath'i menunjukkan keterangan atau keputusan pasti benarnya dan pasti tidak benarnya. Sedangkan dhanni menunjukkan keterangan atau keputusan itu masih diragukan (samar antara benar dan tidak benarnya).

Keterangan atau keputusan yang samar (dhanni) terbagi kepada tiga tingkat, yaitu:
1. Dhann, yaitu keterangan atau keputusan itu masih diragukan (samar) tentang benar dan tidak benarnya, namun sangkaan kebenarannya lebih kuat daripada ketidakbenarannya;
2. Syakk, yaitu keterangan atau keputusan itu masih diragukan (samar) tentang benar atau tidak benarnya, namun dengan sangkaan yang sama kuatnya;
3. Wahm, yaitu keterangan atau keputusan itu masih diragukan (samar) tentang benar dan tidak benarnya, namun dengan sangkaan tidak benarnya lebih kuat daripada benarnya.

Jadi ragu itu sangkaan? Bukankah aku hidup tak terlepas dari sangkaan, bahkan hidup itu sendiri, atau aku atau keperiadaanku itu sendiri merupakan sangkaan, yakni suatu misteri, suatu rahasia ilahi, sebab tak tahu pasti, tak dapat dipastikan. Yang pasti tak mungkin dua atau lebih? Yang pasti itu satu, bahkan Mahasatu, yaitu Sang Khaliq, Pencipta, yakni Allah Swt Awj.

Jadi Allah-lah yang pasti dan memang Sang Mahamemastikan segala yang Dia ciptakan, maka manusia tak pasti dan tak mampu memastikan, termasuk memastikan keperiadaannya sendiri. Kalau manusia tak pasti dan tak mampu memastikan, maka berarti ragu dan diragukan? Namun Allah memerintahkan agar manusia itu beriman, yakni agar yakin.

Manusia harus meyakini bahwa dia makhluq Allah Swt Awj yang diperintahkan untuk meyakini-Nya. Apakah kita sudah meyakini Allh Swt Awj? Kita tak tahu? Untuk sampai kepada keyakinan, tak perlu mempertanyakan suatu yang pasti, sebab itu sudah pasti; yang pasti pasti patut diyakini. Jadi untuk sampai kepada yang pasti, sampai pada pencapaian kepada keyakinan perlu dan patut bertolak dari dan mempersoalkan yang pasti untuk sampai kepada yang pasti di samping tautologi (tahshilu 'l-hashil), juga akan sampai pada mentidakpastikan yang pasti. Tak mungkin yang pasti perlu pemastian, apalagi dipertanyakan atau diragukan.







Related Post

0 komentar:

Posting Komentar