Darul Manthiq - Bening Hati Cemerlang Akal Di Sini dan Di Sana

PERCIKAN ARTI PENDIDIKAN

Minggu, 23 Oktober 2011

Hampir semua manusia mengenal terma (istilah) pendidikan, setidanya pernah mendengarnya; ia pernah mengalaminya, yakni terlibat dan atau melibatkan diri di dalamnya, baik sebagai orang tua, tokoh masyarakat, guru, anak, anggota masyarakat dan atau murid.

Namun setiap manusia tidak, belum tentu, mengerti, memahami bahkan mengarifi hakikat pendidikan; dan tidak setiap manusia mengalami atau terlibat dan atau merlibatkan diri dalam dan atau melaksanakan pendidikan sebagaimana seharusnya.

Persoalan pendidikan merupakan persoalan yang biasa tampil, dihadapi dan ditemui dalam kehidupan sehari-hari; karena persoalannya biasa, kita sering terlena pada dan memandang pendidikan sebagai kegiatan rutin tanpa persoalan; keluarbiasaannya nyaris lepas dan dilepaskan, sehingga kita sering kurang atau tidak menyadari bahwa pendidikan itu pendidikan atau bukan pendidikan, sebagaimana kita memiliki mata dan penglihatannya, kita melihat sesuatu, namun "bilakah kita melihat sesuatu?" baru merenung, memeras otak: "Ya, bilakah kita melihat", tak mudah untuk menjawabnya, atau mata kita atau penglihatannya manakala mendapat kesulian, sakit mata umpamanya, baru kita menyadari bahwa kita bermata.

Kita menyadari pendidikan mengandung persoalan, manakala kita sadar ada persoalan di dalamnya. Apakah sebenarnya esensi pendidikan itu? Apakah pelaksanaan pendidikan yang kita sedang melaksanakannya merupakan pendidikan sejalan dengan tuntutan dan tuntunan pendidikan yang semesinya?
Moehammad Isa Soelaeman (1985) dengan mengutip Henderson, mengungkapkan bahwa jawaban terhadap persoalan tersebut, atau setiap masalah pendidikan lainnya, yang diajukan itu pada akhirnya dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup, betapapun kita tidak selalu sadar dan menyadarinya serta merumuskannya. Untuk menjawab persoalan seperti diajukan di atas perlu dikaji persoalan esensi manusia. Karena pendidikan itu: "antropologis normatif yang praktis". Selanjutnya Moehammad Isa Soelaeman (1989) menyatakan bahwa adanya berbagai pandangan tentang manusia, tentang perbuatan dan tindakan manusia, tentang tujuan hidup manusia, tentang pertautan manusia dengan lingkungannya (ruang), dengan waktu, dan sebagainya, melahikan berbagai pndangan tentang pendidikan dan berbagai metode, teknik dan atau pelaksanaan pendidikan. Karenanya tampil beberapa pandangan tentang "apa mendidik (pendidikan) itu".
Pelaksanaan (keberlangsungan) pendidikan senantiasa terlibat dan melibatkan dua pihak manusia, yang berbeda satu sama lainnya ditilik dari sudut tema kepribadiannya (badan, dunia, historisitas, dan komunikasi), hanya satu segi saja kesamaannya, yaitu sama-sama manusia, karenanya situasi pendidikan harus merupakan situasi kemanusiawian.

Kedua belah pihak itu harus dipandang dan atau memandang sebagai eksistensial kemanusiawian, yaitu pihak yang mengalami pelaksanaan pendidikan, terdidik (murid) sebagai "pihak kepada siapa pendidikan itu dikenakan"; dan karenanya dalam bidang tersebut ia masih berada dalam ikatan pedagogis dan tergantung, secara temporer, kepada pendidiknya, yang diupayakan dan atau berupaya keduanya untuk melpaskan ikatan dan ketergantungan tersebut, yang dalam situasi pedagogis, ikatan itu secara apodiktis laten (senantiasa tampil, ngateung) baik lahiriah-ruhjiwani maupun ruhaniah-lahirbadani, ataupun kedua-duanya.

Dan pendidik sebagai pihak yang melaksanakannya kepada terdidik (murid). Untuk keberhasilan upaya pendidikannya itu perlulah ia menerima kenyataan bahwa terdidik (murid) memiliki prinsip emensipasi (momen identifikasi dalam situasi dan komunikasi pendidikan perlu, momen tersebut bermuara pada pembahasan pandangan filosofis "apa dan siapa, dari mana, di mana, dan mau ke mana manusia hidup. 

Karenanya pemahaman tentang antropologi-filsafi, psikologi, sosiologi yang memenuhi kriteria: "Seberapa jauh pandangan-pandangan tersebut tentang manusia, mendudukkan atau menempatkan manusia sebagai manusia", sangat urgen dan harus serta seharusnya. Namun karena keadaan dan keperiadaan terdidik (murid) itu masih memerlukan bimbingan dan bantuan dari pendidik... (M.I. Soelaeman, 1977) 

Pihak-pihak itu (pendidik dan terdidik) terdiri atas perorangan (individual dan dapat pula terjadi atau berlangsung atas kelompok-kelompok individu, terjadi atau keberlangsungannya peristiwa pendidikan di luar atau di dalam sekolah.

Situasi pendidikan dapat berlangsung di mana-mana; namun tidak setiap situasi merupakan pendidikan; situasi pendidikan dan komunikasi pendidikan merupakan suatu ikatan kedua belah pihak dan untuk melepaskan tersebut. Pendidikan merupakan perbuatan atau tindakan yang berlangsung dan bertopang pada dasar dan tujuan.

Sementara pihak ada yang memaknakan bahwa pendidikan (mendidik) adalah memelihara terdidik (c.q. anak); mendidik adalah memberi perlindungan terhadap terdidik (c.q. anak) supaya lestari hidup dan kehidupannya. Mereka di sisi lain memandang manusia tak ayalnya sederajat dengan binatang, karenanya term (istilah) memelihara terkadang dipertautkan pada binatang, umpanya memelihara kambing, kera, ayam, anjing, dan sebginya sepanjang bertautan dan dipertautkan dengan pemelihraan ternak.

Ada juga yang mencoba memodifikasi terma memelihara tersebut, agar terdapat kejelasan perbedaan manusia (c.q. anak) dengan binatang dengan menawarkan bahwa, mendidik (pendidikan) itu adalah megurus anak, mengurus segala kebutuhan hidup dan kehidupan anak, memberi makan dan pakaian, menjaga kesehatannya, setiap hari dimandikannya, jika sakit dirawatnya, dan sebagainya.

Lebih maju setingkat daripadanya (mengurus), mendidik (pendidikan) adalah menanamkan sesuatu terhadap terdidik (c.q. anak). Pandangan mereka bermuara kepada paham filsafat evolusionisme-materialistik, mendidik tak aylnya menanam pohon pisang, yang memandang manusia (segala) berkembng selaras dengan dan melewati pasti hukum-hukum perkembangan telah pasti.

Mendidik (dalam hal ini memelihara dan mengurus serta penanaman) yang baik adalah yang mempelancar evolusinya itu. Keterhasilannya tinggal ditinggu. Keterlebatan dan peran pendidik hanya menjaga supaya jangan sampai evolusinya itu terganggu, dan menunggu hasilnya. Pendidik (orangtua, guru, dan sebagainya) adalah petani yang tekun menjaga dan menunggu hasil tanaman (terdidik, anak)nya. Karena dimensi pertumbuhan dan perkembangan telas digariskan dab berjalan secara pas selaras dengan hukum-hukum yang pasti serta sudah semestinya melewati hukum-hukum tersebut.

Maka "Pendidik, pengurus, adan atau penenam (orangtua, guru, dan yang lainnya) hanya dapat melakukan sesuatu supaya terdidik (c.q.anak) dapat tunbuh dan berkembang sebaik-baiknya, dapat tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin dengan memberikan kesempatan tumbuh-kembang sesubur-suburnya dan menjaganya dari segala hambatan yang mungkin mengganggunya dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu. Terdidik tumbuh dan berkembang sendirinya sejalan dengan hukum evolusi yang berlaku baginya. Peranan pendidik kurang jelas dalam kedudukannya seperti itu.

Bagaimana mungkin mendidik (pendidikan) suatu perbuatan dan tindakan yang senantiasa bertopang pada dasar dan mengarah kepada tujuan, manakala terdidik menjadi secara evalutif sendirinya secara pasti.

Pendidik telah menggariskan, menentukan tujuan pendidikannya dan yang kemudian membantu membimbing terdidik (c.q. anak)nya mencapai tujuan tersebut, dengan memperhitungkan kemampuannya dan memperhitungkan pada lingkungan dan situasi pendidikannya, sambil tidak melupakan pula kemampuan maupun kekurangmampuannya sendiri sebagai pendidik.

Kedua belah pihak dalam situasi dan komunikasi pedagogis harus memperhitungkan dan mempertautkan tema kepribadian (badan, dunia, historisitas, dan komunikasi)nya masing-masing, sebagaimana telah terungkap di atas, dalam rangka menuju dan meraih tujuan yang telah digariskan itu. Karenanya suatu perbuatan atau tindakan pendidikan hanya dapat disebut perbbuatan atau tindakan pendidikan yang sebenarnya, manakala jelas garisnya, jelas dasar, arah, maksud dan tujuannya, sehingga berlangsung baik dan lancar pelaksanaannya.

Mendidik (pendidikan) menurut pandangan lain, cenderung ditekankan pada atau diberi makna melatih. Mendidik adalah melatih terdidik (c.q. anak) supaya memperoleh keterampilan, dengan jalan pendidik membberi instruksi kepada terdidik untuk mengerjakan sesuatu secara berulang-ulang, sehingga terjadi ia (terdidik) berbuat secara mekanis atau pembiasaan. Pendidikn (mendidik) adalah melatih atau memekanisasikan terdidik (c.q. anak), dilatarbelakangi paham (filsafat) yang memandang bahwa "man is built, not born (manusia itu adalah sebagaimana orang membentuknya, dan tidak dipengaruhi apa yang dibawakannya lahir).

Jika mendidik adalah melatih, maka seluruh pendidikan pada dasar adalah kondisionisasi. Akar pandangan tersebut secara epistemologis adalah empirisme yng dicetuskn oleh John Locke, yang terkenal dengan teori "tabula rasa"nya, yang secara metfisis bermuara pada paham filsafat materialisme. Mendidik (pendidikan) adalah mengubah tingkah laku terdidik (c.q. anak); jelas bahwa mendidik (pendidikan) adalah melatih, menyirtkan paham behaviorisme. Karenanya mendidik (pendidikan) yang menekankan latihan belka, mengarahkan terdidik pada suatu perbuatan yang mekanis. Sekaitan dengan pendidikan afektif (pendidikan nilai atau pendidikan moral), mereka berprinsip "terdidik harus dijejali pengetahuan tentang nilai sehingga ia pasti melakukan, banyak tahu tentang nilai sudah pasti melakukan", sebagaimana digariskan paham positivisme (tempat bermuara behaviorisme) dengan ungkapan A. Comte: "Savoir pour prevoir = Knowing is behaving (mengetahui supaya siap untuk bertindak; tahu pasti berbuat).

Pandangan lain memaknakan bahwa mendidik (pendidikan) adalah mengajar. Mendidik (pendidikan) memberi pengajaran berbbagai imu yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan berpikir terdidik (c.q. ank). Johann Friedrick Herbart berpendapat pendidikan adalah pengajaran, semua jenis pengajaran adalah mendidik, yaitu mendidik kemauan. Pengajaran menanamkan kumpulan tanggapan menjadi pengetahuan yang dapat menimbulkan kemauan. Ini terjadi apabila pengetahuan terdidik enimbulkan minat atau perhatian (Waty Soemanto dan Hendyat Soetopo, 1982).

Karena itu, pendidikan (mendidik) adalah menjajali terdidik dengan pengetahuan; terdidik yangbanyak tahu, otomatis menjadi pribadi yang mau dan mampu berbuat. Mendidik (pendidikan) adalah intelektualisasi (kognitifisasi) dikembangkan dan dipopulerkan oleh J. F. Herbart, Piaget, John Dewey, Kohlberg, dan kawan-kawannya yang lain, bermura pada pola pikir Plato: "Knowledge is virtue (Pengetahuan adalah kebaikan)"' Knowing is doing (tahu pasti melakukan).

Inti dan fungsi pendidikan adalah membina (pembinaan) kata hati, supaya kata hati terdidik (c.q. anak) tergugah; mendidik (pendidikan) bukan sekedar transformasi pengetahuan dan informasi (pengajaran/mengajar), rekayasa terarahkan pada keterampilan (latihan/melatih; indoktrinisasi), juga bukan sekedar sosialisasi, enkulturisasi, moralisasi, dan humanisasi, apalagi dehumanisasi. Karena pendidikan hanya merupakan dan ditekankan pada ranah (wilayah) kognitif (pengajaran dan informasi) atau ranah psikomotor (pembiasaan, keterampilan), sehingga aspek nilai (ranah atau wilayah afektif) kurang diperhatikan, maka BBloom (1964) memperingatkan bahwa pelaksanaan pendidikan harus meliput 3 (tiga) domain (wilayah) yang masing-masing terbagi menjadi beberapa jangkauan (tingkat) kemampuan (level of competence) sebagai berikut:

1. Tingkat Kemampuan Cognitive:
Knowledge;
Comprehension;
Application;
Synthesis;
Analysis;
Evaluation.

2. Tingkat Kemampuan Affective:
Receiving;
Responding;
Organisation;
Characterisation.

3. Tingkat Kemampuan Psychomotor:
Initiatoi Level;
Pre-routine Level;
Routinized Level.

Sementara pendidikan adalah upaya sengaja yang berpengaruh dari pihak dewasa kepada anak yang dianggap belum dewasa; di mana upaya tersebut sebagai pemberian bantuan menuju pribadi yang integratif.

Related Post

0 komentar:

Posting Komentar