Darul Manthiq - Bening Hati Cemerlang Akal Di Sini dan Di Sana

TUJUAN DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI ILMU MANTHIQ

Senin, 31 Oktober 2011

Kerja keras sekaligus yang menentukan manusia sebagai manusia, tentunya ada pelibatan Allah Swt Awj, adalah olah pikir dalam menemukan kebenaran.

Socrates meyakini bahwa "tanpa teruji (penderitaan) hidup tak bermakna". Bagi Socrates --seperti halnya para bapak filsafat dari Yunani-- Martabat manusia ditentukan oleh olah pikir dalam menemukan kebenaran. Namun perlu disadari bahwa manusia juga makhluk yang penuh rasa ingin tahu. Hal yang merisaukan, seperti ditulis oleh Aristoteles, ketika manusia berfilsafat. Filsafat merupakan induk dari dan sejalan dengan ilmu pengetahuan (sains). Bahkan, filsafat secara umum merupakan ilmu pengetahuan dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada. (Milton D. Hunnex, terj., 2004 p. 1-2).

Olah pikir merupakan aktualisasi potensi akal, sehingga menyiratkan perlu dan dapat dididikan hal yang berkaitan dengan olah pikir tersebut. Ilmu Manthiq (logika) merupakan alat berpikir agar pemikiran itu benar, baik, dan tepat, yang memungkinkan turut mendukung ke arah perolehan kebenaran.

Pencarian dalam kerangka penemuan kebenaran adalah salah satu kerja pikir filsafi; yang pangkal-penghujungnya pengetahuan tentang ilmu (pengetahuan), yakni pengetahuan filsfat, di mana pengetahuan filsafat itu adalah ilmu (pengetahuan) yang utuh dan menyeluruh itu sendiri, yang bersifat untuh menyeluruh dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada.

Uraian tersebut di atas menunjukkan perlu dan dapatnya "Mempelajari Ilmu Manthiq (Logika)". Sedangkan "Mempelajari Ilmu Manthiq (logika), seperti halnya mempelajari ilmu-ilmu lainnya, tidak terlepas dari tujuan dan kegunaan.

Tujuan "Mempelajari Ilmu Manthiq (Logika)", dilihat dari karakter yang terkandung dalam Ilmu Manthiq (logika) itu sendiri, ialah "Memelihara, melatih, mengajar, dan memdidik yang bermuatan mengembangkan potensi akal dalam mengkaji objek pikir dengan menggunakan metodologi berpikir".

Tujuan "Mempelajari Ilmu Manthiq (Logika)"  yang diajukan oleh Muhammad Nur Al-Ibarahim tersebut di atas (Khalimi, 2011 p. 18) menunjukkan bahwa,

1. Ilmu Manthiq (logika) sebagai ilmu buatan (artifisial) sebagai hasil pengembangan dari potensi akal, dapat memelihara kemampuan dasar akal yang bersifat potensial tadi dari pengaruh luar (lingkungan) yang memungkinkan potensi akal tadi ke arah kesesatan; untuk itu, metodologi berpikir sebagai produk dan terdapat secara inhern dalam Ilmu Manthiq (logika) turut menjaga dan mengurusnya serta meluruskan potensi akal dalam mengkaji objek pikirnya.

2. Ilmu Manthiq (logika) yang memuat prinsip-prinsip berpikir benar, baik, dan tepat, kerangka pikir benar, baik, dan tepat, serta rancangbangun (sitematika) berpikir, dengan sendirinya, melatih orang berpikir sehingga suatu ketika orang tersebut berketerampilan mengapliksikan prinsip, rangka, dam sistematika berpikir dalam mengkaji objek pikir; lantas setelah begitu itu orang tersebut terbiasa berpikir teoritis dan praktis: aplikasi - praktris - mekanistik bermanthiq.

3. Ilmu Manthiq (logika) yang memuat format berpikir seperti tashawwur (pengertian), tashdiq (keputusan), dn istidlal (penuturan) memiliki sisI dinamis, sehingga memungkinkan mengajar kepada orang dalam kerangka mempertajam potensi akal (intelektualitas) serta pengetahuan, kemauan, dan kemampuan berpikir itu sendiri secara actus. Walhashil, Ilmu Manthiq (logika) mengajar manusia menuju kemahiran intelektualitas sebagai hasil pengajaran Ilmu Manthiq (logika) tersebut berupa berpikir ilmiah baik bersifat saintifik, logis-filosofis, mupun mistik-sufistik.

4. Ilmu Manthiq (logika) sebagai ilmu yanag bertolak dari pengembangan potensi akal; sedangkan akal mencakup akal potentia maupun akal actus, yang keduanya merupakan alat kerja ruhani yang menjadikan jasmani sebagai jembatan untuk merealisasikan berpikir di tengah-tengah alam semesta sekaligus berhadapan denagan diri sendiri dan Allah Swt Awj, maka Ilmu Manthiq (logika) dengan hal berkaitan dengannya seperti telah disinggung di atas, pada sisi dasar dan fungsinya bagi manusia sebagai diri sendiri (individu), sosial, dan makhluk Allah Swt Awj, mendidik manusia dapat berpikir secara universal, sistematis, dan radikal. Ilmu Manthiq (logika) disebut mendidik ke arah mewujud pribadi yang berpikir secara universal, sistematis, dan radikal, bahkan total, komprehensif, dan integral, karena Ilmu Manthiq (logika) itu di samping sebagai alat yang memungkinkan dapat turut mengembangkan manusia ke arah itu juga sebagai filsafat berpikir. Sedangkan filsafat itu sendiri berpikir universal, sistematis, dan radikal, yang berfungsi sebagai cara berpikir kritik dan konstruktif.

Filsafat, tentu logika (Ilmu Manthiq) di dalamnya, berusaha untuk memhami kehidupan dan dunia secara keseluruhan. Metode yang digunakan adalah metode kritik dan konstruktif. Dalam fungsinya sebagai alat kritik, filsafat, logika (Ilmu Manthiq) berusaha menguji asumsi-asumsi dan ide-ide dengan tujuan untuk mengklarifikasi dan memahaminya. Fungsi kritik ini banyak digunakan dalam masalah-masalah seperti teori ilmu pengetahuan dan teori tentang nilai. Intinya adalah analisis. Sementara dalam fungsinya yang konstruktif, filsafat (logika, Ilmu Manthiq) berusaha menelaah dan mengorganisir seluruh fakta yang ada supaya dapatt menemukan satu pandangan tentang dunia secara keseluruhan. Pada dasarnya kedua fungsi ini bersifat sinopsis dan spekulatif. Hal ini akan melibatkan sejumlah kajian seperti kajian metafisika dan teori tentang realitas. Sejumlah filosof meyakini bahwa filsafat (logika, Ilmu Manthiq) membatasi diri hanya dalam fungsinya sebagai alat kritik saja. Biasanya, filsafat (logika, Ilmu Manthiq) memberi semacam ekspresi pada kepentingan  spekulatif manusia --suatu usaha untuk memahami dirinya sendiri dalam hubungannya dengan alam semesta sebagai satu kesatuan. (Milton D. Hunnex, terj., 2004 p.3).

Dengan demikian pantaslah "mendidik dalam kerangka mengembangkan potensi akal dalam mengkaji objek berpikirnya dengan menggunakan metodologi berpikir" itu, menjadi tujuan "mempelajari Ilmu Manthiq (logika)".

Tujuan dari sisi keperiadaan manusia itu sendiri, yang dituntut untuk tahu, mau, dan mampu berpikir kritis dan konstruktif yang sinoptik lagi kontemplatif, maka tujuan "Mempelajari Ilmu Manthiq (logika)"  bagi manusia digambarkan tersebut berikut, adalah: Orang yang mempelajari Ilmu Manthiq (logika) diharapkan dapat:

1. Menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi yang tepat dan benar;
2. Membedakan proses dan kesimpulan berpikir yang benar dari yang salah.

Ilmu Manthiq (logika), seperti telah disebutkan di muka, merupakan Ilmu Alat berpikir teoretis dan praktis secara baik, benar, dan tepat untuk mencari kebenaran dan menemukannya, maka sisi kegunaan mempelajari Ilmu Manthiq (logika) tidak bersifat langsung; artinya kegunaannya terasa ada tatkala kita menimbang ilmu-ilmu apakah benar, berbobot ilmiah atau tidak.

Khalimi (2011 p. 18-19) menjelasakan bahwa, Jadi, mempelajari Ilmu Manthiq (logika) itu sama dengan mempelajari Ilmu Pasti dalam arti sama-sama tidak langsung memperoleh faedah dengan ilmu itu sendiri, tetapi ilmu-ilmu itu sebagai perantara yang merupakan suatu jembatan untuk ilmu-ilmu yang lain juga untuk menimbang sampai di mana kebenaran ilmu-ilmu itu. Dengan demikian, maka Ilmu Manthiq (logika) juga boleh disebut Ilmu Pertimbangan atau Ukuran, dalam bahasa Arab disebut 'Ilmu Mizan atau Mi'yaru 'l-'Ulum... Ilmu Manthiq (logika) merupakan lampu obor penerang jalan menuju arah yang dituju; yang karenanya Ilmu Manthiq (logika) dinamakan ilmu dari segala ilmu, Ilmu Timbangan dan Ukuran dari segala ilmu.

Kegunaan Mempelajari Ilmu Manthiq (logika) berdasarkan beberapa ahlinya adalah bahwa, Ilmu Manthiq (logika) itu dapat:

1. Membantu manusia untuk dapat tahu, mau, dan mampu berpikir rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis, dan koheren;
2. Melatih jiwa manusia, sehingga menjadikan ia mampu memperhalus jiwa pikirannya;
3. Mendidik kekuatan akal pikiran serta memperkembangkannya ke arah wujud yang terbaik; yang diperolehnya melalui pelatihan dan pembiasaan mengadakan penyelidikan-penyelidikan tentang cara berpikir yang digariskan Ilmu Manthiq (logika). Pelatihan dan pembiasaan berpikir sebagaimana yang dituntut dan dituntun Ilmu Manthiq (logika), manusia akan mudah dan cepat mengetahui di mana letak kesalahan yang menggelincirkannya dalam upaya menuju hukum-hukum yang diperbolehkan dengan pemikiran itu;
4. Meningkatkan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan manusia dalam berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif;
5. Menambah kecerdasan dan meningkatkan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri;
6. Menjadi tuntutan dan tuntunan serta pendorong manusia untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis;
7. Meningkatkan rasa cinta manusia akan kebenaran sekaligus menghindari kesalahan-kesalahan berpikir serta kekeliruan dan kesesatannya;
8. Menjadi tuntutan dan tuntunan kepada manusia agar tahu, mau, dan mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian, sehingga menghindari klenik;
9. Meningkatkan citra diri manusia sebagai konsekuensi tahu, mau, dan mampu berpikir rasional, kritis, lurus, metodis, dan analitis sebagaimana dituntut dan dituntun oleh Ilmu Manthiq (logika).

Imam Al-Ahdhari bersenandung bahwa, Fa Ya'shimu 'l-Afkara 'an Ghayyi 'l-Khatha-i; wa 'an Daqiqi 'l-Fahmi  Yaksyifu 'l-Ghitha-a: Manthiq (logika) dapat memelihara pikiran dari kesalahan berpikir; memperdalam pemahaman dan menyingkap selimut kebodohan.

Al-Imam Al-Ghazali menandaskan bahwa, Anna Man La Ma'rifata lahu bi 'l-Manthiqi La Yuwtsaqu bi 'Ilmihi: Sungguh orang yang tidak memiliki pengetahuan dalam Ilmu Manthiq (logika) tidak dapat dipercaya ilmunya.

Pernyataan Al-Imam Al-Ghazali tersebut di atas manakala dipertautkan dengan uraian mengenai tujuan dan kegunaan "mempelajari Ilmu Manthiq (logika)', maka:

1. Ilmu Manthiq (logika dapat memenuhi harapan orang yang mempelajarinya, yakni orang mempelajari Ilmu Manthiq (logika) berharapan dapat bernalar dengan baik, benar, dan tepat.

2. Prinsip-prinsip abstrak dari dan dalam Ilmu Manthiq (logika) dapat diaplikasikan atau diimplementasikan dalam semua bidang ilmu bahkan pada seluruh lapangan kehidupan.

3. Ilmu Manthiq (logika) yang memuat prinsip-prinsip abstrak itu dapat membantu kita untuk tahu, mau, dan mampu berpikir abstrak, yang menjadi tuntutan dan tuntunan guna mengembangkan pemikiran.

4. Ilmu Manthiq (logika) bila dipelajari secara tepat dapat membantu kita untuk berpikir lurus, tepat, dan teratur; di samping itu Ilmu Manthiq (logika) juga dapat membantu kita untuk:
a). menginterpretasikan secara tepat fakta dan persepsi orang lain;
b). melacak penalaran yang sesat dan tidak logis kemudian menunjukkan di mana letak kesalahannya;
c). mengembangkan pemikiran ilmiah dan reflektif dengan tetap setia pada kebenaran, yang merupakn ciri khas pencari kebenaran atau pencinta kebijaksanaan;
d). menjalani suatu disiplin intelektual yang perlu untuk memandu kita dalam proses menarik kesimpulan (natijah, konklusi);
e). menghindarkan: 1. berbagai macam kesalahan berpikir (fallacia) yang muncul etah karena otoritas (kuasa), emosi, prasangka, keindahan, bahasa, atau kebiasaan. Logika (manthiq) adalah logos yang dipertentangkan dan melawan mythos; 2. terlalu gampang melakukan generalisasi dan kecenderungan menarik kesimpulan (natijah, konklusi) yang salah karena melebihi apa yang dinyatakan dalam premis-premis (muqaddamat) sebelumnya.

EPISTEMOLOGI

Kamis, 27 Oktober 2011

Istilah epistemologi terbangun dari kata "episteme" dan "logos"; "episteme" yang mengandung arti "pengetahuan atau ilmu" berasal dari bahasa Yunani; begitu juga "lolos" yang berarti "kata", "bahasa", "sabda", "firman", "ajaran", atau "teori". Dengan demikian, epistemologi secara pendekatan kebahasaan (etimologis) adalah teori ilmu.

Epistemologi yang menjadi suatu bidang garapan filsafat memperbincangkan teori pengatahuan, teori kebenaran, dan logika.

Teori pengetahuan mencakup pembahasan objek atau sasaran pengetahuan, sumber pengatahuan, dan aliran filsafi mengenai hakikat pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan, dan nilai pengetahuan.

Paling tidak, ada tiga objek atau sasaran pengetahuan, yaitu objek indriah, objek non-indriah, dan objek di luar jangkauan kemampuan manusia.

Objek indriah disebut juga objek manifes, real, dan konkret. Objek indriah ini menuntut dan menuntun manusia untuk menggunakan indera; dan indera itu sendiri menjadi sumber pengetahuan (Al-Hawwasu Abwabu 'l-'Ulum: Panca indera itu merupakan pintu-pintu segala pengetahuan).

Aliran filsafat yang mengembangkan dan memandang inderalah satu satunya sumber pengetahuan adalah empirisme. 

Cara memperoleh pengetahuan termaksud melalui eksperimen. Pengetahuan yang diperolehnya disebut aposteriori (pengetahuan yang telah teralami). Sifatnya logis-empiris. Hakikat ilmu adalah sains. Sedangkan nilai pengetahuan tersebut adalah bebas nilai. Saintifik tidak berkaitan dengan sopan atau tidak sopan; saintifik bersifat objektif.

Objek non-indriah disebut juga objek ideal, rasio, intelek, dan bstrak. Objek non-indriah ini menuntut dan menuntun manusia untuk menggunakan akal; dan akal menjadi sumber pengetahuan (Qiwamu 'l-Mar-i 'Aqluhu: garis penuntun seseorang, termasuk dalam perolehan pengetahuan, adalah akalnya).

Aliran filsafat yang mengembangkan dan memandang akallah satu-satunya sumber pengetahuan adalah rasionalisme.

Cara menperoleh pengetahuan termaksud melalui merenung. Pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan a priori (pengetahuan yang belum atau tidak teralami). Sifatnya logis. Hakikat ilmu adalah filsafat. Sedangkan nilai pengetahuan tersebut adalah sarat nilai.

Objek di luar jangkauan kemampuan manusia disebut juga objek transcendental atau spiritual. Objek di luar jangkauan kemampuan manusia ini menuntut dan menuntun manusia untuk menggunakan qalb; dan qalb menjadi sumber pengetahuan.

Aliran filsafat yang mengembangkan dan memandang qalblah satu satunya sumber pengetahuan adalah intuisisme.

Cara memperoleh pengetahuan termaksud melalui riyadhah (latihan). Pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan laduni. Sifatnya supra-logis. Hakikat ilmu adalah mistik. Sedangkan nilai pengetahuan tersebut adalah kental esoterik sufistik.

Baik pengetahuan sains, pengetahuan filsafi, maupun pengetahuan mistik merupakan penjabaran dari kebenaran; sebab yang hendak diketahui adalah yang benar. Apa benar itu?

Teori Korespondensi membatasi bahwa yang disebut benar, ialah kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Teori ini berdampingan erat dengan aliran filsafat empirisme.

Teori Konsistensi (koherensi) membatasi bahwa yang disebut benar, ialah keselarasan antara suatu penyataan dengan pernyataan yang lain. Teori ini berdampingan erat dengan aliran filsafat rasionalisme.

Teori pragmatisme membatasi bahwa yang disebut benar sangat tergantung kepada situasi dan kondisi; dengan demikian inti kebenaran adalah kegunaan.

Aliran filsafat ituisisme berdampingan dengan teori kebenaran yang disebut dan mengembangkan kata hati, yang oleh Immanuel Kant sering disebut dengan Imperative Praktis.

Logika dalah suatu ilmu yang mempelajari tentang cara berpikir yang baik, tepat, dan benar dengan menggunakan akal yang mendapatkan bimbingan dari Allah Swt Awj agar terhindar dari kesalahan.Logika pada pokoknya mencakup pengertian, keputusan, dan penuturan. Terdapat Logika Formal dan Material. Logika Formal mencakup bahasan definisi, klasifikasi, oposisi, eduksi, silogisme, dan delima. Logika Material mencakup generalisasi, analogi, hubungan kausalitas, hipotesis, teori, penjelasan, dan probabilitas  yang meliputi mengenai hakikat pengetahuan itu sendiri.

 

PROSEDUR PENUNTUN BERPIKIR FILSAFI

Rabu, 26 Oktober 2011

Prosedur tentu mengandung langkah-langkah teknis segaligus pelaksanaan yang tak begitu saja muncul; namun justeru merupakan penjabaran dari manual yang mengacu kepada praktek; dan praktek itu sendiri merupakan aplikasi dari unsur teoritis, sehingga tidak ada teori yang paling baik kecuali praktek itu sendiri sebagai penerapan dari teori. 

Paulo Freire lebih senang menggunakan istilah praksis. Di mana praksis tersebut merupakan penerapan secara penuh, padu, dan utuh dari Kata (word) dan Kerja (work), yang keduanya merupakan yang terkonstruk secara terstruktur dari dialektika aksi dan refleksi. Pertautan terus menurus antara aksi (tindakan, perbuatan) dengan refleksi (teori) menunjukkan bahwa praksis itu merupakan aplikasi teori kepada praktek secara sekaligus koresponden - konsisten - intuitif.

Karena itu praktek merupakan turunan dari ilmu; sedangkan ilmu itu sendiri menjadi penjabaran dari suatu teori; dan teori itu sendiri tidak muncul begitu saja, namun merupakan buah dari filsafat; filsafat dari kitab kitab suci (agama dalam artian potentia, tidak sekedar actus), yang penghujungnya agama dari wahyu; akhir dan awalnya kita tahu bahwa wahyu itu dari Sang Tuhan. Dengan demikian "prosedur penuntun berpikir filsafi" berujungpangkal kepada/dari Sang Tuhan. Apa yang kepada/dari Sang Tuhan itu, secara tafshili (perincian)nya? ialah manakala kita hendak tahu, mau, dan mampu berpikir filsafi:

1. Posisikan diri pribadi kita sebagai pelajar. Belajarlah menjadi pemula. Posisi pemula dalam segala hal, termasuk pemula dalam mengarifi hidup ini posisi dasar yang membawa kepada kesadaran; hanya yang berkesadaran sebagai pemulalah yang terpaut harus dan dapat merasa heran; heran akan ada dunia, kok dunia ini ada, saya, anda, dia, kita, dan mereka ada; heran kok Tuhan ada, dan seterusnya. Perwujudan "yang menjadi pemula" dalam segala hal, umpamanya tergambar tatkala seseorang melihat segala yang tentu sepanjang terlihat dan dapat dilihat serta dalam posisi melihat, maka ia melihat segalanya itu seolah-olah pertamakalinya melihat; untuk itu, reaksi yang muncul adalah keheranan. Sedangkan heran, termasuk heran melihat segala hal, merupakan dasar berfilsafat; dan memang filsafat bermula dari rasa heran.

2.Kita membiasakan diri pribadi tidak cepat begitu saja langsung percaya bahwa dunia luar itu ada. Akal sehat  (common sense) menyatakan bahwa matahari yang muncul tiap pagi itu ada lepas dari kesadaran kita. Justru filsafat mempersoalkan bahwa, apakah benda yang di luar pikiran kita itu "sungguh berada di luar pikiran" atau merupakan "pantulan dan konstruksi pikiran kita". Apakah yang ada itu benda atau kita; atau justeru yang ada itu pikiran; jangan-jangan kitanya tidak ada? Hal ini menggambarkan kontroversi rumit dan sulit dari dan dalam aliran-aliran filsafat.

3. Kita mesti membiasakan diri pribadi untuk melucuti ciri-ciri fisik konkret yang dilihat; dan hingga  kita menemukan ciri umum dalam hal-hal konkret itu. Dalam filsafat fenomenologi terdapat ajaran metodologis: Reduksi fenomenologis - Reduksi Eiditis - Eidos, yakni: Kita menyingkirkan ciri-ciri meja di depan ini; proses penyingkiran itu ada keterlibatan analisis, yang pada analisis terakhir akan menemukan ciri-ciri umum; di mana ciri-ciri umum yang sangat abstrak itu mendukung kepada peraihan makna. Wilayah ciri-ciri umum dan abstrak itu menjadi issue kontroversial di beberapa aliran atau ajaran filsafat.

4. Bentuklah kebiasaan dalam diri pribadi kita sadar akan tugas berupa mencari titik atau pangkal tolak dari segala sesuatu yang kita alami atau amati; Manakah yang lebih dahulu, buah durian yang kita lihat itu atau pikiran kita tentang buah durian? Memang pertanyaan ini sulit dijawab? Namun memang dalam berfilsafat yang pokok bukan jawaban, justeru yang terpenting adalah pertanyaan. Ajaran filsafat menuntut dan menuntun kita harus dan dapat memilih salah satu, sehingga akan menentukan posisi dalam menjelaskan segala sesuatu; dan memang pola inilah yang dilakukan oleh berbagai aliran filsafat.

5. Kita mesti membiasakan memikirkan bagian-bagian tanpa melepaskannya dari keseluruhan. Pola ilmu spesifik dalam memberikan gambaran mengenai realitas khusus; sedangkan filsafat tidak berkehendak mengisolasi semacam yang dikerjakan saintifik itu; berfilsafat berarti memberi perspektif tentang keseluruhan. Argumen filsafi tidak bermain dengan satu komponen, melainkan dengan totalitas, sehingga menghindari pandangan mata-dekat dan mengupayakan untuk memiliki pandangan mata-jauh. Berpikir filsafi bersifat universal, sistematis, dan radikal.


KETERARAHAN PENDIDIKAN MEWUJUD PRIBADI INTEGRAL

Senin, 24 Oktober 2011

Pendidikan harus mengarahkan terdidik (c.q. anak) menjadi pribadi yang mengenal, mengetahui, memahami, bahkan mengarifi nilai (nilai kognisi), meresapi dan berkemauan untuk merealisasikan nilai; nilai telah menjadi miliknya (internalisasi nilai), berkemampuan menjelmakan nilai yang mempribadi (personifikasi nilai), dan merealisasikan nilai itu sendiri.

Perealisasian nilai itu karena kata hatinya, si terdidik tadi. Kata hari ialah suatu intasi yang dimiliki terdidik yang mengharuskannya untuk melaksanakannya, ia akan merasa dikejar-kejar oleh dirinya sendiri. Scheler menyebutnya :Suatu panggilan yang muncul dalam diri sendiri, namun diraskan seperti datang dari intansi yang lebih tinggi". Immanuel Kant menyebutnya "imperative Praktis, yang memerintah untuk melaksanakannya, saya --diri sendiri yang menjadi pengawasnya-- merasakan keberharusan melaksanakannya selaras dengan tuntutan dan tuntunan yang seharusnya".

Untuk itu, pendidikan pada dasarnya "komunikasi dan interkomunikasi --pergaulan sosial terkontrol yang dinamik-- yang terarah kepada perealisasian nilai. Dan harus diingat bahwa komunikasi tersut bukan untuk kepentingan diri sendiri, ia hanya merupakan alat; karenanya harus dilandasai kasih sayang sebagai dasar identifikasi, saling mempercayai (kepercayaan) sebagai dasar kewibawaan, dan bertanggungjawab yang menunjukkan bahwa pendidikan itu tidak dapat dilaksanakan oleh sembarang orang.

Ada beberapa term (istilah) yang bertautan dengan pendidikan. Bila uraian tersebut di atas ditinjau secara pola pikir parsial (molekuler, unsuriah), yang kadang-kadang satu sama lainnya diidentikkan, yaitu mendidik, mengajar, melatih, bahkan memelihara dan mengurus terdidik (c.q. anak).

Terma (istilah) memelihara dan mengurus terkadang dipertautkan dengan binatang ternak, seperti memelihara kera, mengurus kerbau dan sebagainya. Untuk itu, kurang selaras dipergunakan untuk manusia.

Terma (istilah) mengajar terlalu sempit, hanya menekankan pada bidang pengetahuan (pengajaran intelek). Lebih sempit lagi terma (istilah) melatih (latihan) hanya menekankan pada bidang keterampilan yang tidak selalu meminta upaya berpikir seperti halnya dalam mengajar, bahkan latihan dan belajar dapat pula diterapkan terhadap binatang, seperti melatih anjing pelacak bagi kepentingan para polisi, melatih harimau dan singa untuk pertunjukan sirkus, melatih ikan lumba-lumba, dan sebagainya; dan memang secara filosofis ia diangkat ke dalam dunia pendidikan atas dasar eksperimen terhadap binatang di laboratorium psikologi, yang hasil-hasil eksperimentasinya itu diaplikasikan terhadap pelaksanaan (proses) belajar mengajar (manusia seolah-olah dicetak atau dipolakan dengan menggunakan cetakan atau pol untuk mencetak, membentuk, atau mempolakan binatang?).

Ada sejumlah tokoh yang telah menghasilkan eksperimentasi tersebut di atas, yang pada mula telah dirintis oleh Aristoteles, ia tokoh pendiri paham filsafat realisme yang secara epistemologis dikembangkan oleh John Locke dengan empirismenya yang menekankan pada objek (korespondensi); secara pedagogis (khususnya teori belajar) dikembangkan oleh para psikolog behaviorisme, yang semuanya secara metafisis bermuara pada paham filsafat materialisme, yaitu Pavlov, Thorndike, Skinner, dan para ahli yang sedang trend (beken) sekarang.

Eksperimentasi mereka semula diilhami oleh Wundt dengan gagasan dan pendirian laboratorium psikologinya, yang hingga sekarang menghasilkan, dalam pendidika, Teknologi Pendidikan. Hewan-hewan yang pernah dieksperimentasikan oleh mereka itu di antaranya burung merpati, anjing, simpase (kera), dan paling banter manusia sakit.

Pendidikan (mendidik anak) meliput seluruh kepribadiaannya secara integratif dan komprehensif. Sedangkan pengajaran (mengajar) meliputi hanya sebagian dari kepribadian, yaitu segi inteleknya saja; dan latihan hanya menyangkut segi jasmani-jiwani atau psikomotoris kepribadian.

Karenanya tujuan mendidik (pendidikan) diarahkan pada pencapaian kepribadian yang terpadu, yang terintegrasi yang sering dirumuskan untuk mencapai kepribadian yang dewasa.

Para pedagog pada umumnya sejalan bahwa tujuan poendidikan (mendidik) adalah untuk mencapai kedewasaan; manusia normatif: tahu nilai, mau dan mampu (tersentuh dan tergugah kata hatinya, karena nilai telah terinternalisasi dan mempribadi --terpersonifikasi) merealisasikannya serta perealisasiannya itu selaras dengan tuntutan dan tuntunan yang seharusnya sebagai manusia bertanggungjawab (tanggungjawab merupakan ciri wanci --ciri khas-- bagi dan kemampuan dasar pribadi etis manusia sebagai manusia?).

Tujuan mengajar (pengajaran) hanya diarahkan dan ditekankan pada ranah kognitif (mengenal nilai, kehidupan atau kemampuan intelek, terdidik diarahkan supaya menjadi orang dewasa memiliki kemampuan berpikir ilmiah: Logico-hypothrtico-verificative, seperti mampu berpikir abstrak logis, objektif, kritis, sistematis, analisis, sintesis, integratif, dan innovatif.

Tujuan melatih (latihan) diarahkan dan ditekankan hanya pada ranah psikomotor, agar...

LAPANGAN ILMU MANTHIQ

Kalau Ilmu Manthiq itu alat berpikir, agar dapat berpikir secara syah, maka muncullah "apakah berpikir itu?".

Istilah pikiran tidak asing lagi, dapat dikenal, dan arti berpikir pada umumnya dapat diketahui. "Berpikir adalah suatu kegiatan jiwani untuk mencapai pengetahuan" (Parta SM).

Giebs menjelaskan "berpikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisa, membutikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasannya, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pemikiran, mencari bagaimana berbagai hal itu berhungan satu sama lain".

Ibnu Sina menyebutkan bahwa, "berpikir menurut manusia pada umumnya adalah pelompatan akal budi dengan cara memindahkan suatu gagasan tentang sesuatu yang terdapat dalam akal budi kepada sesuatu yang terdapat di luar akal budi tersebut; lompatan perpindahan tersebut tak pernah kosong dari pengkonstruksian atau penyusunan".

Berpikir yang juga disebut refleksi sering disebut "sebagai penataan konsep atau idea yang kompleks dengan jalan perenungan dan penyadaran dengan penuh pertimbangan dalam rangka pencarian makna". Dengan demikian, berpikir adalah "penangkapan inti yang terjadi dalam akal budi". Walhashil, pemikiran berdasarkan uraian tersebut, secara ringkas dapat dikatakan "pencarian sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang telah diketahui".

Kalau berpikir itu, Dorongan jiwani untuk menyusun "sesuatu sudah diketahui" guna mencapai "sesuatu yang belum diketahui"; sedangkan Ilmu Manthiq secara lughawi (etimologis, pendekatan kebahasaan) adalah "suatu ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa; maka Ilmu Manthiq mempersoalkan "pemikiran" yang dinyatakan dalam bentuk bahasa, serta beberapa proses pembentukannya.

"Sesuatu yang telah diketahui" baik berbentuk tshawwur (konsep) maupun tashdiq (penilaian), disebut "bahan" pemikiran; sedangkan "sesuatu yang belum diketahui" yang dapat berbentuk tshawwur atau tashdiq, disebbut natijah (konklusi) yang akan diperoleh dari pemikiran itu. Jadi, "sesuatu yang belum diketahui" disebut natijah (konklusi); sedangkan "sesuatu yang telah diketahui" disebut bahan atau dasar pemikiran (premis dan mediasi).

Alam berubah, dari tiada (creatio ex nihilo) menjadi ada (diadakan); maka natijah (konklusi) yang dapat ditarik, bahwa "alam itu baru". Perubahan alam dan memang teramati bahwa alam ini senantiasa berubah, tiada yang menetap di alam ini, bahkan disebutnya juga alam fana, merupakan bahan pemikiran; dan dari bahan pemikiran tersebut dapat ditarik suatu natijah (konklusi) bahwa "alam ini baru". Kalau alur pemikiran ini digambarkan, maka pemikiran ini mempunyai bentuk sebagai berikut.

Alam itu berubah.
Setiap yang berubah baru.
Alam ini baru.

Uraian tersebut di atas menunjukkan, bahwa pemikiran itu dalam "pengetahuan tak langsung" yang didasarkan atas "pengetahuan langsung". Pemikiran mungkin benar mungkin tak benar; artinya suatu natijah (konklusi) yang ditarik mungkin benar mungkin tak benar. Untuk itu, persoalan kebenaran dan ketakbenaran sangat penting dalam peristiwa pemikiran; dan memang Ilmu Manthiq hanya mempersoalkan "kalimat sempurna berbentuk "pemberitaan". Kalimat sempurna berbentuk pemberitaan itulah yang disebut qaqiyah (proposisi, keputusan). Sedangkan yang disebut kalimat pemberitaan mengandung dua kemungkinan, yaitu kemungkinan benar dan kemungkinan tak benar (dusta). Karena itu pula, bertolak dari pertautan Ilmu Manthiq dan pemikiran, maka Ilmu Manthiq harus mempersoalkan dasar-dasar atau prinsip-prinsip dan kriteria kebenaran itu. Karenanya tidaklah dapat disebut tanpa alasan bila Ilmu Manthiq itu disebut juga Ilmu Mizan (sebagai timbangan untuk mempertimbangkan yang syah dan mana yang tidak, guna peraihan pengetahuan yang benar, terhindar dari pengetahuan yang tak benar).

Pemikiran konkret di atas, bila ditelusuri secara seksama, maka akan terbaca bahwa pemikiran itu meliputi qudhaya (proposisi-proposisi, keputusan-keputusan) yang disepadankan dengan Kalam atau Jumlah Mufidah (kalimat sempurna) dalam Ilmu Nahwu (Tata Bahasa). Contoh tersebut di atas bila diteliti, maka terdapat atau terdiri atas 3 qadhiyah (proposisi, keputusan), yaitu:

Alam itu berubah.
Setiap yang berubah baru.
Alam itu baru.

Ibnu Sina menyebutkan bahwa qadhiyah itu, adalah, "Setiap perkataan (keterangan atau ketentuan, juga sering diterjamahkan menjadi keputusan) yang meliput pertautan antara dua lafadh atau ism (term), di mana perkataan itu mengandung hukum pertimbangan benar atau tidak benar"; bahkan terkadang qadhiyah itu disepadankan dengan thesis yang memerlukan antithesis untuk melahirkan thesis lain, di mana thesis yang lahir itu disebut sinthesis.

Rangkaian dialektika: thesis - atithesis - sinthesis ciptaan Hegel tersebut di atas, berlangsung secara terus menerus dalam rangka perkembangan dan pengembangan pengetahuan.

Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Ada suatu fase pertama (tesis) yang menampilkan lawannya (antitesis), yaitu fase kedua. Akhirnya timbullah fase ketiga yang memperdamaikan fase pertama dan kedua (sintesis). Dalam sintesis itu tesis dan antitesis menjadi "aufgehoben", kata Hegel. Kata Jerman ini mempunyai lebih dari satu arti dan Hegel memaksudkan semua arti itu (dalam bahasa Inggris umumnya diterjamahkan dengan "sublated"). Di satu pihak "aufgehoben" berarti: dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi. Dan memang dimaksudkan "karena adanya sintesis, maka tesis dan antitesis sudah tidak ada lagi"; sudah lewat. Tetapi di lain pihak kata tersebut berarti juga: diangkat, dibawa ke tahap atau ketaraf lebih tinggi. Dan itu juga dimaksudkan Hegel: dalam sintesis masih terdapat tesis dan antitesis, tetapi kedua-duanya diangkat kepada tingkatan baru. Dengan perkataan lain, dalam sintesis baik tesis maupun antitesis mendapat eksistensi baru. Atau dengan perkataan lain lagi, kebenaran yang terkandung dalam tesis dan antitesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi dalam bentuk lebih sempurna. Dan proses ini akan berlangsung terus. Sintesis yang telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-duanya dapat diperdamaikan menjadi sintesis baru. Maka dari itu, proses dialektika sebaiknya dikiaskan dengan gerak spiral dan bukan dengan gerak lurus. (K. Bertens, 1991).

Jadi bentuk pemikiran pada contoh di atas meliput tiga qadhiyah (proposisi, keputusan). Karena itu, dalam membicarakan pemikiran, Ilmu Manthiq mempersoalkan qadhaya (proposisi-proposisi, keputusan-keputusan).

Qadhaya bentuk jamak (plural) dari qadhiyah dapat terbagi kepada beberapa hadd atau term. Setiap ism, lafadh, atau hadd (term) adalah kata; satu kata atau lebih, namun tidak setiap kta merupakan ism, lafadh, atau hadd (term).

Dengan demikian, walaupun Ilmu Manthiq hanya membbicarakan pemikiran; ia juga membicarakan qadhaya (proposisi-proposisi, keputusan-keputusan) dan lafadh, ism, atau hadd (term) yang merupakan persoalan, bagian atau unsur terpenting dalam pemikiran itu.

Uraian tersebut di atas, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan yang dibicarakan dalam Ilmu Manthiq terbagi kepada tidak pokok terpenting, yaitu:

1. Prinsip-prinsip mengenai hadd (term, pengertian);
2. Prinsip-prinsip mengenai qadhiyah (proposisi, keputusan);
3. Prinsip-prinsip mengenai istidlal (pemikiran atau penuturan).

Ilmu Manthiq di samping mempersoalkan prinsip-prinsip atau aturan-aturan dan kriteria kebenaran, mabadi (dasar-dasar) tashawwur, mabadi tashdiqat, dan mabadi istidlal, juga mempersoalkan klasifikasi, ta'rif, qismah, dan tashnif sangat diperlukan sekali dalam pemikiran. Unsur-unsur proses pemikiran tersebut perlu dibicarakan lebih lanjut.

PERCIKAN ARTI PENDIDIKAN

Minggu, 23 Oktober 2011

Hampir semua manusia mengenal terma (istilah) pendidikan, setidanya pernah mendengarnya; ia pernah mengalaminya, yakni terlibat dan atau melibatkan diri di dalamnya, baik sebagai orang tua, tokoh masyarakat, guru, anak, anggota masyarakat dan atau murid.

Namun setiap manusia tidak, belum tentu, mengerti, memahami bahkan mengarifi hakikat pendidikan; dan tidak setiap manusia mengalami atau terlibat dan atau merlibatkan diri dalam dan atau melaksanakan pendidikan sebagaimana seharusnya.

Persoalan pendidikan merupakan persoalan yang biasa tampil, dihadapi dan ditemui dalam kehidupan sehari-hari; karena persoalannya biasa, kita sering terlena pada dan memandang pendidikan sebagai kegiatan rutin tanpa persoalan; keluarbiasaannya nyaris lepas dan dilepaskan, sehingga kita sering kurang atau tidak menyadari bahwa pendidikan itu pendidikan atau bukan pendidikan, sebagaimana kita memiliki mata dan penglihatannya, kita melihat sesuatu, namun "bilakah kita melihat sesuatu?" baru merenung, memeras otak: "Ya, bilakah kita melihat", tak mudah untuk menjawabnya, atau mata kita atau penglihatannya manakala mendapat kesulian, sakit mata umpamanya, baru kita menyadari bahwa kita bermata.

Kita menyadari pendidikan mengandung persoalan, manakala kita sadar ada persoalan di dalamnya. Apakah sebenarnya esensi pendidikan itu? Apakah pelaksanaan pendidikan yang kita sedang melaksanakannya merupakan pendidikan sejalan dengan tuntutan dan tuntunan pendidikan yang semesinya?
Moehammad Isa Soelaeman (1985) dengan mengutip Henderson, mengungkapkan bahwa jawaban terhadap persoalan tersebut, atau setiap masalah pendidikan lainnya, yang diajukan itu pada akhirnya dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup, betapapun kita tidak selalu sadar dan menyadarinya serta merumuskannya. Untuk menjawab persoalan seperti diajukan di atas perlu dikaji persoalan esensi manusia. Karena pendidikan itu: "antropologis normatif yang praktis". Selanjutnya Moehammad Isa Soelaeman (1989) menyatakan bahwa adanya berbagai pandangan tentang manusia, tentang perbuatan dan tindakan manusia, tentang tujuan hidup manusia, tentang pertautan manusia dengan lingkungannya (ruang), dengan waktu, dan sebagainya, melahikan berbagai pndangan tentang pendidikan dan berbagai metode, teknik dan atau pelaksanaan pendidikan. Karenanya tampil beberapa pandangan tentang "apa mendidik (pendidikan) itu".
Pelaksanaan (keberlangsungan) pendidikan senantiasa terlibat dan melibatkan dua pihak manusia, yang berbeda satu sama lainnya ditilik dari sudut tema kepribadiannya (badan, dunia, historisitas, dan komunikasi), hanya satu segi saja kesamaannya, yaitu sama-sama manusia, karenanya situasi pendidikan harus merupakan situasi kemanusiawian.

Kedua belah pihak itu harus dipandang dan atau memandang sebagai eksistensial kemanusiawian, yaitu pihak yang mengalami pelaksanaan pendidikan, terdidik (murid) sebagai "pihak kepada siapa pendidikan itu dikenakan"; dan karenanya dalam bidang tersebut ia masih berada dalam ikatan pedagogis dan tergantung, secara temporer, kepada pendidiknya, yang diupayakan dan atau berupaya keduanya untuk melpaskan ikatan dan ketergantungan tersebut, yang dalam situasi pedagogis, ikatan itu secara apodiktis laten (senantiasa tampil, ngateung) baik lahiriah-ruhjiwani maupun ruhaniah-lahirbadani, ataupun kedua-duanya.

Dan pendidik sebagai pihak yang melaksanakannya kepada terdidik (murid). Untuk keberhasilan upaya pendidikannya itu perlulah ia menerima kenyataan bahwa terdidik (murid) memiliki prinsip emensipasi (momen identifikasi dalam situasi dan komunikasi pendidikan perlu, momen tersebut bermuara pada pembahasan pandangan filosofis "apa dan siapa, dari mana, di mana, dan mau ke mana manusia hidup. 

Karenanya pemahaman tentang antropologi-filsafi, psikologi, sosiologi yang memenuhi kriteria: "Seberapa jauh pandangan-pandangan tersebut tentang manusia, mendudukkan atau menempatkan manusia sebagai manusia", sangat urgen dan harus serta seharusnya. Namun karena keadaan dan keperiadaan terdidik (murid) itu masih memerlukan bimbingan dan bantuan dari pendidik... (M.I. Soelaeman, 1977) 

Pihak-pihak itu (pendidik dan terdidik) terdiri atas perorangan (individual dan dapat pula terjadi atau berlangsung atas kelompok-kelompok individu, terjadi atau keberlangsungannya peristiwa pendidikan di luar atau di dalam sekolah.

Situasi pendidikan dapat berlangsung di mana-mana; namun tidak setiap situasi merupakan pendidikan; situasi pendidikan dan komunikasi pendidikan merupakan suatu ikatan kedua belah pihak dan untuk melepaskan tersebut. Pendidikan merupakan perbuatan atau tindakan yang berlangsung dan bertopang pada dasar dan tujuan.

Sementara pihak ada yang memaknakan bahwa pendidikan (mendidik) adalah memelihara terdidik (c.q. anak); mendidik adalah memberi perlindungan terhadap terdidik (c.q. anak) supaya lestari hidup dan kehidupannya. Mereka di sisi lain memandang manusia tak ayalnya sederajat dengan binatang, karenanya term (istilah) memelihara terkadang dipertautkan pada binatang, umpanya memelihara kambing, kera, ayam, anjing, dan sebginya sepanjang bertautan dan dipertautkan dengan pemelihraan ternak.

Ada juga yang mencoba memodifikasi terma memelihara tersebut, agar terdapat kejelasan perbedaan manusia (c.q. anak) dengan binatang dengan menawarkan bahwa, mendidik (pendidikan) itu adalah megurus anak, mengurus segala kebutuhan hidup dan kehidupan anak, memberi makan dan pakaian, menjaga kesehatannya, setiap hari dimandikannya, jika sakit dirawatnya, dan sebagainya.

Lebih maju setingkat daripadanya (mengurus), mendidik (pendidikan) adalah menanamkan sesuatu terhadap terdidik (c.q. anak). Pandangan mereka bermuara kepada paham filsafat evolusionisme-materialistik, mendidik tak aylnya menanam pohon pisang, yang memandang manusia (segala) berkembng selaras dengan dan melewati pasti hukum-hukum perkembangan telah pasti.

Mendidik (dalam hal ini memelihara dan mengurus serta penanaman) yang baik adalah yang mempelancar evolusinya itu. Keterhasilannya tinggal ditinggu. Keterlebatan dan peran pendidik hanya menjaga supaya jangan sampai evolusinya itu terganggu, dan menunggu hasilnya. Pendidik (orangtua, guru, dan sebagainya) adalah petani yang tekun menjaga dan menunggu hasil tanaman (terdidik, anak)nya. Karena dimensi pertumbuhan dan perkembangan telas digariskan dab berjalan secara pas selaras dengan hukum-hukum yang pasti serta sudah semestinya melewati hukum-hukum tersebut.

Maka "Pendidik, pengurus, adan atau penenam (orangtua, guru, dan yang lainnya) hanya dapat melakukan sesuatu supaya terdidik (c.q.anak) dapat tunbuh dan berkembang sebaik-baiknya, dapat tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin dengan memberikan kesempatan tumbuh-kembang sesubur-suburnya dan menjaganya dari segala hambatan yang mungkin mengganggunya dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu. Terdidik tumbuh dan berkembang sendirinya sejalan dengan hukum evolusi yang berlaku baginya. Peranan pendidik kurang jelas dalam kedudukannya seperti itu.

Bagaimana mungkin mendidik (pendidikan) suatu perbuatan dan tindakan yang senantiasa bertopang pada dasar dan mengarah kepada tujuan, manakala terdidik menjadi secara evalutif sendirinya secara pasti.

Pendidik telah menggariskan, menentukan tujuan pendidikannya dan yang kemudian membantu membimbing terdidik (c.q. anak)nya mencapai tujuan tersebut, dengan memperhitungkan kemampuannya dan memperhitungkan pada lingkungan dan situasi pendidikannya, sambil tidak melupakan pula kemampuan maupun kekurangmampuannya sendiri sebagai pendidik.

Kedua belah pihak dalam situasi dan komunikasi pedagogis harus memperhitungkan dan mempertautkan tema kepribadian (badan, dunia, historisitas, dan komunikasi)nya masing-masing, sebagaimana telah terungkap di atas, dalam rangka menuju dan meraih tujuan yang telah digariskan itu. Karenanya suatu perbuatan atau tindakan pendidikan hanya dapat disebut perbbuatan atau tindakan pendidikan yang sebenarnya, manakala jelas garisnya, jelas dasar, arah, maksud dan tujuannya, sehingga berlangsung baik dan lancar pelaksanaannya.

Mendidik (pendidikan) menurut pandangan lain, cenderung ditekankan pada atau diberi makna melatih. Mendidik adalah melatih terdidik (c.q. anak) supaya memperoleh keterampilan, dengan jalan pendidik membberi instruksi kepada terdidik untuk mengerjakan sesuatu secara berulang-ulang, sehingga terjadi ia (terdidik) berbuat secara mekanis atau pembiasaan. Pendidikn (mendidik) adalah melatih atau memekanisasikan terdidik (c.q. anak), dilatarbelakangi paham (filsafat) yang memandang bahwa "man is built, not born (manusia itu adalah sebagaimana orang membentuknya, dan tidak dipengaruhi apa yang dibawakannya lahir).

Jika mendidik adalah melatih, maka seluruh pendidikan pada dasar adalah kondisionisasi. Akar pandangan tersebut secara epistemologis adalah empirisme yng dicetuskn oleh John Locke, yang terkenal dengan teori "tabula rasa"nya, yang secara metfisis bermuara pada paham filsafat materialisme. Mendidik (pendidikan) adalah mengubah tingkah laku terdidik (c.q. anak); jelas bahwa mendidik (pendidikan) adalah melatih, menyirtkan paham behaviorisme. Karenanya mendidik (pendidikan) yang menekankan latihan belka, mengarahkan terdidik pada suatu perbuatan yang mekanis. Sekaitan dengan pendidikan afektif (pendidikan nilai atau pendidikan moral), mereka berprinsip "terdidik harus dijejali pengetahuan tentang nilai sehingga ia pasti melakukan, banyak tahu tentang nilai sudah pasti melakukan", sebagaimana digariskan paham positivisme (tempat bermuara behaviorisme) dengan ungkapan A. Comte: "Savoir pour prevoir = Knowing is behaving (mengetahui supaya siap untuk bertindak; tahu pasti berbuat).

Pandangan lain memaknakan bahwa mendidik (pendidikan) adalah mengajar. Mendidik (pendidikan) memberi pengajaran berbbagai imu yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan berpikir terdidik (c.q. ank). Johann Friedrick Herbart berpendapat pendidikan adalah pengajaran, semua jenis pengajaran adalah mendidik, yaitu mendidik kemauan. Pengajaran menanamkan kumpulan tanggapan menjadi pengetahuan yang dapat menimbulkan kemauan. Ini terjadi apabila pengetahuan terdidik enimbulkan minat atau perhatian (Waty Soemanto dan Hendyat Soetopo, 1982).

Karena itu, pendidikan (mendidik) adalah menjajali terdidik dengan pengetahuan; terdidik yangbanyak tahu, otomatis menjadi pribadi yang mau dan mampu berbuat. Mendidik (pendidikan) adalah intelektualisasi (kognitifisasi) dikembangkan dan dipopulerkan oleh J. F. Herbart, Piaget, John Dewey, Kohlberg, dan kawan-kawannya yang lain, bermura pada pola pikir Plato: "Knowledge is virtue (Pengetahuan adalah kebaikan)"' Knowing is doing (tahu pasti melakukan).

Inti dan fungsi pendidikan adalah membina (pembinaan) kata hati, supaya kata hati terdidik (c.q. anak) tergugah; mendidik (pendidikan) bukan sekedar transformasi pengetahuan dan informasi (pengajaran/mengajar), rekayasa terarahkan pada keterampilan (latihan/melatih; indoktrinisasi), juga bukan sekedar sosialisasi, enkulturisasi, moralisasi, dan humanisasi, apalagi dehumanisasi. Karena pendidikan hanya merupakan dan ditekankan pada ranah (wilayah) kognitif (pengajaran dan informasi) atau ranah psikomotor (pembiasaan, keterampilan), sehingga aspek nilai (ranah atau wilayah afektif) kurang diperhatikan, maka BBloom (1964) memperingatkan bahwa pelaksanaan pendidikan harus meliput 3 (tiga) domain (wilayah) yang masing-masing terbagi menjadi beberapa jangkauan (tingkat) kemampuan (level of competence) sebagai berikut:

1. Tingkat Kemampuan Cognitive:
Knowledge;
Comprehension;
Application;
Synthesis;
Analysis;
Evaluation.

2. Tingkat Kemampuan Affective:
Receiving;
Responding;
Organisation;
Characterisation.

3. Tingkat Kemampuan Psychomotor:
Initiatoi Level;
Pre-routine Level;
Routinized Level.

Sementara pendidikan adalah upaya sengaja yang berpengaruh dari pihak dewasa kepada anak yang dianggap belum dewasa; di mana upaya tersebut sebagai pemberian bantuan menuju pribadi yang integratif.

APA MANTHIQ ITU?

Bertanya, lebih tepat lagi, masalah merupakan daya pendorong berpikir. Kata manthiq (logic; logika) merupakan Ism Adah (kata benda yang menunjukkan kepada alat), yang dapat disepadankan dengan Instrumental Noun, bermakna alat berpikir. Jadi, kesan pertama yang bersemayam dalam istilah manthiq, adalah, manusia sebagai makhluk yang berpikir, agar berpikir itu lurus, tepat, dan benar harus sekaligus dapat beralatkan berpikir itu sendiri, yaitu alat berpikir, yakni manthiq yang turut membantu ke arah itu.

Manthiq dibangun dari kata asal nathaqa yang berarti, secara denotatif adalah berkata atau berbicara, sedangkan secara konotatif berpikir atau meng-kata-kan buah pikiran, sehingga nathiq sebagai Ism Fa'il (kata benda yang menunjukkan kepada pelaku atau subjek) berarti yang berpikir. Dengan demikian, berpikir dengan dikatabendakerjakan mencakup pengertian kelangsungan atau proses berpikir (pemikiran); juga pemikiran tersebut meliputi yang berpikir, alat berpikir, yang dipikirkan atau sasaran berpikir, situasi dan tujuan berpikir. Untuk itu, istilah manthuq sebagai Ism Maf'ul (kata benda yang menunjukkan kepada objek) dapat diartikan "yang dipikirkan atau sasaran berpikir".

Kalau manthiq itu diartikan "pemikiran benar" yang dilambangkan dengan "penuturan yang runut", di mana benar dan runut dalam artian bbaik isi, alat dan sasaran, situasi yang meliput aspek historisitas, ruang, dan waktu serta jiwa zaman maupun tujuan berpikir, maka manthiq adalah Correct Reasoning yang berbicara atau mempersoalkan tentang keruntutan antara premis (muqaddamah) dan konklusi (natijah) sebagai perlambang dari berpikir itu sendiri.

Konklusi (Natijah) merupakan pengatahuan baru, yakni pengetahuan yang diperoleh secara tidak langsung dari pengetahuan langsung berupa data atau bahan pemikiran yang dikonstruksi menjadi bentuk premis (muqaddamah). Untuk itu, konklusi (ntijah) harus merupakan pertemuan. Pertemuan yang padu antara bentuk dan isi pemikiran, realitas (sasaran) dan alur pemikiran, serta tujuan dan situasi pemikiran.

Situasi meliputi ruang dan waktu atau jiwa zaman dan tempat di mana pemikiran itu berkembang dan dikembangkan (berkelangsungan); juga situasi itu meliputi aspek historisitas yang menyiratkan waktu lalu, sekarang (kini), dan masa datang. Dengan demikian, pemikiran, sang pemikir dalam berpikir, dapat dan harus sadar akan situasi di samping sadar akan tujuan sehingga pengetahuan baru (konklusi atau natijah itu) yang merupakan hasil pemikiran tadi menggambarkan keterpautan antara cita waktu lalu dan cita masa datang yang bertumpu pada saat berpikir itu berlangsung; dan hasil pemikiran itu sekaligus merupakan perkembangan dan pengembangan pengetahuan (yang nantinya menjadi ilmu), yang tidak sejedr menunjukkan kemajuan namun sekaligus menjukkan kelajuan.

Kalau (dalam) pemiiran itu dapat dan harus sadar akan tujuan, di mana sadar akan tujuan itu menyiratkan keterarahan kepadasasaran (objek) pemikiran (yang dipikirkan), bahkan keterarahan tersebut mampu melampaui sasaran (objek) sekedar sasaran (objek) yang dipikirkan itu, maka pemikiran itu senantiasa merujuk ke Hadapan Yang Ada di balik sasaran (objek) pemikiran yang diadakan oleh Sang Ada itu, yakni Pencipta segala.

Tujuan termasuk itu dapat dan harus bertolak dari pandangan dan tujuan hidup; di mana pandangan dan tujuan hidup (philosophy of life) yang kokoh mesti bertolak dari prinsip-prinsip yang bertopang pada (meliputi) diensi insani, baik sebagai pribadi, masyarakat, maupun sebagai mkhluk.

Dimensi insani baik sebagai pribadi, masyarakat, maupun sebagai makhluk itu dapat dikatakan kokoh manakala bersumber, merujuk, engacu, dan bertumpu pada Sang Khaliq, yaitu Allah Swt Awj, Pencipta segala. Untuk itu, (dalam) berpikir semacam itu dapat dan harus menggambarkan kesejalanan antara dimensi ontis dan dimensi deontis.

Dimensi ontis menunjukkan hakikat tujuan, dasar, pangkal tolak (pegangan dan pandangan hidup: way of life dan philosophy of life). Sedangkan dimensi deontis menyangkut sasaran (objek), metode, dan alat. Dengan demikian, situasi dan manifes (keberlangsungan tau proses) pemikiran (dalam) pemikiran semacam itu, memungkinkan melahirkan "pumbukaan" (mukasyafah) realitas yang menjadi dan dijadikan motor penggerak dan sasaran pemikiran termaksud itu.

 Namun,, pada akhirnya, pemikiran itu dengan meliputi prinsip kemenetapan dan kemelajuan menyentuh penghujung persolan "What is Reality? Dan realitas itu, penghujungnya, merupakan suatu misteri, itself, eidos, sei, dzat, jatidiri, "realitas" Realitas, hakikat, atau das Ding an Sich tak dan tak, memang, tersingkap penuh dan sepenuhnya?

Kalau manusia tercipta pada mulanya ghaib, misteri (rasia Allah Swt Awj), maka manusia pada waktu di alam ghaib itu mampu dimampukan menangkap makna realitas. Namun tatkala penangkapan makna realitas itu diungkapkan, dirumuskn dalam kata-kata atau di-kata-kata-kan, maka ia bukan lagi penangkapan makna realitas yang didapat-tangkapkan itu; dan memang bagaimana cara penangkapan makna realitas pada waktu ghaib tak dapat diketahui; hanya Allah-lah yang tahu sebagai Sang Pencipta; dan keghaiban manusia yang tercipta pada alam ghaib masih melekat atau terbawa dengan tak mungkin terelakkan hingga di alam syahadah ini. Karena itu, bila manusia itu ingin menangkap makna realitas kembali seperti di alam ghaib itu (realitas benar-benar dan sebenarnya realitas), maka ia (berkemungkinan atau disposisi ke arah) dapat dan harus kembali lagi ke alam ghaib atau paling tidak dengan jalan mengghaib.

...adapun akal, bila ia terhindar dari kekeruhan persangkaan dan khayal, pasti ia tidak akan tersalah. Ia akan melihat ssegala sesuatunya; hal seperti sungguh sulit. Bahkan terhindarnya ia, secara sempurna, dari dorongan--dorongan seperti ini hanya dapat dialaminya kelak. Setelah mati... (Al-Ghazali, terj., Misykatu 'l-Anwar, tt.). Al-Ghazali lebih lanjut menyingkapkan makna tersirat dalam QSS. 32, ayat 12: Telah Kami singkap tirai yang menutupimu... Kini penglihatanmu amat tajam. Tirai itu tidak lain adalah tirai khayal dan wahm (persangkaan) palsu. Pada saat itulah orang yang telah terkelabui oleh persangkaan, kepercayaaan dan khayalnya yang palsu berkata, Wahai Tuhan kami. Kini kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia agar dapat beramal shaleh. Kini kami telah menjadi orang-orang yang yakin...

Kalau pengetahuan baru itu merupakan suatu pertemuan atau dialog berkelajuan, maka pengetahuan (konklusi, najijah) itu dapat dan harus tidak menunjukkan pelucutan atau penyusutan hakikat realitas sebagai motor penggerak dan sasaran pemikiran itu; baik pelucutan atau penyusutan realitas itu hingga titik nol dalam artian nihil sehingga terbawa arus pola pikir paham filsafat nihilisme, maupun pelucutan atau penyusutan terwadahinya atau tereduksi atau terkurung hakikat relitas itu oleh paradigma-paradigma, konsep, alat, metode, situasi, jiwa zaman, ruang atau oleh pemikiran itu sendiri.

Pencapaian kepada pengetahuan baru (konklusi, natijah) yang merupakan suatu pertemuan atau dialog berkelajuan sebagaimana telah digambar di atas itu, menuntut kestuan dan kesejalanan langkah-langkah pemikiran yang valid, sah, yang benar dan tept sehingga terhindar dari ketakbenaran dan ketidaktepatan. Kesatuan langkah-langkah pemikiran itu adalah Al-Qauwl, Al-Idz'an, dan Al-Idrak.

Al-Idz'an (penetapan) merupakan penganalisaan tentang sesuatu, sehingga sesuatu menjadi jelas dan pasti. Langkah ini bertautan dengan konsep atau konsepsi (tashawwur) dan asset atau judgment (tashdiq). Sedangkan Al-Qauwl (penuturan) adalah penggunaan kata-kata, terma (hadd) yang telah dianalisis tadi; dan Al-Idrak (pengertian atau pengetahuan baru) merupakan pelahiran pengetahuan setelah terselenggara kegiatan Al-Idz'an dan Al-Qauwl (sesuatu telah dinalisis dan dikatakan) itu. Karenanya ada sementara pihak yang mendefinisikan manthiq sebagai ilmu, ialah "Suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara berpikir valid, sah atau benar dan tepat, terhidar dari kesalahan dan ketaktepatan melalui penetapan, penuturan, dan pengertian".

Definisi tersebut di atas sepadan dengan definisi logika, yang diajukan oleh Irving M. Copy (1972): "Logic is the of methods and principles used to distinguish good (correct) from bad (incorrect) reasoning: Logika adalah penelaahan metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang baik dalam artian benar dari penalaran yang jelek dalam arti tidak benar".

Manthiq dalam arti ilmu (logika) di samping sebagai alat berfilsafat (berpikir filosofis), juga sekaligus merupakan sub-divisi dari persoalan dan bidang pembahasan filsafat, tepatnya sub-divisi dari bidang epistemologi. Untuk itu, secara luas dapat dikatakan bahwa manthiq sebagai ilmu (logika) merupakan cabang filsafat yang membicarakan prinsip-prinsip serta norma-norma penyimpulan yang sah; atau secara sederhana, manthiq sebagai ilmu (logika) adalah cabang filsafat yang membahas metode-metode penalaran yang sah dari premis (muqaddamah) ke arah kesimpulan (konklusi, natijah).

Kalau realitas sebagai manthuq (objek atau sasaran berpikir, objek yang dipikirkan) tidak dan memang tak mungkin terungkap penuh dan sepenuhnya, sehingga realitas terungkap berupa pengetahuan tak langsung itu merupakan pertemuan atau dialog, maka manthiq sebagai ilmu (logika), pemikiran dan berpikir itu merupakan suatu alat; dan kelangsungan berpikir itu sendiri merupakan upaya.

Pertemuan (dialog) menunjukkan bahwa realitas tertangkap atau pengetahuan tak langsung itu tidak semata-mata sebagai realitas apa adanya, namun sekaligus menunjukkan pembauran dengan pengolahan, penataan dan perekayasaan atau rekonstruksi yang berpikir; sedangkan berpikir yang benar-benar dan sebenarnya berpikir, dan semua serta setiap berpikir adalah interpretasi, dialog; dan dialog itu adalah kelangsungan; jadi kejernihan pengetahuan tak langsung yang dicapai itu, yakni perolehan kebenaran, yaitu pesan realitas yang diartikulasikan adalah, memberitakannya realitas tidak seketika tuntas, tidak sekali selesai tetapi juga suatu kelangsungan, karenanya interprestasi itu bercirikan senanataiasa siap dikoreksi dan senantiasa siap sedia mengkonstruksi dan dikonstruksi kembali.

Manthiq sebagai ilmu (logika) dikatakan alat sebab mengingat penjelasan Al-Jurjani bahwa manthiq sebagai ilmu (logik) adalah suatu alat (tool atau instrumen) yang digunakan untuk dapat dan harus berpikir secara sah (valid). Dilihat dari sudut alat ini memang cukup beralasan, karena kenyataannya, secara manifes manthiq sebagai ilmu (logika) dapat membantu orang yang mempelajarinya untuk dapat berpikir logis, bahkan inner logic atau transcendental logic. Dikatakan logis batini atau logis transcendental manakala dalam berpikir itu tidak sekedar terlibat dan melibatkan indera dan akal, namun sekaligus terlibat dan melibatkan qalbu (kesadarn manusia terdalam), bahkan kemanusiawian manusia seutuhnya, yang mampu mengamati dan menghayati yang melampaui dunia fisik ini.

Sudut pandang bahwa manthiq sebagai ilmu (logika) itu sebagai alat ada kesejalanan dengan ungkapan Susanne K. Langer bahwa, Logic is to the philosopher what the telescope is to the astronomer; an instrument of vision. Logic is a tool of philosophical thought as mathematics is a tool of physics: Manthiq sebagai ilmu (logika) bagi filosof adalah seperti halnya teropong bagi astronom; suatu alat penglihatan. Manthiq sebagai ilmu (logika) merupakan suatu alat dari pemikiran filsafi sseperti halnya matmatika merupakan suatu alat bagi fisika.

Manthiq dalam batasan manthiq sebagai ilmu (logika) dapat menjadi dan dijadikan suatu yang dipikirkan atau sasaran berpikir dalam manthiq itu sendiri.

Kalau orang yang pertama kali mempelajari manthiq sebagai ilmu (logika) dengan bertolak dari pendekatan pendefinisiannya yang menjadi atau dijadikan suatu yang dipikirkan, maka orang tersebut wajar mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau bertanya tentang pengertian, persoalan pokok, nisbat manthiq sebagai ilmu (logika) dengan cabang-cabang ilmu lainnya, dan sebagainya selama berkaitan dengan pembahasan manthiq sebagai ilmu (logika) termaksud; karena bertanya itu motor pendorong yang menggerakkan berpikir. Tanpa pertanyaan tak mungkin terdapat jawaban (pemecahan masalah); tak mungkin menjawab tanpa bertanya; tiada pertanyaan tiada pemikiran. Jadi dalam pemikiran itu terlebih dahulu harus ditetap secarn jelas dan tajam masalah yang akan dipikirkan.

Sewajarnyalah kalau setiap orang yang ingin mendaptkan pandangan yang jelas tentang sesuatu yang akan dipelajarinya, dalam dirinya timbul bermacam-maca pertanyaan (Partap Sing Mehra, 1980).

Kalau manusia adalah hewan yang berpikir (Al-Insan Hayawanun  Nathiqun... man as the animal that reason, William E. Hocking), "Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, sebab itu aku ada, Rene Descartes); dan manusia adalah hewan tukang bertanya itu sendiri mencari jawaban. Jawaban yang dicari adalah jawaban yang benar.

Manusia berpikir untuk tahu; kalau ia berpikir tidak semestinya mungkin ia tidak mencapai pengetahuan yang benar. Tak seorangpun mencita-citakan kekeliruan yang benar. Tak seorangpun mencita-citakan kekeliruan, ia ingin mencapai ebenaran dalam tahunya itu... (I.R. Poedjawijatna, 1986).

Mencari jawaban, adalah, mencari kebenaran. Jadi, pada akhirnya manusia itu adalah makhluk pencari kebenaran (Endang Saefuddin Anshari, tt.).

Kalau manusia itu makhluk pencari kebenaran, dalam upaya pencarian kebenaran itu tak selamanya sampai kepada kebenaran itu sendiri, sebab keterbatasan, walaupun sampai kepada pencapaian kebenaran, itupun senantiasa dipertanyakan kembali, sebab kebenaran yang diperolehnya itu senantiasa bersifat sementara (tak tuntas); dikatakan sementara (tak tuntas) dan memang tak akan tuntas, sebab yang benar-benar dan sebenarnya tahu benar kebenrn adalah Sang Benar itu sendiri, maka pertanyaan manusia tak kunjung berakhir, tak habis habisnya; sebab kalau dikatakan habis, habislah, lepaslah hakikat manusia itu; manusia senantiasa mengajukan persoalan-persoalan: Apakah manusia itu? Apakah alam itu? Apakah Tuhan itu? dan sebagainya serta timbul sekaitan dengan pembahasan manthiq sebagai ilmu (logika), sebagaimana terungkap pada uaraian di atas, di antaranya:
1. Apa manthiq itu?
Apa yang menjadi pokok persoalannya?
Bagaimana nisbatnya dengan cabang-cabang ilmu lain?

Pertanyaan-pertanyaan di atas, yang bertutan dengan pembahasan manthiq sebagai ilmu (logika), memang benar, relevan, dan tepat, namun dalam tarap permulaan ini, bagi para mubadi' (pemula), jawabannya masih agak sulit diberikan. Kesulitan untuk memecahkan persoalan, menjawab pertanyaan ini pada permulaan suatu pelajaran tidaklah hanya dijumpai dalam lapangan manthiq sebagai ilmu (logika) saja, tetapi selalu akan dijumpai manakala untuk pertamakali mempelajari ilmu itu sebagai sesuatu yang baru. Karena sulit untuk memberikan definisi, batasan, ta'rif, atau hadd yang tepat pada permulaan ini, lebih dahulu akan dimulai atau mengemukakan saja dengan memberikan uraian tentang pokok dan tujuan manthiq sebagai ilmu (logika).

Istilah manthiq sepadan dengan logika, diturunkan dari kata kerja (fi'il madhi) nathaqa berarti berbicara, kata (to speak, word), yaitu "bertutur kata benar", kata sifatnya nathiq (sebagai Ism Fa'il) sepadan dengan lgike (bahasa Yunani, dan perkataan logika sendiri diturunkan dari kata sifat logike itu, yang bertautan erat dengan kata benda logos yang artinya "pemikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu".

Kalau manthiq diartikan pemikiran atau kata sebgai pernyataan dari pikiran itu, sedangkan kata manthiq itu Ism Adah (Instrumental Noun), maka pikiran atau kata itu merupakan alat. Sedangkan "bertutur" bear menuntut aturan untuk mempergunakan alat tersebut, sehingga terdapat keruntutan alur pikiran, bentuk dan isi, serta objek dan tujuan berpikir. Juga menunjukkan adanya pertautan erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa.

Manthiq sebagai ilmu (logika) adalh sebagai ilmu nahwu (grametika, tatabahasa) bagi lisan, artinya manthiq sebagai ilmu digunakan sebagai alat berpikir atau memikirkan sesuatu, agar jangan sampai cara atau alur berpikir itu keliru; di samping digunakan untuk mengungkap tabir-penutup pengertian yang rumit, seperti halnya Ilmu Nahwu digunakan sebagai alat untuk berbicara (menytakan sesuatu dengan lisan ataupun tulisan), jangan sampai cara pengucapan atau pengungkapannya itu keliru, di samping digunakan untuk menyingkapkan tabir-penutup kata-kata yang memakai bahasa Arab yang rumit itu.

Untuk secara lughawy (etimologis, pendekatan kebahasaan), manthiq sebagai ilmu (logika) adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa. Dari pengertian (definisi) manthiq sebagai ilmu (logika) secara lughawi (etimologis) tersebut munculllah beberapa definisi manthiq sebagai ilmu (logika) yang beranekaragam sejalan dengan sudut pandang dan pemusatan perhatian sang pemberi definisi. Jadi manthiq sebagai ilmu (logika) dapat diberi batasan sebagai berikut:

1. Ilmu sebagai alat yang merupakan undang-undang dan bila undang-undang itu dipelihara dan diperhatikan, maka hati nurani (akal budi) manusia dapat terhindar dari pikiran yang salah;
2. Ilmu tentang undang-undang berpikir;
3. Ilmu yang membahas aktivitas (praktek) berpikir dalam upaya menuju perolehan kebenaran.

Manthiq sebagai ilmu (logika) khusus menjelaskan tentang alur-alur berpikir syah (valid) yang dapat menuju pemikiran yang syah. Jadi manthiq sebagai ilmu (logika) adalah ilmu yang memberikan aturan-aturan berpiir valid, yaitu prinsip-prinsip yang harus diikuti supaya dapat berpikir syah atau valid (menurut aturan yang syah atau valid).

Definisi pertama menunjukkan bahawa manthiq sebagai ilmu (logika) itu suatu ilmu yang mempersoalkan mengenai ketentuan-ketentuan yang dijadikan petunjuk oleh manusia dalam berpikir, sehingga manusia jauh dari kemungkinan keliru. Karena itu, Manthiq sebagai ilmu (logika) disebut juga sebagai ilmu tentang hukum berpikir guna memlihara jalan pemikiran dari setiap kekeliruan. Manthiq itu membimbing dan menuntun seseorang supaya berpikir teliti. Sedangkan definisi ketiga menunjukkan bahwa manthiq sebagai ilmu (logika) sebagai ilmu yang menggerakkan pikiran kepada jalan lurus dalam memperoleh suatu kebenaran yang mendasar. Karenanya, manthiq sebagai ilmu (logika) juga disebut sebagai ilmu tentang mencari dalil, maka manthiq sebagai ilmu (logika) membahas tentang undang-undang umum untuk berpikir benar dan tepat.
Manthiq berasal

PARADOKS

Jumat, 21 Oktober 2011

Setiap manusia yang tadzakkur, tafakkur, dan tadabbur, katakan saja berpikir logis baik rasional-logis maupun inner atau transcendental-logis, terdorong oleh bimbang, sangsi, dan ragu. Keraguan sebagai keperiadaan khas kemanusiawian manusia.

Al-Qur'an mendorong manusia tadzakkur, tafakkur, dan tadabbur. Katakan saja Al-Qur'an mendorong manusia berpikir logis baik rasional-logis maupun inner atau transcendental-logis.

Al-Qur'an mendorong manusia bimbang, sangsi, dan ragu. Keraguan sebagai keperiadaan khas kemanusiawian manusia.

Setiap pertanyaan muncul dari keraguan. Setiap pertanyaan muncul dari permasalahan. Permasalahan muncul dari keraguan.

Murtadha Muthahhari (terj., 1981) menyatakan bahwa, keraguan membimbing orang kepada keyakinan. Pertanyaan membawa orang menuju ke arah penetapan. Kegelisahan adalah pengantar ke arah penetapan. Keraguan adalah jembatan yang menakjubkan sekaligus tempat tinggal yang buruk.

Al-Qur'an menganjurkan tadzakkur, tafakkur, dan tadabbur serta memperoleh keyakinan secara mantap. Keperiadaan manusia pada mulanya ragu dan bimbang. Al-Qur'an tidak meliput keraguan; Al-Qur'an pula yang menyatakan secara tegas bahwa manusia pada dasarnya senantiasa ada dalam bimbang dan ragu; karenanya Al-Qur'an menganjurkan manusia berpikir, sebab manusia itu bimbang dan ragu; bagaimana mungkin terjadi pemikiran bila idak ada keraguan.

Dengan demikian tak dapat disalahkan sepenuhnya salah satu pihak berpandangan bahwa, aku tidak meragukan keraguanku; aku senantiasa ragu; hanya satu-satunya yang ragu itu rahmat dan ni'mat. Ragu membawa khaf dan raja'.

Khaf dan raja'nya ada pada manusia sekaligus ciri khas manusia sebagai makhluk. Untuk itu manusia pada penghujungnya tidak tahu manusia ada dalam pensampaian pada ketidaktahuan; maka manusia ada dalam keraguan. Keraguan senantiasa menuntut ingin tahu, namun manusia tetap tidak tahu; maka manusia ragu. Ragu mendorong untuk tahu; manusia senantiasa ingin tahu. Bagaimana manusia memiliki ingin tahu kalau tidak memiliki ingin tahu kalau tidak memiliki ragu. Jadi, justeru karena ragu aku menuju-tertujukan pada sang pemberi ragu, yang tak pernah ragu?

Saya tidak tahu "apa benar itu gambaran ragu?", namun yang jelas perlu dikembalikan kepada persoalan: Apakah itu ragu?

Yang berkecimpung dalam persoalan Ilmu Manthiq (logika) mengungkapkan bahwa, Ilmu Manthiq (logika) mempersoalkan, dianataranya qadhiyah (proposisi). Qadhiyah (proposisi) itu berbentuk dalam Kalam Khabari. Sedangkan Kalam Khabari mengandung kebenaran dan ketidakbenaran.

Kalam Khabari terdiri atas memiliki dua bentuk, yaitu bentuk qath'i (pasti) dan bentuk dhanni (samar). Qath'i menunjukkan keterangan atau keputusan pasti benarnya dan pasti tidak benarnya. Sedangkan dhanni menunjukkan keterangan atau keputusan itu masih diragukan (samar antara benar dan tidak benarnya).

Keterangan atau keputusan yang samar (dhanni) terbagi kepada tiga tingkat, yaitu:
1. Dhann, yaitu keterangan atau keputusan itu masih diragukan (samar) tentang benar dan tidak benarnya, namun sangkaan kebenarannya lebih kuat daripada ketidakbenarannya;
2. Syakk, yaitu keterangan atau keputusan itu masih diragukan (samar) tentang benar atau tidak benarnya, namun dengan sangkaan yang sama kuatnya;
3. Wahm, yaitu keterangan atau keputusan itu masih diragukan (samar) tentang benar dan tidak benarnya, namun dengan sangkaan tidak benarnya lebih kuat daripada benarnya.

Jadi ragu itu sangkaan? Bukankah aku hidup tak terlepas dari sangkaan, bahkan hidup itu sendiri, atau aku atau keperiadaanku itu sendiri merupakan sangkaan, yakni suatu misteri, suatu rahasia ilahi, sebab tak tahu pasti, tak dapat dipastikan. Yang pasti tak mungkin dua atau lebih? Yang pasti itu satu, bahkan Mahasatu, yaitu Sang Khaliq, Pencipta, yakni Allah Swt Awj.

Jadi Allah-lah yang pasti dan memang Sang Mahamemastikan segala yang Dia ciptakan, maka manusia tak pasti dan tak mampu memastikan, termasuk memastikan keperiadaannya sendiri. Kalau manusia tak pasti dan tak mampu memastikan, maka berarti ragu dan diragukan? Namun Allah memerintahkan agar manusia itu beriman, yakni agar yakin.

Manusia harus meyakini bahwa dia makhluq Allah Swt Awj yang diperintahkan untuk meyakini-Nya. Apakah kita sudah meyakini Allh Swt Awj? Kita tak tahu? Untuk sampai kepada keyakinan, tak perlu mempertanyakan suatu yang pasti, sebab itu sudah pasti; yang pasti pasti patut diyakini. Jadi untuk sampai kepada yang pasti, sampai pada pencapaian kepada keyakinan perlu dan patut bertolak dari dan mempersoalkan yang pasti untuk sampai kepada yang pasti di samping tautologi (tahshilu 'l-hashil), juga akan sampai pada mentidakpastikan yang pasti. Tak mungkin yang pasti perlu pemastian, apalagi dipertanyakan atau diragukan.





TIGA AJARAN YANG MENDASARI ILMU BERKEMBANG

Pertama Logos, ia membimbing pencari ilmu untuk mengambil keputusan yang lebih mendasarkan diri pada pemikiran yang bersifat rasional, yakni reasonable (yang dapat dinalar). Bertolak dari suatu problem, lantas menetapkan premis dan lalu menetapkan mediasi yang memungkinkan menjadi jembatan dalam kerangka memecahkan problem termaksud. Imam Al-Ghazali menandaskan logos ialah menghadirkan tiga pengetahuan; pengetahuan yang perama sebagai natijah (konklusi), kedua dan ketiga adalah premis mayor dan premis minor. Dengan demikian logos itu terdiri atas tiga pengertian dan tiga keputusan. Dua pengertian, yaitu subjek yang menjadi terma minor dan predikat yang menjadi term mayor dalam suatu konklusi. Satu pengertian yang menjadi terma mediasi yang terdapat baik pada premis mayor maupun pada premis minor. Tiga keputusan (proposisi), yaitu 1) konklusi yang terbangun atas terma minor dan terma mayor; 2) Premis Minor yang terdiri atas Term Minor dan Term Mediasi; dan 3) Premis Mayor yang terdiri atas Term Mayor dan Term Mediasi. Bimbingan logos inilah salah satu yang mengakibatkan ilmu itu berkembang.

Kedua Ethos, ia mengajar kepada para pencari ilmu bahwa yang penting adalah rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu, sebab rambu-rambu tersebutlah kunci utama bagi relasi antara produk ilmu dengan mayarakat. Sedangkan yang ketiga adalah Phatos yang menyangkut komponen dan unsur rasa dalam diri manusia sebagai makhluk yang mencintai aspek keindahan, sehingga hidup ini tidak kaku, beku, dan membatu serta monoton; hidup selalu terbuka atas ruang dan peluang untuk mengadakan improvisai bagi pengembangan ilmu.

Dengan demikian, ilmu dan pengembangan serta perkembangannya sarat akan nilai; baik nilai benar, baik, dan indah. Norma benar adalah logika; norma baik adalah etika; dan norma indah adalah estetika. Dan yan paling tinggi dan mendasar adalah nilai ada, yaitu norma ontis, sebab apa artinya benar, baik, dan indah kalau tidak ada.

MENCARI ATAU MENERIMA ADA

Tak kukenal mula ada
Tak kukenal mula tak ada
Tak kukenal ada dan tiada
Sepanjang kutetapkan pengenalan ada tiada
Sepanjang kutangkap secercah makna ada tiada
Sepanjang itu pula timbul rangkaian tanya,
apakah sebelum-setelah ada itu,
aku ada atau tiada
Aku dalam-pada alam fana, arahnya membentang ke alam baqa,
namun tetap tak ada daya,
di mana sekarang aku ada
Aku penuh harap dan du'a, senantiasa bertanya,
apakah aku ada atau tiada
Dan berupaya menuju arah tuk menyentuh kilauan cahaya hakikat ada, dan makna keperiadaanku sebagai manusia
Namun apa daya,
jawab yang kudapat hanya pertanyaan-pertanyaan belaka,
yang memuat,
apa yang boleh kuharap;
pengetahuan apa yang kudapat;
apa yang harus kuperbuat;
yang semuanya bermuara pada 'apa itu manusia'
Ya Allah, Yang Real Ada, Engkau Yang Mutlak Ada, dan keberadaan-Mu mutlak tanpa dibatasi ada dan tiada,
pancarkan dan arahkanlah secercah ada-Mu pada saya

PEMBUKA YANG TELAH LAMA

Bismillahirrahmanirrahim, Engkau Titik Pemula-permulaan, Titik Akhir-pemula, Akhir-permulaan; Engkau BAB, mula-akhir tetap Engkau; segala adalah Engkau; segala tercipta, Engkau Pencipta, segala tunduk, Engkau Penentu. Segala, termasuk aku, sangat esensial dan tak terelakkan mempertautkan pada dan bertautan dengan Engkau; Engkau ada, segala di-ada-kan, bukan ada; keperiadaan segala, termasuk aku, sepenuhnya tergantung dari-dalam-pada wujud Engkau; pangkal dan tujuan segala, termasuk aku, adalah Engkau jua. Karenanya aku selamanya bermula-akhir atas nama-Mu, Ya Allah, Prinsip Hidup, Yang Real, Sumber segala (realita, pengetahuan, nilai), Sang Pemberi segala ni'mat, ni'mat besar maupun kecil.

MELANGIT KARENA DI BUMI

Konon katanya filsafat, termasuk yang semacamnya, merupakan pengetahuan langit, yang tak mau turun ke bumi. Padahal filsafat membicarakan bumi termasuk langit dan dibicarakan di bumi. Barangkali filsafat memang melangit sebab berbicara hakikat yang menjadi langitnya syari'at; namun apakah pembicaraan hakiki perlu melangit, seolah-olah di luar bumi?

Filsafat mengandung sinyal-sinyal ilahi yang mengantarkan manusia dapat memahami diri, yang konsekuensinya tahu, mau, dan mampu mengendalikan diri. Karena itu hadir kembali filsafat di bumi dari bumi perlu disambut dengan merenungi diri, dari mana asal, mau ke mana pergi, adakah bumi, mengapa langit disebut langit?

Nah kalau Tuhan tak usah dipikirkan termasuk dengan renungan falsafati. Tak level kita membicarakannya. Tuhan cukup diimani.

Credo ut intelligam: Saya percaya, supaya mengerti (Anselmus).

HARUSKAH MANUSIA DIDIDIK?

ABSTRAK
Bila pendidikan diartikan upaya sadar berupa memberi bantuan yang berpengaruh dari pihak dewasa kepada anak yang dianggap belum dewasa, sehingga ia dapat hidup pada masanya, maka pendidikan telah melekat pada manusia sejak mula kejadiannya yang diciptakan oleh Allah Swt Awj. Karena itu, pendidikan merupakan tindakan khas manusia, yakni aktivitas mendidik dan dididik hanya memungkinkan bagi dan hanya kepada manusia. Dengan demikian manusia harus mendidik dan dididik. Keharusan mendidik dan dididik pada manusia itu, bila dirujukkan kepada ketetapan Allah Swt Awj yang tanpa turut terlibat dan tidak melibatkan pihak manusia itu sendiri, maka ia merupakan kesemestian, yang justru semua aktivitas bahkan  keberadaan manusia apapun tanpa kecuali, adalah pendidikan. Namun bila keharusan itu dirujukkan kepada ketetapan Allah Swt Awj yang memberi ruang dan peluang terlibat dan melibatkan pihak manusia, maka ia merupakan tuntutan yang justeru berkaitan dengan kemampuan atau daya-dapat manusia sendiri, sehingga tidak semua aktivitas dan keberadaan manusia itu adalah pendidikan. Untuk itu, apakah manusia harus dididik? Sangat tergantung kepada posisi dan mendudukan manusia itu sendiri. Bila manusia didudukan sebagai yang tak berdaya dan tidak berkuatan bahkan ia tidak ada, yang-ada hanyalah Allah Swt Awj semata, maka manusia selamanya dan selama dikatakan ada harus dididik. Namun bila manusia didudukkan sebagai yang berdaya dan berkekuatan selaras dengan pemberian Allah Swt Awj, maka manusia itu harus (dituntut) untuk dididik selama masih memungkinkan untuk dididik. Ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur'an, Al-Hadits, Ijma', dan Qiyas mendudukan manusia sebagai yang dilahirkan pada posisi memiliki fitrah bertempatkan di bumi yang menantang dan mengundang manusia itu berjuang dalam rangka menyelesaikan keberadaannya itu, maka manusia harus dididik selama memungkinkan dan selama ia perlu akan pendidikan tersebut. Selebih dan sekurangnya serta segalanya yang bertautan dengan manusia tersebut ada pada Allah Swt Awj.

KATA KUNCI: Harus, Manusia, dan Dididik

PENDAHULUAN
Objek atau sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan itu sendiri pada dasarnya bermaksud membantu manusia untuk mengembangkan dan membuahkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan itu merupakan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan dasar untuk menjadi manusia.

Untuk itu tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan harus dan dapat secara benar dan tepat tujuan, manakala tindakan mendidik dari pihak yang melaksanakan pendidikan itu meliliki dan bertolak dari gambaran yang jelas tentang hakikat manusia itu; dan dari hakikat manusia itulah kita dapat menandaskan bahwa manusia itu harus dididik, sekaligus melakukan pendidikan yang seharusnya dilakukannya.

PENGERTIAN HARUS
Makna yang terkadung dalam terma harus, dapat ditangkap esensinya manakala diacukan kepada istilah must dan should be. Istilah must dan should be secara ontologis - kosmik - antropologis menyentuh persoalan dasar dan ajar pada wilayah keberadaan manusia. Kedua istilah tersebut secara aksiologis juga bersentuhan dengan perilaku manusia baik yang seharusnya maupun yang apa adanya; dan secara epistemologis berkaitan dengan masalah pengetahuan manusia.

Must secara etimologis dapat diartikan mesti. Istilah mesti ini menunjukkan adanya sifat jabari, keterpaksaan taat atau kemerundukan, seperti air senantiasa dan selamanya mengarah ke arah bawah, sehingga alam atau sunnatullah mengatur demikian. Manusia ditilik dari mesti ini, baik sisi jasmaniah maupun ruhaniyahnya ada yang terkenai ketetapan ini, sehingga tidak ada ruang dan peluang untuk dididik; dengan pendidikan yang diartikan sebagai perekayaan dari luar. Jadi manusia seperti makhluk lainnya sudah umgebung atau umwelt (manusia karungkup atau terkutat oleh ketetapan alam, sehingga tak mampu mengelak darinya),  seperti rasa lapar merupakan suatu yang mesti yang menuntut mesti pula makan. Namun, apakah setiap lapar bagi manusia mesti makan, atau makan itu mesti dari tuntutan lapar; di sinilah harus tidak mesti diartikan mesti, tapi dapat diberi arti should be yang mengandung unsur pilihan dan pertimbangan dari pihak manusia tersebut, seperti manusia yang lapar harus menahan tidak makan alatan tidak ada makanan yang seharusnya dimakan, umpamanya ada makanan itu namun berkaitan dengan kaidah halal dan haram atau makanan tersebut milik orang lain, demikian pula manusia makan bukan semata-mata lapar, namun karena  boleh jadi tuntutan budaya dan sosial seperti demi penghormatan.

Harus dalam artian should be ini senantiasa tak dapat lepas dan dilepaskan dari dapat, sehingga tuntutan itu bersangkutan dengan kemampuan. Di sini terdapat ruang dan peluang manusia harus dalam arti mesti dididik, di mana tindakan pendidikannya mesti selaras dengan bahwa tuntutan dan kemampuan senantiasa berpadu adalah mesti. Di mana dengan pendidikan iu manusia tahu, mau, dan mampu meneliti alam (Mirkwel), mengerjakan alam (Wirkwelt), dan bekerjasama dengan alam (Mitwelt), sehingga manusia tidak sekedar Umgebung atau Umwelt sebagai yang mesti, tetapi juga sekaligus Mirkwelt, Wirkwelt, dan Mitwelt sebagai yang harus.

Manusia sebagaimana makhluk selainnya terkutat oleh alam (Umgebung atau Umwelt) merupakan dasar, yakni ketetapan sunnatullah yang tak dapat dielekkan. Dasar ini bersifat universal, dalam artian berlaku untuk seluruh makhluk di alam ini dan bagi alamnya itu sendiri. Namun Mirkwelt, Wirkwelt, dan Mitwelt hanya berlaku bagi manusia, karena itu ada kemungkinan untuk dikembangkan melalui pendidikan, ini merupakan dasar spesifik bagi manusia. Dasar ini merupakan harus dalam aratian must. Sedangkan manakala manusia dibandingkan dengan makhluk lain; di mana manusia di samping Umgebung atau Umwelt juga Mirkwelt, Wirkwelt, dan Mitwelt, sedangkan makhluk lain hanya Umgebung atau Umwelt saja, maka bagi manusia hal itu adalah harus dalam arti should be. Untuk itu, Mirkwelt, Wirkwelt, dan Mitwelt mengandung dan mengundang manusia mengembangkan dirinya itu melalui pendidikan, adalah ajar. Dari sinilah manusia harus dan dapat  dididik dan/atau mendidik.

Pengetahuan  aposteriori dan a priori berkaitan dengan konsep harus yang mengandung arti must dan should be termaksud. Di mana pendidikan aposteriori (pengetahuan yang diperoleh dari teralami) suatu yang harus  (should be) yang harus (mesti) dididikan atau diajarkan; ini adalah pengetahuan ajar. Sedangkan a priori (pengetahuan yang tak teralami) merupakan hal sudah terdapat sejak primodial, sehingga termasuk pengetahuan yang harus (must) yang tak dapat dididikan atau bukan hasil belajar, maka tak harus  dididik manusia dalam kerangka perolehan pengetahuan tersebut.

MANUSIA
Manusia selaras dengan terma yang terdapat dalam ajaran Islam (insan, nas, basyar) adalah makhluk Allah Swt Awj yang multidimensional lagi unik. Makhluk jasmani dan ruhani yang berkhalifah di bumi dan berhamba kepada Allah Swt Awj. Manusia ditilik dari hal ini harus dididik.

DIDIDIK
Istilah dididik ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk terbuka atau serba kemungkinan. Karena itu manusia harus dan dapat dididik untuk menjadi manusia.

KESIMPULAN
Manusia selaras dengan ajaran Islam dan sunnatullah (Al-Qur'an dan Al-Kauniyah), adalah homo educandum dan homo educabile (makhluk yang harus dan dapat dididik).


NABI DAN KITAB SUCI MENCUKUPI NAMUN KENABIAN DAN TANZIL PETUNJUK SUCI TAK PERNAH MEMADAI

Kamis, 20 Oktober 2011

ABSTRAK
Seluruh keperluan alam beserta isinya telah terukur cukup, maka hal ini menjadi sebab Allah Swt Awj tidak perlu lagi mengadakan kitab suci atau mengangkat nabi baru. Karena itu akan sia-sia penemuan formulasi kitab suci baru atau pembangkitan nabi baru. Namun dimensi praksis tidak lepas dari dialektika antara kemapanan dengan pengubahan, sehingga sisi kenabian mesti tetap bangkit, demikian pula kitab suci terus tanzil.

PENDAHULUAN
Muhammad Al-Ghazali pada saat menjelaskan mengenai Jaddidu Imanakum (Perbaharuilah Iman Kalian), menyinggung masalah wahyu (dalam hal ini Al-Qur'an). Beliau memilah ada wahyu yang pernah dan tak akan pernah turun lagi kepada, yaitu Al-Qur'an yang turun kepada Nabi Muhammad Saw. Ada yang terus turun yaitu wahyu eksperimentasi, yakni penafsiran terhadap Al-Qur'an yang tertuju kepada Rasulullah Saw termaksud. Jadi beliau menggariskan karya orang yang berbentuk interpretasi akan Al-Qur'an, di mana interpretasi tersebut sarat pengaruh pertumbuhan dan perkembangan zaman, yang tentunya menuntut dan menuntun akan adaptasi dengan jiwa zaman dan perkembangan zaman, selaras dengan problematika. "Apakah Al-Qur'an selaras dengan zaman atau zaman menyelaraskan kepadanya?"

PEMBAHASAN
Nuzul (turun) menujukkan bahwa Al-Qur'an telah turun; tanazzul (akan terus turun). Jadi Al-Qur'an telah turun dan akan terus turun. Proses nuzul telah berlalu, tetapi proses tanazzul terus berlangsung hingga hari kiamat tiba. Al-Qur'anu Nazala wa Tanazzala, Fa 'l-Nuzulu Qad Madha, wa 'l-Tanazzulu Baqin ila Yauwmi 'l-Qiyamati. (Syekh AbuMadyan Al-Maghribi, w. 594 H).

Ujaran Syekh Al-Maghribi tersebut di atas, menunjukkan bahwa Al-Qur'an turun ke dalam hati Nabi Muhammad Saw melalui lisan Jibril; juga, Al-Qur'an turun  ke dalam hati para wali Allah Swt Awj melalui illham yang dianugerahkan ke dalam hati mereka yang bening.

Allah Swt Awj berfirman "Bertaqwalah kepada Allah dan pasti Allah memberikan ilmu kepada kalian" (QSS. Al-Baqarah, 282). Nabi Muhammad Saw bersabda "Siapa yang mengamalkan ilmunya, niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui" (Al-Hadits, Yang Diriwayatkan Abu Na'im dalam Al-Hilyah).

Riyadhah (Latihan Spiritual) berupa upaya membersihkan lahir-batin; lantas hati bersih dari segala sesuatu selain Allah Swt Awj lewat pancaran cahaya Muhammad, maka cermin hati akan bersih dari semua noda alam; karat yang mewarnai jiwanya pun akan lenyap. Pada saat begitulah hati siap menerima limpahan karunia Allah Swt Awj serta layak menyaksikan dan berdialog. Ia memahami sesuatu dari Al-Qur'an yang tidak dipahami manusia. Ada makna khusus dari Al-Qur'an yang turun kepadanya, yang kebaikannya akan meliputi semua.

Pendekatan sufistik menjelaskan isi QSS. Ar-Rum, 19: "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan menghidupkan yang mati dari yang hidup", sebagai berikut:

1. Allah mengeluarkan yang hidup: ketika seorang manusia berbuat dosa; dosanya lenyap dengan meminta ampunan, merasa hina, dan menunjukkan kesedihan.
2. Sesuatu yang hidup adalah minta ampunan.
3. Dari yang mati berarti: dari dosa.
4. Sementara, ketaatan akan musnah dan hancur oleh sikap ujub dan bangga.
5. Sesuatu yang mati adalah sikap ujub dan bangga yang dikeluarkan dari sesuatu yang hidup, yaitu ketaatan.
6. Imam Ali menuturkan bahwa "Kita memiliki perhatian kepada Kitabullah dan apa yang terdapat dalam lembarannya, dan yang terdapat dalam lembaran hanyalah sejumlah persoalan yang tidak terkait dengan ma'rifat. Karena yang paling penting adalah memahami Kitabullah yang turun ke dalam hati yang bersih dari segala sesuatu selain Allah".
7. Pengosongan diri dari segala sesuatu selain Allah Swt Awj, niscaya akan terisikannya dengan ma'rifat dan rahasia.
8. Bisa jadi cahaya sudah masuk ke dalam diri, tetapi karena hati dipenuhi berbagai gambaran  dunia, cahaya itu pergi lagi.

PENUTUP
Nuzul telah berlalu, sementara proses tanazzul terus berlangsung hingga hari kiamat, menyiratkan bahwa:
1. Nuzul, prosos turun, yang dikhususkan kepada Nabi Muhammad Saw telah terjadi dan tidak akan terulang.
2. Proses turun kepada hati para wali akan terus berlangsung hingga hari kiamat.
3. Proses turun tidak hanya terbatas pada Al-Qur'an, tetapi meliputi berbagai makna dan pemahaman lain yang berasal dari Allah Swt Awj.
4. Pengetahuan dan pengenalan kepada Allah (ma'rifat) juga terdapat dalam hati bersih dari gambaran dunia.

REFERENSI
Al-Qur'anu 'l-Karim
Al-Hikam, Syekh Abu Madyan Al-Maghribi
Al-Insanu 'l-Kamil, Ibnu 'Arabi


BELAJAR DASAR-DASAR METAFISIKA

Rabu, 19 Oktober 2011

ABSTRAK
Belajar merupakan suatu aktivitas yang melibatkan indera, akal, dan qalbu menuju perubahan secara terencana, agar tahu, mau, dan mampu hidup pada masanya. Belajar Dasar-dasar Metafisika turut mengarahkan manusia untuk berupaya mengerti lebih dalam keberadaannya, sehinga berpikir matefisis sebagai pengaruh dari belajar dasar-dasar metafisika tersebut dapat meredam hedonisme dan materialisme. Hal ini selaras dengan karakteristik metafisika yang menekankan kepada pengetahuan akal budi, di mana isi dari pengetahuan akal budi itu lebih pasti ketimbang dengan pengetahuan inderawi yang senantiasa dalam perubahan, yang justru metafisika bila dipelajari mendorong orang untuk mempergunakan akal budi dalam proses mencapai realitas ruhaniah sebagai realitas mutlak sang pengatur seluruh alam, dan memang realitas mutlak ini dapat digapai oleh akal budi, sehingga memposisikan realitas material tidak penting manakala menghambatnya. Namun watak metafisika mengakui mengenai tetapnya ada perubahan antara ruhani dan jasmani.   

KATA KUNCI: Belajar, Dasar-dasar, dan Metafisika

PENDAHULUAN
Bila manusia adalah makhluk berakal. Ia dengan akalnya memungkinkan untuk dapat berpikir. Inti berpikir dilihat dari posisi akal berdampingan dengan wahyu, adalah berfilsafat. Sedangkan berfilsafat intinya bermetafisika, bahkan metafisika adalah filsafat itu sendiri, yakni bermetafisis berpikir itu sendiri. Maka manusia adalah makhluk yang bermetafisika.

Memang dunia filsafat dimulai dari pencarian arche (prinsip dasar alam semesta). Menurut Thales, rinsip dasar alam raya ialah air. Anaximandros menekankan to apeiron sebagai arche. Anaximenes, pemikir kelahiran Miletos, melihat udara sebagai prinsip dasar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia disebut makhluk metafisik. Maksudnya, manusia adalah makhluk yang mampu berpikir, bernalar. Manusia tidak saja mampu memikirkan dan memahami apa yang dilihatnya secara empiris dan yang bersifat relatif, tetapi juga, dan lebih hebat dari itu, ia mampu mengatasi semua itu. Manusia mampu melihat di balik pohon mangga ini, kerbau besar ini dan manusia ini, sesuatu yang mutlak. Idea mengenai yang-ada, mengenai yang mutlak dan sang realitas merupakan pusat dan dasar semua metafisika. Manusia, dari hakikatnya, metafisik; ini berarti, diri manusia tidak hanya sesuatu yang kodrati-alami saja, tetapi juga sesuatu yang mengatasi yang fisik. Daya yang mengatasi yang kodrati itu disebut daya rohani. Ia dalam pengetahuan dan seluruh eksistensinya melebihi kodrat: Homo additus naturae (Lorens Bagus, 1991 p. 4-5).

Manusia sebagai makhluk yang bermetafisika dapat menjadi postulat yang mendasari bahwa manusia berkeharusan sekaligus dapat mencari dan menangkap apa yang terdapat di balik yang tampil atau tampak secara fisikal.
...Jika kita menerima bahwa manusia adalah makhluk rasional, kita akan mengakui pula bahwa manusia adalah makluk filosofis. dengan demikian kita mengakui juga bahwa manusia adalah makhluk metafisik. Inti dari filsafat tidak lain mencari apa yang ada di belakang yang fisik. (Lorens Bagus, 1991 p. 1).

Postulat tersebut juga mendasari bahwa manusia harus dan dapat belajar, di mana belajar itu proses penyelenggaraan perubahan, pengugahan, dan penggubahan diri secara terencana ke arah yang terbaik. Lompatan ini bersifat metafisis mengingat gerakan dalam perubahan itu ada semacam aktualisasi petensia menuju ke arah format atau bentuk diri yang terbaik, yang justeru bentuk diri terbaik berada di balik proses aktualisasi diri yang tampil fisikis itu. karena itu ada keselarasan antara belajar dengan dasar-dasar metafisika yang harus dan dapat dipelajari itu; dengan demikian juga bahwa belajar dasar-dasar metafisika menjadi suatu kesemestian, yang manakala mengabaikannya sama dengan mengabaikan diri sebagai manusia yang merupakan manusia karena bermetafisik tadi.

Uraian tersebut di atas secara tersirat menunjukkan bahwa masalah metafisis adalah masalah universal, yang mengandung arti bahwa bermetafisis dan metafisika itu berlangsung sejak manusia ada hingga manusia yang mendatang; yang memang secara kebetulan, tidak secara keseharusan, penemuan yang berlanjut secara artifisial dikonstruk secara sistematis bahwa metafisis dan metafisika itu diterbitkan di Yunani.

Kekentalan mengenal metafisika Yunani kuno menjadi bahan ajar dalam kerangka pendasaran berpikir metafisis, dan menjadi pendasaran titiktolak metafisika; demikian pula arti metafisika pada beberapa filosof, serta ciri metafisika cukup membatu dalam kerangka belajar dasar-dasar metafisika, yang tujuanya harus dan dapat bermetafisis sebagai pemanusiaan manusia menjadi manusia.

APA METAFISIKA ITU?
Andronikos dari Rhodes, penganut Aristoteles, menyatakan bahwa buku Aristoteles yang berjudul Prima Philosophia (Filsafat Pertama) diletakkan sesudah atau setelah jajaran buku-buku beliau mengenai Ilmu Alam (Fisika); sedangkan dalam bahasa Yunani Setelah atau sesudah fisika itu, adalah, ta meta ta physica, dengan demikian buku beliau tersebut diberi nama Metafisika. 

Arti dasar istilah ini ialah "yang mengikuti fisika" atau "yang datang setelah fisika" (ta meta ta physica). Nama ini didasarkan pada pembagian karya Aristoteles yang dibuat oleh Andronikos dari Rodi (Abad I sebelum Masehi). Nama metafisika yang diberikan pada karya Aristoteles dapat dilihat dari beberapa segi. (a) Metafisika sebagai etiket bibliografis atas karya Aristoteles. Ini berhubungan dengan maksud tulian Aristoteles dan ia sendiri belum membuat pembagian-pembagian isi tulisannya. Pembagian-pembagian ini dibuat sesudah ia meninggal dan tentu nama yang ditempelkan pada kelompok tulisannya antara lain nama "metafisika" sama sekali tidak dibuat olehnya sendiri... (b) Metafisika dari segi pedagogis. Nama metafisika ini dapat dilihat pula dari segi pedagogis. Sebagaimana dalam dunia pendidikan, biasanya yang gampang diajarkan lebih dahulu dan yang sulit kemudian, demikian pula kiranya karya-karya mengenai yang-ada. karena sulit, diberikan atau diajarkan, dalam konteks karya Aristoteles, "sesudah fisika"... (c) Metafisika dalam arti filosofis. Pada abad pertengahan istilah metafisika mempunyai arti filosofis. Metafisika oleh para filsuf Skolastik diberi arti filosofis dengan mengatakan bahwa metafisika ialah ilmu tentang yang-ada, karena muncul sesudah dan melibihi yang fisika (post phisicam et supra physicam). Istilah "sesudah" tidak boleh diartikan secara temporal. Istilah "sesudah" yang dimaksudkan di sini ialah bahwa objek metafisika sendiri berada pada abstraksi ketiga. Metafisika sebagai abstraksi datang sesudah fisika dan matematika. Kata "melebihi" (supra) berarti metafisika melebihi abstraksi yang lain, menempati posisi tertinggi dari semua kegiatan abstraksi, karena menempati jenjang abstraksi paling akhir. (Lorens Bagus, 1991 p. 17-19).

Jamil Shaliba (1982 p. 300) menjelaskan Ma Ba'da 'l-Thabi'iyyah (Al-Mitafiziqa: fi 'l-Faransiyyah Metafiphysique, fi 'l-Inkiliziyyah Metaphysics, fi 'l-Latiniyyah Metaphysica) bahwa 'Ilmu Ma Ba'da 'l-Thabi'iyyah huwa 'l-Ismu 'l-Ladzi Nuthliquhu 'l-Yauwma 'ala Maqalati Aristhu 'l-Makhshushati bi 'l-Falsafati 'l-Uwla. Summiyat bi Hadza 'l-Ismi li Anna Andruwniqusa 'l-Rudisiyyi 'l-Ladzi Jama'a Kutuba Aristhu fi 'l-Qarni 'l-Awwali Qabla 'l-Miladi Wadha'a 'l-Falsafata 'l-Uwla fi Tartibi Hadzihi 'l-Kutubi ba'da 'l-'Ilmi 'l-Thabi'iyy. 

Metafisika pada masa sekarang menjadi bidang filsafat yang memikirkan dan mempelajari hal-hal yang "mengatasi" atau "di luar" pembahasan tentang hal-hal yang fisik dan empiris; di mana sudut pandang metafisika mengatasai fisika (metaphysica).

METAFISIKA YUNANI KUNO
Filsafat muncul ketika para pengamat alam yang tampak tampil ini mulai mempertanyakan "apa dasar yang paling mendasar dari realitas yang tampak tampil ini?".

Pandangan para pengamat tersebut dalam kerangka  menawarkan pemecahan terhadap persoalan tersebut, telah mengarah ke sesuatu di luar fisik, katakan saja "dunia yang kasat mata atau dunia indera".

Thales berpandangan bahwa dasar yang paling mendasar, adalah, 'air' meskipun terma ini masih berbau fisik, namun yang dimaksud air adalah bukan air yang ada di sekitar kita, tetapi yang bermakna hakikat kehidupan, seperti tergambar pada tindakan Bima sebagai Dewa Ruci mencari air menenggelamkan diri ke dalam laut; jelas air yang dicari adalah air hakiki bukannya air semisal air laut. Karena itu Anaximenes menyatakan bahwa dasar itu adalah to apeiron, yakni "yang tak terpikirkan".

Metafisika oleh Aristoteles dikatakan sebagai ilmu mengenai yang-ada dalam dirinya sendiri. Filsafat mengenai yang-ada berkaitan dengan realitas. Dengan metafisika orang ingin memahami realitas dalam dirinya sendiri. Berbicara mengenai yang-ada berarti bergaul dengan sesuatu yang sungguh-sungguh real, sejauh yang-ada itu sebagai kondisi semua realitas. ...Metafisika tidak bergaul dengan hal konkret, misalnya pohon ini atau itu. Metafisika mempunyai objek kajian yang mengatasi pengalaman inderawi yang bersifat individual. Metafisika bertugas mencari kedudukan yang individual itu dalam konteks keseluruhan. Metafisika mengajak orang untuk tidak terpaku pada pohon ini atau itu, atau masalah kesehatan manusia dan lain-lain yang tertentu, tetapi melihat semuanya itu dalam konteks bahwa semua itu ada. (Lorens Bagus, 1991 p. 3-4).

Dengan demikian, metafisika tidak hanya memikirkan sesuatu yang-ada, tetapi sesuatu yang tetap, yang mendasari segalanya. Xenophenes menyatakan metafisika menyangkut sesuatu yang ilahiah; sesuatu yang berbudi Logos, Nous.

Parmenides dan Herakleitos adalah dua filosof yang memunculkan dua pandangan baru mengenai sifat dasar alam semesta ini.

Parmenides memandang bahwa dasar alam semesta ini, ialah, "yang-ada" (being; to on); yang prinsipnya "yang-ada" adalah ada; "yang-tidak ada" adalah tidak ada. Yang-ada ini satu, mutlak, tak berubah. Karena itu, pluralitas dan gerakan adalah semu, yakni tidak ada.

Herakleitos menandaskan bahwa, karena dari kenyataan bahwa semuanya berubah dan bergerak. Maka yang ada adalah perubahan (becoming, ongoingness). Gerak, yakni proses substansi dasar alam ini, ialah, api. Namun memang gerakan alam semesta ini tidak liar, karena diatur yang-ada; di mana yang-ada ini oleh Anaxagoras merupakan kekuatan pengatur yang disebut Nous (akal budi).

Pemikiran metafisis Protagoras dan Kaum Sofis menyangkut suatu pandangan mengenai manusia dan alam semesta, sehingga mereka mengajarkan pandangan bahwa yang nyata adalah "apa yang terinderai". Karena "apa yang terinderai itulah ada". Sedangkan persoalan "apakah ada 'dasar segala yang ada' di alam yang terinderai sebagai yang nyata?", mereka berpandangan bahwa hal itu "tidak dapat dipastikan", karena semua relatif, tergantung dari manusia.

Pemikiran metafisis Plato dan Aristoteles terus mempengaruhi dunia hingga dewasa ini. Mereka berdua menyerap inti persoalan dan tergelitik oleh pendapat para filosof sebelumnya, yang ajarannya meliputi bahwa, 1). Diakaui sesuatu yang mendasari yang-ada yang tetap, tidak berubah, kekal, dan berbudi; 2). diakui kenyataan bahwa dunia yang kita inderai selalu berubah bergerak, sehingga menimbulkan persoalan "apakah yang terinderai itu ada?".

Pemikiran metafisis Plato bertolak dari nilai pengetahuan, di mana menurut beliau bahwa pengetahuan yang mengacu ke perubahan, yang tidak tetap itu, hanya rendah tingkatannya; karena itu pengetahuan inderawi rendah tingkatannya; di mana apa yang diketahui secara inderawi disebut phenomena. Beliau ingin pengetauan tetap, ingin tentang hal yang tetap dan tak berubah. Pengetahuan tetap dicapai melalui akal budi; yang diketahui melalui akal budi disebut noema. Beliau menyusun pemikiran metafisisnya bertolak dari noema tersebut. Beliau atas dasar tersebut, membelah dunia kepada 1). Dunia bawah, yaitu dunia dengan kenyataan yang sudah berubah; 2). Dunia Atas, yaitu dunia idea. Duania idea adalah Dunia Realitas yang sungguh-sungguh. Kenyataan di Dunia Bawah hanya semu, bayang-bayang dari Dunia Idea. Beliau sebenarnya merangkum pendapat para filosof sebelumnya, yang mencakup:
a). Yang ada sesunggunya tak berubah, tetap, kekal, dan satu;
b). Yang berubah memang nyata, tetapi bukan realitas sesungguhnya;
c). Nilai pengetahuan inderawi rendah;
d). Dunia Idea dicapai melalui akal budi.

Aristoteles menyatukan Dunia idea dan Dunia Kasat mata (inderawi, empiris) dalam teorinya yang disebut Hylemorphisme. Dunia Inderawi memang berubah tetapi yang diinderai itu memang betul ada, namun ada yang berubah. Beliau menganggap perlu realitas yang kekal, tak berubah, namun beliau tidak memisahkan Dunia Atas dan Dunia bawah, tetapi menyatukan dalam realitas dunia ini. Semua yang ada di dunia ini berubah dan bergerak. Berubah dan begerak dimungkinkan karena "yang ada" ini persatuan dari dua unsur, yaitu 1). "Sesuatu yang membuat sesuatu itu ada", disebut Hyle: materia; dan 2). "Sesuatu yang membuat sesuatu itu ada seperti ia berada", disebut Morphe: forma (bentuk). Setiap benda berbah karena ingin mencapai formanya yang mendasar.


Aristoteles berdasarkan Hylemorphsisme menemukan teori Actus dan Potentia, di mana semua yang ada merupakan materia yang diberi forma atau potentia yang diactuskan. Setiap yang ada karena dapat beubah memiliki potentia, yang lalu harus diberi forma baru, sehingga dia berubah. Umpama: sepotong kayu, yang berpotentia menjadi papan, diberi forma papan, diacuskan menjadi papan. Papan punya potentia menjadi meja, diberi forma meja. Begitu seterusnya. Beliau juga menjelaskan teori tentang sebab; di mana semua berubah karena 4 sebab, yaitu 1). Causa Materialis (materia), 2). Causa Formalis (forma), 3). Causa Efficiens (Daya yang mengactuskan: kerja), dan 4). Causa Finalis (Daya tarik yang mengarahkan: tujuan). Realitas dasar yang mengactuskan, ialah, "penggerak yang tak digerakkan". "Penggerak Pertama" ini oleh Thomas Aquinas disebut "Tuhan". Realitas dunia ini realitas yang campuran. Ada yang satu mutlak, ialah, Tuhan: Actus Purus (Actus Murni) dan Forma Pura (Forma Murni). Tujuan akal budi adalah mencapai Actus Purus, menggapai Tuhan. Beliau memisahkan hal yang tinggi, ilahi, dengan hal yang berubah dari dunia ini.

METAFISIKA BEBERAPA FILOSOF
Rene Descartes melalui metode menyangsikan segalanya, ia sampai kepada kepastian "Aku Berpikir, Jadi Aku Ada" (Cogito Ergo Sum). Dari postulat ini Descartes menarik posisi metafisisnya. Semua yang ada terdiri atas hal ruhani, budi, yang pasti, abadi, dan tetap. Dan materi yang mempunyai extension (luas, panjang, lebar), benda material. Barang material diketahui melalui indera, sifatnya tidak pasti. Dua hal tersebut terpisah. Hubungan keduanya terletak dalam "Pinegal Gland" dalam otak, yang cara bekerjanya mungkin oleh tindakan Tuhan.

Spinoza memandang bahwa seluruh realitas berada pada tingkatan ruhani. Realitas dasar ialah Tuhan. Tuhan adalah ada yang tak terbatas, substance yang memiliki sifat yang tak terbatas. Semua yang ada hanyalah mengambil bentuk dan sifat dari yang tak terbatas. Realitas dasar itu adalah satu.

Locke berpendapat semua pengetahuan datang dari pengalaman inderawi, karena itu kita tidak dapat tahu. Realitas dasar itu tidak ada.


Immanuel Kant berupaya merangkum posisi filosof di atas dalam suatu pandangan baru; dan mengajarkan bahwa dunia yang kita amati ini hanya kita amati lapis luarnya yang terinderai disebut phenomena (Ersceinung). Apa yang kita inderai harus diolah oleh budi kita, sehingga pengetahuan kita teratur dan jelas, di mana hal itu dilakukan oleh penalaran kita (Verstand/Vernunt). Namun ada dunia yang melampaui pengetahuan ini, yang berasal dari suatu sinar institusi. Dunia transcendental. Beliau menekankan bahwa dunia phenomena  (das Ding fur Mich),   tidak penting. Akal budi, ialah, yang menerangi dunia phenomena. Itulah yang penting. Sedangkan dengan intuitie kita mungkin dapat menangkap dunia transcendental, dunia das Ding Ansich.

Metafisis Heidegger menandaskan bahwa "ada" hanya dimengerti oleh manusia. Karena itu bicara tentang keberadaan manusia. Keberadaan manusia ialah suatu Dasein, "terdampar di sana" dengan kekhawatirannya karena dia tahu, dia manusia terbatas. Dia perlu hidup bersama (Mitsein) dengan pasrah kepada cinta bersama, dan kepada cinta Tuhan. Dengan demikian, filsafat bukanlah cinta kebijaksanaan tetapi kebijaksanaan cinta. Jadi metafisika bergulat dengan realitas manusia, di mana berbicara tentang ada berarti berbicara tentang manusia.

KESIMPULAN
Metafisik menyangkut keberadaan manusia, alam semesta, dan Tuhan. Mempelajari metafisika untuk bermetafisis adalah suatu kesemestian baik secara antropologis, kosmologis, maupun teologis. Kemungkinan untuk harus dan dapat belajar metafisika bertolak dari bahwa manusia itu adalah makhluk metafisik.

Hampir semua filosof dihantui oleh persoalan mencari yang pasti, mutlak dan menghadapi yang tidak pasti dan berubah.

Metafisika menyangkut persoalan ache segala sesuatu, yang mencakup persoalan apakah segala itu  ada atau tidak ada; apakah segala yang-ada itu satu atau banyak; juga menyangkut masalah kausalitas, kebebasan dan keterikatan, pengetahuan beserta metodenya apakah induktif atau deduktif.

Adapun karakteristik metafisika, ialah, 1). Menekankan pengetahuan akal budi; isi pengetahuan akal budi lebih pasti ketimbang pengetahuan indrawi yang berubah; 2). Ada realitas ruhani, bahkan realitas mutlak, pengatur seluruh alam, yang dapat digapai oleh akal budi; namun tetap ada perubahan antara yang ruhani dan jasmani, namun realitas material yang jasmani dianggap tidak penting; 3). Metafisika mendorong untuk berupaya mengerti lebih dalam keberadaan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'anu 'l-Karim.
Jamil Shaliba, Al-Mu'jamu 'l-Falsafiy
Lorens Bagus, Metafisika
Siddi Gazalba, Sistematika Filsafat