Darul Manthiq - Bening Hati Cemerlang Akal Di Sini dan Di Sana

KISI-KISI EPISTEMOLOGIS DALAM FILSAFAT ISLAMI

Minggu, 27 November 2011

Ada dua pertanyaan mendasar yang merangkengi hakikat ilmu dalam filsafat Islami yang menjadi kisi-kisi epistemologis. Pertama yang berkaitan dengan objek ilmu, yaitu "Apa yang dapat diketahui?"; yang kedua menyangkut metode ilmu, yaitu "Bagaimana mengetahui sesuatu?"

OBJEK ILMU
Objek atau sasaran ilmu tidak lepas dan dilepaskan dari wilayah ada. Ada empat wilayah ada, yaitu (1) Wilayah Ontis Dunia Anorganis; (2) Wilayah Ontis Dunia Organis; (3) Wilayah Ontis Dunia Psikhis; dan (4) Wilayah Ontis Dunia Ruhani. Wilayah Ontis Dunia: (a) Anorganis dan (b) Organis menyangkut wujud (eksistensi) fisik ('alam syahadah); sedangkan Wilayah Ontis dunia: (a) Psikhis dan (b) Ruhani menyangkut wujud metafisik ('alam ghaib). Karena itu, Objek Ilmu berpadanan dengan seluruh rangkaian wujud, baik wujud ghaib maupun wujud syahadah. Karena seluruh wujud masuk kepada tataran metafisis (ontologis, teologis, kosmologis, dan antroplogis) maka persoalan wujud menjadi world view (pandangan dunia) yang melukiskan susunan wujud. Nah susunan wujud  itu adalah (1) yang tertinggi adalah Allah Swt Awj yang berkat dan rahmat-Nya turun melalui akal-akal; (2) Akal satu sampai sepuluh yang disebut akal aktif (malaikat); (3) Jiwa-jiwa dan benda-benda angkasa; (4) Alam dunia (wujud yang terendah), dunia di bawah bulan. Wujud-wujud yang tersusun secara metafisis ini dipilah-pilah menjadi objek-objek ilmu.

Pemilahan wujud-wujud secara metafisis yang menjadi objek-objek ilmu itu mendukung pemunculan klasifikasi ilmu. Pentingnya klasifikasi ilmu untuk (a) mengetahui ruang lingkup pengetahuan manusia, dan (b) melihat antar hubungan satu cabang ilmu dengan yang lainnya; juga (c) mencerminkan urutan-urutan ilmu ditinjau dari sisi kepentingannya.

Ilmu-ilmu itu sempat dibagi ke dalam Arab dan Ajam (asing); di mana kelompok ajam ini terutama ilmu-ilmu Yunani. Perkembangan proses sintetis ilmu-ilmu menyebabkan ilmu-ilmu itu diklasifikasikan atas dasar yang lebih canggih yang mencerminkan pandangan Dunia Islam. Al-Farabi mengklasifikasi ilmu mengikuti Aristoteles dengan menekankan Ilmu-ilmu linguistik, fiqh (yurisprudens), dan kalam (teologi spekulatif).

Al-Khawarizmi....

HAKIKAT PENDIDIKAN

Sabtu, 26 November 2011

Pembicaraan "Hakikat Pendidikan" mengundang dan mengandung pemikiran yang kritis, metodis, dan sistematis. N. Driyarkara menandaskan pendidikan sebagai suatu ilmu merupakan "Pemikiran ilmiah tentang realitas yang kita sebut pendidikan (mendidik dan dididik). Pemikiran ilmiah bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Kritis: Semua pernyataan, semua afirmasi harus mempunyai dasar yang cukup kuat. Orang yang bersifat kritis ingin mengerti betul-betul (tidak hanya membeo), ingin menyelami sesuatu dengan seluk-beluknya dan dasar-dasarnya. Metodis: Dalam proses berpikir dan menyelidiki itu orang menggunakan suatu cara tertentu. Sistematis: Pemikiran ilmiah dalam prosesnya itu dijiwai oleh suatu idea yang menyeluruh dan menyatukan, sehingga pikiran-pikirannya dan pendapat-pendapatnya tidak tanpa hubungan, melainkan merupakan kesatuan." 

Idea yang menopang hakikat pendidikan ialah bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan dasar yang memungkinkan berkembang dan dikembangkan ke arah yang selaras dengan kehendak diri sendiri, sesama, lingkungan, dan Tuhan.

Kalau idea bahwa manusia memiliki kemampaun dasar, maka idea tersebut menopang kepada suatu pengertian, dalam hal ini pengertian pendidikan; di mana pengertian pendidikan berdasar idea tersebut, pendidikan adalah "Upaya sadar dari pihak manusia yang telah dewasa berupa pemberian-bantuan kepada pihak manusia yang dianggap belum dewasa agar menjadi manusia dewasa."

Manusia yang telah dewasa ialah manusia yang telah mencapai kemanusiawiannya, yakni telah menjadi manusia. Sedangkan manusia yang dianggap belum dewasa ialah manusia sebelum menjadi manusia, yakni manusia berada dalam wujud potensi. Manusia yang dalam wujud potensi inilah perlu bantuan dari pihak yang menjadi manusia agar ia berhasil menjadi manusia. Namun kapan menjadi manusia itu?

M.J. Langeveld menjelaskan bahwa manusia dikatakan manusia manakala ia (1) memahami, mengerti, dan mencintai dirinya (individualitas); (2) memahami, mengerti, dan mencintai orang lain (sosialitas); dan (3) menyadari, memiliki norma kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan; serta bertindak, berbuat sesuai dengan norma kesusilaan, nilai-nilai hidup atas tanggungjawabnya sendiri demi kebahagiaan dirinya dan kebahagiaan masyarakat, orang lain. Sebelum menjadi pribadi dewasa susila, manusia berada dalam wujud potensi. Keadaan ini nampak jelas dialami anak-anak; namun keadaan anak bersama orang lain, memungkinkan dia memperoleh bantuan orang lain, yaitu orang dewasa susila, untuk mengangkat dirinya ke tarap insani, menjadi pribadi dewasa susila. Perbuatan yang menyebabkan manusia menjadi manusia, menjadi pribadi dewasa susila disebut pemanusiaan manusia muda. Inilah hakikat (intisari) pendidikan. Manusia dewasa susila merupakan tujuan umum pendidikan."

Ahmad Tafsir (2006) menandaskan bahwa "dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Tidaklah mudah menjadi manusia; sejak dahulu banyak gagal, banyak manusia gagal, menjadi manusia. Tujuan pendidikan ialah memanusiakan manusia; agar tujuan tesebut dapat dicapai dan agar program dapat disusun, maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu harus jelas. Kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani kuno menentukan tiga syarat untuk disebut manusia, yaitu (1) memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, (2) cinta tanah air, dan (3) berpengetahuan. Atas dasar ini inti pendidikan ialah menolong atau membantu, bukan mencetak atau mewujudkan. Pendidik mengetahui bahwa pada manusia itu ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu juga ada potensi untuk menjadi bukan manusia. Batu tidak mungkin ditolong menjadi manusia, karena batu tidak memiliki potensi menjadi manusia."

MENEROPONG DARI SUDUT KE-ANAK-AN ANAK TERHADAP PENDIDIKAN

Selasa, 22 November 2011

Ada tiga terma (istilah) pada topik ini, yaitu 1). Meneropong dari sudut, 2). Ke-anak-an anak, dan 3). pendidikan.

Terma "Meneropong dari Sudut" merupakan kerja akal berupa mengolah data yang terdapat dan/atau diperoleh dari empiris. Data empiris tersebut menyangkut tentunya hidup dan perikehidupan manusia di lingkungan di dunia ini di mana ia berada dan mengada. Kalau "Menoropong dari Sudut" merupakan kerja akal termaksud, maka ia sarat sisi epistemologis. Sisi epistemologis inilah yang dapat menjembatani antara "alam keharusan/alam keniscayaan" (die Welt der Sollenden) dan "alam kenyataan empirik" (die Welt der Seienden).

"Alam Keharusan/Alam Keniscayaan" merupakan suasana kejiwaan atau kerohanian yang dalam hubungan tertentu senantiasa, merupakan suasana yang diliputi oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat logik. Jadi, "Alam Keharusan/Alam Keniscayaan"  sesungguhnya sama dengan alam yang bersifat logik. Sedang "Alam Kenyataan Empirik" menunjuk kepada suasana yang bersifat inderawi dan sekaligus bersifat obyektif-kealaman; Dunia semacam ini tidaklah ditentukan oleh hukum-hukum berpikir dalam logika, melainkan ditentukan oleh prinsip-prinsip metafisik. Dengan adanya kedudukan di antara dua macam semacam ini berarti bahwa di satu pihak obyek atau sasaran peneropongan ("Meneropong dari Sudut") itu diharapkan atau dalam kenyataannya merupakan sesuatu yang dapat dipahami oleh manusia-manusia yang lain (di samping mereka yang langsung memperolehnya), di lain pihak diharapkan atau dalam kenyataannya juga dapat dalam babak terakhir ditangkap secara inderawi. Mengenai masalah kedudukan yang sentral ini dapatlah dikatakan bahwa pemikiran tanpa obyek atau sasaran merupakan sesuatu usaha seperti impian belaka, sedangkan tangkapan inderawi tanpa diolah lebih lanjut oleh akal merupakan suatu usaha yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.. Dengan perkataan lain (seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant), apabila hakikat pendidikan yang diperoleh dari peneropongan itu hendak memperoleh bobot yang bersifat ilmiah, maka haruslah ia mempunyai obyek atau sasaran yang secara langsung maupun secara tidak langsung dapat ditangkap secara inderawi, dan yang kemudian diolah lebih lanjut oleh akal manusia. (Soejono Soemargono, 1983 hal. 5).

Terma "Ke-anak-an Anak" pepal dengan eksistensial manusiawi manusia. Ke-anak-an menyangkut hakikat keperiadaan anak; anak itu sendiri menunjuk kepada manusia itu sendiri; jadi, "Ke-anak-an Anak" menyiratkan kepatutan penelaahan antropologi (hakikat manusia), khususnya antropologi anak; juga menunjukkan bahwa dalam konsep anak itu terdapat dugaan (pertimbangan) kuat bahwa pada anak itu mengandung kemungkinan (potensia) menjadi manusia atau menjadi tidak/bukan manusia. Anak manusia begitu lahir menunjukkan sebagai makhluk terbuka; beda halnya dengan binatang sebagai makhluk tertutup. Taruh saja itik begitu menetas dari telur secara otomatis hampir tanpa bantuan dia langsung jadi itik, sehingga ia tidak memungkinkan mengitik atau membukanitik; tetapi anak manusia yang tampak takberdaya, sebagai makhluk terbuka, ia memungkinkan memanusia memungkinkan membukanmanusia, membinatang, umpamanya ia dapat mengkambing. Namun kebanyak manusia menginginkan anaknya mejadi manusia; di sini tampak perlu dan dapat manusia itu dididik dan/atau mendidik; sedangkan pendidikan senantiasa maunya mengarah kepada yang baik, lebih baih bahkan terbaik, yakni menjadi manusia (memanusia sebagaimana manusia) bukan menjadi tidak/bukanmanusia (membinatang, mengkambing, dan seterusnya). Itulah pendidikan merupakan situasi atau proses memanusiakan manusia (muda: anak) agar menjadi manusia.

Untuk itu, terma "Pendidikan" mengandung pengertian "suatu upaya memberi bantuan manusia kepada mausia agar menjadi manusia".

Uraian tersebut di atas menuntut dan menuntun ke arah bahwa:
1. Perlunya pengenalan anak dalam kedudukan dan keterpautannya dengan dan dalam kehidupan masyarakat sebagai atau dijadikan  landasan suatu berpikir dan bertindak pendidikan.

2. Ke-anak-an anak patut ditelaah dalam antropologi anak.

3. Untuk kepentingan pendidikan diperlukan suatu pandangan atau pendapat (teori) psikologi sejak semula menunjukkan nisbat (keterpautan) tertentu dengan pedagogik. Di mana pedagogik tidak memerlukan suatu psikologi yang tidak memperhatikan situasi pendidikan.

4. Situasi manusiawi yang eksistensial bagi anak menampakkan diri sebagai situasi-perlu-bantuan; anak hanya dengan bantuan (pendidik: orangtua, guru), ia dapat melangsungkan kehidupannya. Situasi tersebut mempertunjukkan bahwa sejak dini kehidupan anak menunjukkan keterpautannya manusia lain (dengan orang dewasa: pendidik: orangtua dan guru) yang, karena rasa tanggungjawab, siap memberikan bantuan kepadanya untuk memungkinkan kelangsungan pelaksanaan kehidupannya. Sejak dini kehidupan anak menunjukkan: a). Keterpautannya dengan anak lain, sebagai rekan sebayanya dalam permainan; b). bahkan ia belajar juga bertemu dengan dirinya sendiri: Het Zijn-met-en-bijde-ander en het Zijn-met-bij-zichzelf. (Beets, 1954 hal. 30).

5. Anak sebagai salah satu dimensi yang sangat penting dari pendidikan; tanpa menempatkannya dalam situasi eksistensial manusiawinya selaras dengan kehidupan ke-anak-annya hanya akan melahirkan suatu abstraksi, suatu FremdKorper belaka dari anak tersebut. (M.I. Soelaeman, 1985).

Kehidupan ke-anak-an anak tak dapat lepas dari lingkungan dan situasi di mana: (a) Dia mendapatkan dirinya; (b) Dia melangsungkan kehidupannya; (c) Tempat dari mana anak mendapatkan pengaruh; (d) Lingkungan sebagai tempat anak mendapatkan dirinya dan melangsungkan kehidupannya serta ke arah kehidupan mana anak dibantu pengarahannya secara produktif. (Taba, 1962 hal. 10). Dengan demikian, hendaknya anak tidak ditempatkan dalam suatu abstraksi, yakni lepas dari situasinya; atau tidak diartikan "berdasarkan ukuran dan timbangan: Weegbaar en Meetbaar, tetapi sebagaimana ia benar-benar menampakkan diri dan dialami oleh yang berada di dalamnya.

Dengan demikian, pendidikan dalam peneropongan dari sudut ke-anak-an anak, adalah:
1. Lingkungan dan situasi anak dalam artian (a) di mana anak mendapatkan dirinya; (b) di mana anak melangsungkan kehidupan; (c) selaras dengan situasi eksistensial ke-anak-an anak, sebagai manusia yang sedang berkembang dan dalam status perlu bantuan. (M.J. Langeveld, 1957 hal. 214).

2. Merupakan lingkungan dan situasi yang membantu anak dapat berpartisipasi dalam kehidupan termaksud secara produktif.

3. Sebagai lingkungan dan situasi yang tidak saja tampil sebagai lingkungan dan situasi kehidupan melainkan adakalanya lingkungan dan situasi mendidik bagi anak.

4. Pemikiran dan tindakan yang bertolak dari pandangan bahwa anak dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga. Kalau ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga, maka ia (a) mendapatkan pendidikan pertama dalam lingkungan keluarga dalam situasi kasih sayang; (b) berbarengan dengan kelahirnya yang telah tersedia wadah yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya berupa situasi kasih sayang di lingkungan keluarga tersebut, ia (anak) berkemampuan memperoleh sendiri pendidikan, di mana perolehan sendiri itu, yang diperoleh dan diolahnya sendiri; (c) perolehannya sendiri itu menjadi bekal yang didapatkannya dalam lingkungan dari situasi kehidupan keluarganya, oleh ia (anak) bekal tersebut menjadi bekal memasuki sekolah, berpartisipasi dengan dan dalam kehidupan sekolah mendapatkan pengaruh (pendidikan) dari dan dalam sekolah itu; (d) guna pelaksanaan pendidikan anak di sekolah itu telah direncanakan dan dikembangkan kurikulum yang dengan khusus dan sengaja dirancang untuk keperluan itu.

Jadi, tidak ada pendidikan yang berlangsung dalam suatu abstrak, melainkan selalu dalam dan untuk suatu masyarakat tertentu.

Perlu suatu integral concept of curriculum yang dipandang sebagai konsekuensi dari tilikan psikologis yang mendalam dan yang memandang kepribadian anak sebagai satu dan tak terbagi: "the personality is one and indivisible." (Mannhein, 1954 hal. 55).

Sifat integral dari pendidikan berkaitan dengan dua aspek, yaitu bahwa kegiatan pendidikan berkaitan dengan (1) lembaga-lembaga sosial di mana anak itu mendapatkan dirinya seperti keluarga dan sekolah; (2) keseluruhan pribadi anak, termasuk di dalamnya jenjang perkembangannya.

MENDEKATI ANAK DALAM UPAYA MENDIDIK

Tindakan mendekati anak (murid, siswa) dalam upaya mendidik berkaitan erat dengan pandangan atau pendapat. Berbagai pendapat mengenai mendekati anak (murid, siswa) perlu dipilih suatu pendapat yang tidak melihat anak (murid, siswa) sebagai sekedar "objek" mendidik, melainkan:
1. benar-benar sebagai anak (murid, siswa), dengan segala ke-anak-an (dan ke-murid-an, ke-siswa-an) yang terlihat dalam situasi pendidikan di sekolah;
2. benar-benar anak yang "eksistensial-manusiawi" dan bukan sebagai fremdkorper. Dengan demikian pendapat yang dipilih mengenai mendekati anak dalam mendidik, adalah pendapat yang menempatkan anak (murid, siswa) dalam a total life orientation. That is, that one should respond as a whole person (including feeling, ideas, and emotions). (McNeil, 1977, h. 3).

Realitas anak (murid, siswa) adalah realita sebagaimana yang dialami dan dihayati anak (murid, siswa) bersangkutan dalam situasi kehidupan dan pendidikan di lingkungan pendidikan tersebut. Mendekati anak (murid, siswa) dalam mendidik menyangkut pengenalan akan anak (murid, siswa) sebagai suatu realitas anak (murid, siswa) sebagaimana ia alami dan hayati dalam situasi, khususnya situasi pendidikan di mana ia berada dan mengada di dalamnya.

Pendapat mengenai mendekati anak dalam mendidik itu, adalah pendapat yang mendukung bahwa:
1. Pendidikan, termasuk tindakan mendidik, dirancang dan diupayakan bagi kepentingan anak (murid, siswa) dalam rangka menyongsong kehidupannya sebagai manusia dewasa dalam masyarakatnya;
2. Keseluruhan tindakan mendidik dikerahkan dan diarahkan het kind monding te helpen worden, bekwaam te helpen maken zelfstanding zijn levenstaak te volbrengen (M.J. Langeveld); ...a way of preparing young people to participate as productive members of our society. 

Kepedulian tindakan mendidik yang berpihak kepada anak (murid, siswa) hendaknya tampak jelas pada tujuan, perancangan, maupun pengupayaan tindakan mendidik itu. Adapun indikator mendekati anak (murid, siswa) dalam mendidik yang berkepedulian terhadap anak (murid, siswa) bersangkutan antara lain, adalah:
1. Pemahamannya berpusat pada anak (murid, siswa: childcentered);
2. Berazaskan anak aktif, umpamanya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA);
3. Memasukan program bimbingan dan penyuluhan dalam kurikulum pendidikan;
4. Menerapkan sistem modul;
5. Berorientasi kepada tujuan, di mana tujuan instruksional khususnya berpusat pada anak (murid, siswa);
6. Proses "Belajar-mengajar" (pembelajaran)nya dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seseorang belajar, selain kepada apa yang dipelajari;
7. Berazas keluwesan dalam pengembangan program atau kurikulum pendidikannya dengan mempertimbangkan kebutuhan anak (murid, siswa) pada umumnya secara perorangan sesuai dengan minat dan bakatnya serta kebutuhan lingkungan.


SISI GENEALOGIS ILMU MANTHIQ

Kamis, 17 November 2011

Akar yang diduga menjadi latar belakang munculnya Ilmu Manthiq, ialah perdebatan antara Abu Sa'id Al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M), dalam khazanah Peradaban Islam, tentang kata dan makna; bahasa dan logika.

Abu Sa'id Al-Syirafi, yang ahli bahasa, berpandangan bahwa kata muncul lebih dahulu daripada makna. Kalau "kata lebih dahulu muncul daripada makna", maka berkonsekuensi logis bahwa "Setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing".

Abu Bisyr Matta memandang bahwa justeru makna ada lebih dahulu dibanding kata; karenanya Logika (Ilmu Manthiq) muncul lebih dahulu daripada bahasa. Manakala Logika (Ilmu Manthiq) muncul lebih dahulu daripada bahasa, maka implikasi-logisnya bahwa makna dan logika (Ilmu Manthiq) inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.

Sisi nativistik menempatkan makna (manthiq; logika) pada posisi dasar, mengingat bahwa manusia dilahirkan dengan dibekali bakat/pembawaan (makna, manthiq, logika), yang menentukan dan menciptakan garis-garis kata (bahasa); di mana perkembangan dan pengembangan kata (bahasa) berlanjut atas ketentuan makna (manthiq, logika).

Sisi empiris justeru kata (bahasa) terlebih dahulu ada dalam dan dari lingkungan; di mana perkembangan dan pengembangan kata dan bahasa yang sarat makna (manthiq, logika) itu ditentukan oleh pengaruh yang dialimi dalam dan dari lingkungan, termasuk ajaran Ilmu Manthiq atau logika. Walhashil kata atau bahasa sebagai lingkungan yang menentukan makna.

Dasar yang berkaitan dengan sisi nativistik mengakibatkan bahwa manthiq (logika), yaitu makna telah ada sejak sebelum dan semenjak lahir, sehingga Ilmu Manthiq (logika) atau kata dan bahasa yang artifisial itu sebagai sarana perkembangan dan pengembangan manthiq (logika; makna) potesial.

Rene Descartes berpendapat bahwa dalam pertautannya dengan lingkungannya, orang menggunakan pengertian-pengertian tertentu yang tidak dapat dikatakan sebagai abstraksi dari pengalaman yang dialaminya dari lingkungan. Ia menunjuk misalnya kepada pengertian Tuhan yang tidak muncul karena pengamatan inderiah dan karenanya pengertian seperti itu harus disimpulkan didapat manusia sejak kelahirannya. (M.I. Soelaeman, 1988 p. 50).

Leibniz berpikir lebih jauh dari itu. Bagi Leibniz pengertian yang harus dikembalikan kepada idea-idea yang dibawa lahir, bukan hanya beberapa pengertian saja, melainkan semuanya harus dikembalikan kepada idea-idea yang dibawa lahir. Realita yang sehari-hari nampak secara material sebenarnya adalah idea.

Perdebatan tersebut baik langsung ataupun tidak langsung bersentuhan dengan masalah ajar dan dasar. Yang tentunya menyinggung persoalan-persoalan:
1. Apakah kata atau bahasa seseorang itu merupakan bawaan atau hasil pengaruh lingkungan (orang, ajaran, kebudayaan), termasuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Ilmu Manthiq (logika) yang dibukukan dan dibakukan; dibakukan dan dibukukan secara sistematik oleh Aristoteles sebagai Guru Pertama, dan oleh Al-Farabi sebagai Guru Kedua?
2. Manakala dalam kata dan bahasa itu ada faktor bawaan dan ada faktor pengaruh dari lingkungan termasuk Ilmu Manthiq (logika) yang telah terbukukan dan terbakukan, yang manakah yang bawaan dan yang manakah yang pengaruh lingkungan?
3. Seberapa jauhkah faktor bawaan dan seberapa jauh pula faktor lingkungan dapat mempengaruhi kata dan bahasa seseorang?

Schopenhauer berpendapat bahwa "The world is my idea, the world, like man, is through and through will and  through idea...". Segala kejadian di dunia dipandangnya sebagai manifestasi dari benih yang ada padanya sejak semula. Hal ini tidak saja berlaku bagi tanaman, melainkan juga bagi segala organisme, termasuk manusia. Oleh karena itu, maka yang penting adalah prokreasinya. Perkembangan manusia hanya merupakan semacam penjabaran dari yang telah disiapkan semula, yang telah dibawakan sejak kelahirannya. (M.I. Soelaeman, 1988 p. 50).

Dengan demikian, makna dan kata, logika (manthiq) dan bahasa, manthiq (logika) potensial dan Ilmu Manthiq (Ilmu Logika) sebagai manthiq 9logika) artifisial dimulai sejak jauh sebelum kelahiran manusia (yang berlogika dan berbahasa). Manusia dalam bentuk zygote yang terbentuk melalui pertemuan sel ibu dengan sel ayah (sperma). Dalam zat hidup ini terkandung potensi bermanthiq sekaligus berbarengan berbahasa yang menimbulkan berlogika yang mengakibatkan berbahasa yang beragam itu; bahkan dimulai sejak sebelum manusia dan alam diciptakan dan berada sebagaimana sekarang adanya.

Jadi, akallah yang pertama diciptakan Allah Swt Awj sebelum diciptakan segala yang ada dan yang mungkin ada. Dan akal inilah gen dari manthiq (logika) potensial juga manthiq (logika) artifisial yang tak terpisahkan dari kata dan bahasa yang juga artifisial.

Akal sebagai gen manthiq (logika) itu menjadi zat hidup yang mengandung manthiq (logika) potensial yang berpasangan dengan manthiq (logika) artifisial yang berimbang kelak dalam eksistensial manusia di dunia, yang mengandung dan mengundang manthiq (logika) artifisial yang berpasangan dengan bahasa atau makna dengan kata.

Akal yang pertama diciptakan itu bukanlah akal yang melekat pada seseorang atau kelompok orang-orang, atau manusia yang telah, sedang, dan akan (pernah) berada di bumi ini.

Akal yang melekat pada manusia di bumi ini sepenuhnya ditentukan oleh akal yang pertama diciptakan itu; akal yang menjadi gen manthiq (logika) tadi.

Akal yang pertama diciptakan yang menjadi gen manthiq (logika) tadi pada saat menyelinap ke dalam akal yang melakat pada manusia ini, ia berubah dan mengubah dirinya menjadi akal yang utuh dan penuh. Akal yang pertama diciptakan dan penyelinapannya tidak dapat diketahui oleh manusia. Akal yang utuh penuh itu disebut genotype dari akal yang tidak diketahui tadi.

Akal yang melekat pada manusia yang menjadi wadah dari akal yang utuh penuh tadi, mengubah dirinya menjadi fenotype dari akal yang tidak diketahui tadi. Karena itu, ia merupakan atau dapat disebut akal yang telah mencerap pengaruh lingkungan di mana manusia hidup. Nah, manusia yang berakal, yang akalnya itu menjadi wadah akal yang tidak diketahui itu yang melahirkan genotype dan fenotype dari akal itu, seolah-olah tampak berakalnya bukan badannya. Akal fenomenal inilah yang disebut akal utuh (genotype dari akal)  akal sebagaimana telah berkembang dalam lingkungan tertentu.

Denagn demikian, manusia dalam kehidupan sehari-hari dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan sesamanya; hal ini tak ayal lagi karena ia memiliki akal untuk berpikir. Al-Qur'an menunjukkan bahwa manusia sangat dihargai karena peranan akalnya. Dan Al-Qur'an juga memuat seruan Allah Swt Awj kepada manusia, agar ia selalu berpikir.

Akal manusia bagi manusia merupakan suatu sarana super canggih, sebagai yang dikaruniakan oleh Allah Swt Awj kepadanya, tidak kepada makhluk lainnya.

Manusia dengan akalnya dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Ia dapat memahami lebih mendalam bagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya.

Manusia karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berpikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya.

Manusia ketika masih diberi kehidupan dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula manusia akan beraktivitas berpikir yang akan terlepaskan dan melapaskannya. Ia berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada saat mencari kebenaran dengan jalan berpikir itulah Ilmu Manthiq (logika) berperan penting dalam mencari suatu kebenaran itu. Rene Descartes menandaskan cogito ergo sum (Aku berpikir, karena itu aku ada.

Teori manthiq (logika), yang jelas menggunakan nalar, dalam pensyari'atan Hukum Islam, sama sekali tak dapat melepaskan diri dari apa yang disebut sebagai Ilmu Manthiq. Karena itu, Ahlu 'l-Ra'yi (Manthiq, Logika) dan Ahlu 'l-Qiyas (Analogi) memandang bahwa syari'at itu sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai akal yang universal yang disyari'atkan oleh Al-Qur'anu 'l-Karim. Al-Imam Al-Syafi'i, dalam teori ijtihad, ketika memahami Al-Qur'an maupun sunnah ada istilah Dilalah Ghair Mandhum (petuunjuk kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafadl yang tidak sharih) yang tentunya dibutuhkan analisis berpikir tepat dalam memahaminya. Untuk itu, signifikansi akal teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh kredibilitas dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap persoalan hidup.

Memang perlu diakui bahwa hasil pemikiran manusia meskipun menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan kebenarannya. Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berpikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah, perlulah ajar berupa kaidah-kaidah berpikir atau metodologi berpikir ilmiah yang dikenal Ilmu Manthiq (logika). Peran Ilmu Manthiq (logika) seperti halnya Nahwi li 'l-Lisan (Grammar dalam pengucapan). (Sullamu 'l-Munauwraq, Syekh Abdurrahman Al-Akhdhari).

MANTHIQ SEBAGAI ILMU

Senin, 14 November 2011

Ada dua pertanyaan mengenai Manthiq sebagai ilmu, yaitu:
1. Apakah Manthiq itu benar-benar suatu ilmu?
2. Ilmu yang bagaimanakah Manthiq itu?

Kedua pertanyaan tersebut di atas berkaitan dengan syarat-syarat ilmu. Adapun syarat-syarat ilmu, adalah objek, metode, dan struktur organis ilmu.

Bila Manthiq memenuhi syarat-syarat ilmu termaksud di atas, maka Manthiq benar-benar merupakan ilmu; atau Manthiq sebagai ilmu.

Objek Material Ilmu Manthiq adalah pikiran manusia; sedangkan Objek Formal Ilmu Manthiq adalah alur jalannya pikiran; atau berpikir dengan lurus.

Metode Ilmu Manthiq adalah Metode Analitis dan Metode Sintetis. Bila seseorang memperhatikan pikirannya sendiri, maka ia sedang mengadakan analisis guna mendapatkan hukum-hukum atau patokan-patokan berpikir. Ia setelah memperoleh patokan-patokan berpikir itu, lalu ia menyusun dan menjadikan sekumpulan hukum, yakni  hukum berpikir. Kerja menyusun dan menjadikan sekumpulan hukum berpikir inilah yang disebut aktivitas sintetis.

Olah pikir berbentuk kerja analitis dan sintetis berkaitan dengan struktur yang organis, yaitu bahwa "Manthiq di dalam memberikan uraian, ia secara berturut-turut memberikan kupasan segala aspek berpikir dari yang paling sedarhana sampai yang paling kompleks, tanpa ada pertentangan di antara aspek-aspek tersebut, melainkan saling melengkapi".

Manthiq menguraikan dari masalah mengerti, kemudian berpendapat, dan akhirnya sampai pada penyimpulannya.

Ilmu terinci atas dasar objek, kegunaan, cara bekerja, dan cara berpikirnya. Ilmu atas dasar:
a). Objeknya terperinci 1). Ilmu Alamiah dan 2) Ilmu Rohaniah.
b). Kegunaannya terperincilah 1). Ilmu Teoretis dan 2). Ilmu Praktis.
c). Cara Kerjanya terperincilah 1). Ilmu Normatif dan 2). Ilmu Deskriptif atau Empirik.
d). Cara Berpikirnya terperincilah 1). Ilmu Finalistis atau Teleologis dan 2). Ilmu Kausalistis.

Nah, Manthiq masuk ke dalam Ilmu Rohanian, Teoretis-Praktis, Normatif-Deskriptif, dan Finalistis.

REFERENSI
A. Soedomo Hadi, Logika Filsafat Berpikir
Khalimi, Logika Teori dan Aplikasi

SISI FILOSOFIS MENGENAI TUJUAN PENDIDIKAN

Sabtu, 05 November 2011

Tujuan pendidikan menyangkut persoalan dan pemecahan mengenai "apa yang harus dikerjakan?". Lingkup yang mengandung dan mengundang pemecahan "apa yang harus dikerjakan?" adalah bidang filsafat yang disebut aksiologis. Tiga pertanyaan lain yang sangat erat dengan pertanyaan "apa yang harus dikerjakan?", adalah, "apa yang dapat diketahui?", "apa yang boleh diharapkan?", dan "apa manusia itu?".

"Apa yang dapat diketahui?" pemecahannya dapat dibuka dalam bidang metafisika, yang menurut sebagian bahwa metafisika itu adalah epistemologi itu sendiri. "Apa yang boleh diharapkan?" terdapat dalam religi; dan "Apa itu manusia?" terdapat dalam antropologi-filsafi. Keempat pertanyaan itu intinya dan tertumpu pada pertanyaan "Apa itu manusia?'".

Perumusan tujuan pendidikan menjadi aktivitas prinsipil lagi kerja pertama sekali bagi disainer pendidikan. Karena itu yang mendisain pendidikan dalam merumuskan tujuan pendidikan mesti berpangkaltolak dari pandangan hidupnya yang mendasar. Dengan demikian perumusan tujuan pendidikan berdasarkan philosophy of life atau secara politis berdasarkan pada way of life.

Rumusan tujuan pendidikan menentukan rancangan, pembuatan program, dan evaluasi pendidikan; tujuan pendidikan menentukan program, rancangbangun, dan penilaian pendidikan itu sendiri; walhashil mutu pendidikan cepat terlihat pada dan dalam rumusan tujuan pendidikan.

Philosophy of life atau way of life yang menentukan rumusan tujuan pendidikan itu juga mengakibatkan berbeda-bedanya rumusan tujuan pendidikan itu. Di sisi lain tujuan pendidikan itu menyangkut tujuan hidup manusia; sehingga rumusan tujuan pendidikan menyangkut gambaran manusia ideal; manusia yang diharapkan; dengan demikian posisi tujuan pendidikan itu sebagai alat pencapaian manusia ideal termaksud.

Manakala way of life itu adalah agama, maka rumusan tujuan pendidikan bertolak dari pandangan agama; sekaligus manusia yang ideal sebagai yang terdapat dalam rumusan tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh tujuan pendidikan itu sendiri, adalah, manusia ideal menurut ajaran agama tertentu. Manakala way of lifenya dalam suatu madzhab dari filsafat, maka rumusan dan manusia ideal tujuan pendidikan itu ditentukan sebagaimana penentuan ajaran madzhab filsafat tersebut; demikian juga way of life yang diperoleh dari nilai-nilai waris nenek moyang. Namun dalam real-faktis terdapat campuran dari ketiga pandangan hidup itu baik dalam merumuskan tujuan pendidikan maupun manusia yang ideal.

Uraian tersebut menyentuh bahwa rumusan tujuan pendidikan mengacu kepada persoalan metafisik, epistemologi, religi, dan aksiologi yang seluruh dan keseluruhan bidang-bidang tersebut merupakan persoalan pokok filosofis; sedangkan filsafat bersifat radikal dan universal. Namun pendidikan termasuk tujuan dan situasi pendidikan itu, bersentuhan dengan masalah yang spesifik. Yang mengakibatkannya rumusan tujuan pendidikan disempitkan oleh keberlangsungan pendidikan itu yang terjadi dalam situasi tertentu dalam wilayah atau negara tertentu.

Bila negara tertentu yang menentukan rumusan tujuan pendidikan dengan berdasarkan filsafat atau pandangan hidup negaranya, maka rumusan tujuan pendidikan itu terbatas; hal ini membawa ke arah saintifik atau ilmu pendidikan. Karena itu tujuan pendidikan pada setiap negara akan berbeda-beda satu sama lain mengingat setiap negara memiliki filsafat negara masing-masing. Perbedaan itu juga terjadi pada satu negara tertentu; mengingat yang merumuskan adalah perwakilan dari masyarakat atau bangsa; yang pangkal dan penghujungnya ada kemungkinan rumusan tujuan pendidikan tidak sama sebagai yang dikehendaki atau menyimpang dari filsafat negaranya.

Namun sifat yang menetap atau sifat universal dan radikal sebagai issue inti filsafat masih melekat dalam perumusan tujuan pendidikan di segala negara, yaitu prinsip antropologis - normatif - yang praktis. Dan bahwa selulurh mausia di mana pun dan kapanpun serta apa dan siapa pun menghendaki manusia yang terbaik; manusia odeal atau manusia yang diharapkan. Dan dalam hal ini tipis hampir tidak ada perbedaan. Namun manakala muncul upaya pemecahan "apa dan siapa manusia yang terbaik itu; apa pula ciri manusia terbaik itu?", akan membawa dan mengakibatkan perbedaan selaras dengan pandangan dunianya, baik menyangkut hakikat manusia, yaitu sisi antropologis, menyangkut sistem nilai, yaitu sisi normatif, maupun pelakasanaannya yang menyangkut sisi praktis.

Ahmad Tafsir (2006) menggariskan bahwa manusia ideal yang perlu ada dalam rumusan tujuan pendidikan itu, adalah, manusia yang tenang dan produktif dalam menjalani hidup bersama; dengan penguraiannya sebagai berikut.

Manusia ideal dalam rumusan tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui pendidikan itu, ialah, karakteristik lulusan yang diharapkan, yakni lulusan yang merupakan manusia terbaik, yang cirinya adalah (1) tenang dan (2) produktif dalam kehidupan bersama; spesifikasi dari kedua ciri tersebut meliputi tiga indikator, yaitu: I. Berbadan sehat serta kuat, yang memungkinkan tenang dan produktif. Kuat menyangkut kemampuan otot dan non-otot dalam penyelesaian pekerjaan, yang mengakibatkan berproduksi maksimal. II. Otaknya cerdas serta pandai. Cerdas ialah pintar, yang di dalamnya mengandung kemampuan menyelesaikan masalah secara cepat dan tepat; biasanya orang pintar jarang memerintah atau menyuruh orang lain. Cerdas merupakan kemampuan dibawa sejak lahir, biasanya ukurannya adalah intellegence quotient (IQ); karena itu cerdas tidak dapat ditingkatkan; namun dapat dilatih agar aktual efektif. Pendidikan di antaranya metatih kecerdasan subjek didik. Sedang padai, cirinya adalah banyak pengetahuan; sedangkan banyak yang diketahui diperlukan IQ. Bila IQ tinggi tapi kurang banyak pengetahuan, maka IQ itu seperti kekurangan onderdil; IQ yang tinggi itu kurang dapat diaktualkan secara maksimal. Kepandaian dapat ditingkatkan. Kepandaian dengan kecerdasan seperti ilmu dan paham yang terdapat dalam ungkapan: Rabbiy Zidniy 'Ilman wa Urzuqniy Fahman... III. Beriman kuat, yang intinya adalah kemampuan mengendalikan diri yang tinggi dan tahan banting; ini berkaitan dengan konsep emotional quotient (EQ). Ketiga indikator dari tenang dan produktif dalam kehidupan bersama tersebut mencakup rincian ciri-cirinya, yaitu 1). disiplin, 2). sifat jujur, 3). kreatif, 4). ulet, 5). berdaya saing tinggi, 6). mampu hidup berdampingan dengan orang lain, 7). demokratis, 8). menghargai waktu, dan 9). memiliki kemampuan mengendalikan diri yang tinggi. Rumusan tujuan pendidikan juga menyangkut I. Pendidikan Berorientasi Kompetensi dan II. Pembangunan Masyarakat Madani. Pendidikan berorientasi kompetensi menyangkut tuntutan dan tuntunan agar pedidikan dilakukan dengan benar; dan menyangkut keterampilan mengalami hidup, yaitu harus mengetahui (knowing), harus tahu cara melaksanakan suatu yang diketahui (doing), dan mengalami hidup seperti yang diketahui itu. Sedangkan pembangunan masyarakat madani mencakup 1). adanya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat manusia sesuai dengan kemanusiaannya, 2). hukum itu ditaati, dan 3). ada penegak hukum. Adapun langkah-langkahnya: 1). membuat hukum yang manusiawi, yakni hukum yang sesuai dengan dengan hakikat manusia, 2). menciptakan masyarakat yang taat hukum, dan 3). pengadaan dan kemengadaan hingga adanya penegak hukum.