Darul Manthiq - Bening Hati Cemerlang Akal Di Sini dan Di Sana

BAHASA HAMPIR MENJADI YANG NYATA

Minggu, 19 Februari 2012

Pengalaman diekspresikan melalui bahasa. Bahasa bisa merumuskan sebuah pengalaman hingga menembus ke arah jantung realitas (kenyataan) yang paling sejati. Bahasa menjadi kesadaran yang mampu menghadirkan cahaya Tuhan ke dunia empiris; lalu kesadaran itu merumuskan dalam ungkapan-ungkapan pengalaman keruhanian yang bersifat subjektif dan karena itu, memiliki keterbatasan-keterbatasan. Sungguh posisi kesadaran subjektif dan personal itu terakui dalam bangunan epistemologi Islam. 

Keterpautan bahasa dengan kenyataan ini bila meresap pada pemikiran dialektika seseorang, maka mengakibatakan orang bersangkutan itu menjadi pribadi yang gelisah, mengakibatkan pada diri orang tersebut terdapat Contradictio Interminis, yakni "pertentangan diametral sejati dan berlangsung terus menerus". Tidak saja bertentangan dan saling meniadakan satu sama lain, tetapi bahkan menandai lahirnya, sekaligus menggambarkan sebuah gaya pikiran mendasar yang mendukung kepada kebijaksanaan yang sama sekali baru. Di sisi lain mengarah kepada gaya pikir analitik yang dibangun di atas proses bahasa melakukan pengobatan pikiran mendasar dan kebermaknaan bahasa tersebut. Bahasa merupakan salah satu bentuk ekspresi pengalaman yang lalu dipersoalkan kebermaknaannya.

Bahasa memang berfungsi menggambarkan fakta; di mana sebuah bahasa menjadi bermakna manakala memiliki sandaran faktualnya pada dunia empirik. Dengan demikian ungkapan-ungkapan yang tak bersandarkan faktual pada dunia empiris, ia merupakan bahasa sebagai tidak bermakna dan omong kosong, alias non-sense, karena tidak memiliki sandaran faktualnya secara empirik itu tadi. Namun di sisi lain, bahwa lalu lintas bahasa dalam kehidupan sangat banyak; karena itu, aturan main bahasa yang secara inhern melekat pada setiap jenis bahasa dengan sendirinya pun beragam. Jadi fungsi bahasa tidak tunggal tetapi jamak; sangat tergantung kepada jenis-jenis kehidupan yang digambarkannya. Bahasa dapat dipandang sebagai salah satu jenis kenyataan yang tumbuh dalam forma kehidupan tertentu, yang pada urutannya memiliki keabsahannya sendiri.

Dari sisi itu tadi, bahasa masuk kedalam tataran epistemologis; di mana bahasa mempunyai aturan main bahasa sendiri yang mesti dihormati. Wa 'l-Llahu A'lam bi 'l-Shawwab.

GURU YANG BERUPAYA MAUNYA DIGUGU DAN DITIRU

Sabtu, 18 Februari 2012

Aku seorang guru. Guru yang kehilangan daya tarik dan ditinggalkan (peminat menjadi) murid. Aku patut disalahkan; bukan guru yang layak disalahkan, namun aku sebagai orang guru. Bukan pula (para peminat mejadi) murid, juga bukan pula masyarakat keguruan dan keilmu-pendidikanan atau masyarakat umum dan pada umumnya. Daya tarik guru datang dan menyebul dari aku sebagai orang guru. Daya tarik guru diciptakan dan diupayakan oleh aku, orang guru. Murid yang dituntun, yang menyimak dan mencerap melalui indera, rasa, akal, dan hati (qalb), yang kemudian membenci atau memuji, atau menghargai dan berbagi.

Jika tak ada lagi yang berminat mempelajari sesuatu dariku sebagai orang guru, maka yang patut disalahkan adalah aku pula, yang menjadi orang guru, bukan guru itu sendiri atau anggota masyarakat yang tak berminat datang berkunjung untuk berguru kepadaku sebagai orang guru. Guru hadir dan bergulir bersama komunitas. Hakikat guru serta keguruan dan keilmu-pendidikanan adalah kebersamaan. Dunia guru serta pikiran dan tindakan keguruan itu dibangun secara kolektif. Keterjadian guru menyebul muncul dari kegiatan bersama. Peribadatan dan pembatian bersama dan persahabatan.

Guru, yang dimaksud aku sebagai orang guru mesti menciptakan komunitas kebersamaan dan persahabatan, lalu memeliharanya, dan bukan malah mempertajam kesendirian. Guru dalam sistem sosial, yang tak pernah berlangsung di ruang yang kosong. Guru merupakan pertemuan yang padu utuh seutuhnya dari panca indera, rasa (dzauq), pikiran, dan tindakan. Indera penghasil sains yang mendukung praktek yang bersifat operasional, dzauq mempertajam kepekaan, pikiran melahirakan teori, dan tindakan menyatukan serta membuahkan hasil nyata.

Barangkali aku dalam banyak penyimpangan, aku melulu kemenyendirian; yang mengakibatkannya aku dalam keserba kemandegan. Bisa-bisa berkat aku, guru dalam posisi teraliensi; guru dijadikan atau dengan sendirinya menjadi monster, ririwa yang mengerikan, egoistis, rumit memperumit, kompleksitas yang pepal absurditas, tidak menarik karena aku sebagai orang guru berfokus hanya kepada diri pribadi-personal, sangat subjektif. Jangan-jangan karena aku yang berperilaku seperti itu, mengakibatkan guru dan peristiwa keguruan juga segala kegiatan dan aktivitasnya tersudutkan pada ujung bahwa guru dan peristiwa keguruan itu hanya buang waktu dan buang energi belaka. Lalu, guru pun, termasuk aku sebagai orang guru itu akan dihindari. Yang akibatnya, guru dan aku terpinggirkan dan tersingkirkan oleh masyarakat itu sendiri.

Untuk itu, aku setiap saat harus menemukan jawaban dan pemecahan permasalahan 1). apa yang perlu aku berupaya tatkala aku sebagai orang guru kehilangan daya tarik, 2). langkah apa yang segera perlu aku lakukan tatkala aku sebagai orang guru mulai kehilangan (peminat menjadi) murid, 3). apa yang perlu dilakukan agar aku sebagai orang guru kembali memiliki daya tarik, tatkala aku sebagai orang guru tidak menarik lagi untuk digugu dan ditiru.

Sikap responsifitas aku akan berupa jawaban dan pemecahan masalah-masalah itu perlu dalam kesegeraan; desakan permasalahan itu sangat terang; permasalahan saat kini dan di sini, harus dipecahkan sekarang sesegera mungkin juga. Permasalahan kemarin atau esok hari, pemecahannya akan lain lagi. Jiwa zaman, wawasan, dan kawasan menuntut dan menuntun penyelesaian dan pemecahan permasalahan berlainan dan berbeda-beda serta secara sendiri-sendiri, serta masing-masingnya bersifat spesifik; sehingga menggambarkan tindakan penanggulangannya pun berbeda.

Aku perlu hadir secara bersama dan bersahabat pada suatu waktu tertentu dan bertemu pada sebuah ruang yang menjadi tempatnya.

Aku mesti terus menerus mempelajari, mengamati, menakar, menilik, menimbang, dan memperhitungkan aku sebagai pelaku sebagai orang guru, tempatnya, dan komunitasnya. 

Aku mesti memiliki impian, gagasan atau idea yang dikonsepkan menjadi sebuah rancangan tindakan; aku mesti menguasai pengetahuan dan keterampilan bermenjadi guru, yang kemudian dikembangkan bahkan dibuahkan secara optimal selaras kebutuhan; aku mesti membiasakan kreatif; aku mesti membangkitkan tindakan keguruan dari orang, atau sejumlah orang yang berhasrat serta berminat; dan aku mesti dalam kebersamaan dan kebersahabatan degan masyarakat sekaligus saling berbagi.

Aku bermenjadi guru karena hendak mengungkapkan rasa terimakasih kepada sama sama manusia, kehidupan, alam, dan yang tertinggi kepada Tuhan, Allah Swt Awj. Aku berupaya berupa kemencarian dan pencapaian kebahagiaan dunia-akhirat melalui cermin jujur (al-Amin) yang bersumber dari akal, daya budi (qalb), dan hati nurani (dzauq) sebagai anugerah dari Tuhan, Allah Swt Awj. Wa 'l-Llahu a'lam


MAKNA SENANDUNG HARAPAN IKATAN PROPETIK KEABADIAN

Jumat, 17 Februari 2012

Kudisuruh dan diseru untuk bertafa'ul kepada rasul lewat persembahan du'a pembuka firman Tuhan Yang Bernama Allah Swt Awj yang terkumpul dalam catatan Al-Qur'an. Persembahan kepada Nabi terpilih, yakni utusan Allah; persembahan itu pun kuperhadapkan kepada keluarga, para sahabat, dan para kekasihnya; kuhadapkan pula persembahan du'a tersebut kepada para wali beserta para sahabatnya, juga kepada pucuk pemimpin wali-wali. 

Permulaan, termasuk berdu'a hanyalah atas Nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Segala puji dan puja hanyalah milik Allah, Rabb, yang segala-Nya termasuk meliputi seluruh alam semesta. Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Pemilik hari pembalasan. Hanyalah kepada Engkau, kami beribadah dan hanyalah kepada Engkau, kami mohon pertolongan. Tunjukkan jalan lurus kepada kami sekaligus tuntunlah kami ke arah jalan yang lurus itu. Jalan orang-orang yang Engkau berikan ni'mat kepada mereka; bukanlah jalan orang-orang yang Engkau membeci mereka; dan bukanlah pula jalan orang-orang yang sesat. Semoga Engkau berkenan menjawab serta menyahut berupa mengkabulkan harapan kami.

Keluh dipadu-utuhkan dengan jeritan berupa seruan pada diriku memunculkan pengagungan akan-Mu sungguh aku ajukan permohonan kepada-Mu berupa pemecahan problematika yang lengket dengan diriku, permohonan yang kuajukan itu melalui tanda-tanda keuasaan dan keberadaan-Mu yang Teragung yang tertetapkan pada bercakan cahaya Dzat-Mu yang tertangkap pada permukaan-Mu yang Tertinggi, yang terabadikan, yang menenatap, mantap, lagi diterusmeneruskan selama-lamanya dalam pergolakan hidup nabi dan utusan-Mu, yakni Nabi Muhammad; dan sungguh aku ajukan permohonan kepada-Mu melalui tanda-tanda kekuasaan dan keberadaan-Mu yang  Teragung, yang Tunggal dengan kesatu-utuhan ketunggalan yang tunggal, lagi terenyahkan dari susunan terpadu kuantitas berupa jumlah dan bilangan serta hitungan yang terkikis-habiskan dari seluruh dan setiap satu sebagai jumlah dan bilangan apa dan siapa pun; dan dengan dimensi kebenaran Permulaan, termasuk kerja ibadah berdu'a atas Nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Katakanlah Allah itu Tunggal. Allah itu Tambatan semua dan segala. Dia tak beranak dan tidak diperanapinakkan. Dan Dia tidak memiliki keserupaan dan kesetimbangan dengan satu apa dan siapa pun. Semoga Engkau melimpahkan rahmat kepada Jungjungan dan Pemimpin kami, yakni Nabi Muhammad Saw, beliau misteri berupa rahasia kehidupan yang wujud; dan beliau pangkal, causa yang teragung bagi semua dan seluruh yang maujud, suatu rahmat yang berfungsi memantapkan iman dalam hatinuraniku, membuat dan menjadikanku hafal Al-Qur'an, membuat dan menjadikan aku memahami segala yang berpusat dan bersumber dari Al-Qur'an itu berupa tanda-tanda kekuasaan dan keberadaan Allah Swt Awj, yang membukakan bagiku kilatan serta kilauan cahaya sejumlah surga, cahaya surga keni'matan, dan cahaya yang mengarahkanku mampu melihat Dzat-Mu Yang Mahamulia; dan semoga rahmat termaksud itu Engkau limpahkan kepada keluarga dan para sahabat beliau; dan kesejahteraan pun Engkau melimpahkannya kepada kami semua. Wallahu bi '-Shawwab.


FUNDASI PENDIDIKAN

Selasa, 14 Februari 2012

Pendidikan mengandung adanya upaya dari pihak luar diri manusia, yaitu pengaruh lingkungan; baik berupa manusia, lingkungan itu sendiri, dan budaya. Namun yang paling pokok adalah pengaruh dari pihak manusia itu sendiri, mengingat bahwa pendidikan itu adalah ciri khas perbuatan atau tindakan manusia. Bila pendidikan itu upaya, maka pendidikan itu di samping perlu proses juga yang esensial adalah bertujuan; di mana tujuan pendidikan secara pokok adalah menghasilkan lulusan yang bagus, baik, dan benar, serta yang paling inti ada. Gambaran pendidikan seperti ini menunjukkan bahwa pendidikan harus dirancang atau didesain sebagus-bagus, sebaik-baik, sebenar-benar, dan sehakikinya. Perancangan itu guna menghasilkan lulusan yang bagus, baik, benar, dan ada, yaitu menghasilkan manusia yang ideal sepanjang yang dapat diusahakan.

Rancangan pendidikan tentu di samping harus diletakkan pada dan harus dapat dipertanggungjawabkan dasar yang melandasinya sebagai fundasi pendidikan; juga dasar yang dijadikan landasan perancangan tersebut secara kokoh melandasi perancangan itu sendiri dan mendasari pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, dasar itu secara sisi etika mesti menjamin hasil keluaran pendidikan itu, yaitu lulusan yang menjadi manusia yang sebaik-baiknya. Sisi estetika menjamin lulusan pendidikan itu menjadi manusia yang sebagus-bagusnya dan seindah mungkin.Sisi logika menjamin lulusan pendidikan itu menjadi manusia yang sebenar-benarnya. Dan secara esensial, sisi ontologis menjamin lulusan pendidikan menjadi manusia Tuhan.

Pandangan hidup di samping sebagai pangkal tolak dalam peletakan dasar yang melandasi perancangan dan pekerjaan pendidikan, juga mewarnai perancangan dan pekerajaan pendidikan. Orang muslim memiliki pandangan bahwa manusia itu intinya adalah ruh. Al-Syaikhu 'l-Akbar, Syaikh Muhyi 'l-Din Ibnu Arabi berpendapat bahwa Ar-Ruh wa 'l-Nafs wa 'l-Qalb wa 'l-'Aql wa 'l-Hawwas wa 'l-Arkan wa 'l-A'dha' Kalimah Wahidah: Ruh, jiwa, qalb, akal, panca indera, anggota tubuh, dan anggota badan fungsional adalah konsep yang sama.

Pandangan yang dapat dijadikan dasar yang melandasi perancangan pendidikan, adalah pandangan yang mendudukkan mausia sebagai manusia; dan yang dapat menjembatani manusia kepada tujuan hidupnya yang dituju. Apakah pandangan Ibnu Arabi itu mendudukkan manusia sebagai manusia atau tidak? Apakah pandangan Ibnu Arabi itu menjembati manusia menuju tujuannya yang dituju atau tidak?

Pandangan Ibnu Arabi di atas menunjukkan bahwa manusia dididik untuk menjadi manusia Tuhan; yaitu manusia yang berpandangan dan bersikap hidup selaras dengan akhlak Allah Swat Awj. Kemampuan manusia yang memungkinkan untuk menjadi manusia Tuhan adalah terletak pada inti manusia itu sendiri. Sedangkan inti manusia itu ruh. Ciri manusia itu ruhnya tertangkap bahwa manusia itu berjiwa (nafs). Nafs tertangkap pada adanyanya qalb. Qalb tertangkap oleh adanya akal. Akal tertangkap dengan adanya panca indera. Panca indera tertangkap dengan adanya anggota tubuh. Sedangkan anggota tubuh tertangkap melalui adanya anggota badan yang fungsional.  Yang ini semua menunjukkan konsep yang sama yaitu, bahwa manusia itu berintuisi, berakal, dan berpanca indera. Bukankah pendidikan itu dirancang dan dikerjakan berfundasi pada intuisi, akal, dan panca indera; yang memungkinkan mengantarkan dan menghasilkan manusia yang integral yang diharapkan itu?

TILIKAN GHAIB TENTANG SISI MANUSIAWI MANUSIA TUHAN

Tampilan manusia manakala diamati secara seksama, maka yang tertangkap sebagian terbesar berupa cahaya ketuhanan dibanding bercakan kilauan secercah cahaya alam, demikian juga diri manusianya itu sendiri. Sisi yang tak tertangkap daya jangkau mata yang kasat lebih banyak. Tampaknya manusia itu justru ghaib, bahkan lebih ghaib ketimbang yang ghaib. Karena hingga hari ini, bahkan ke depan manusia masih misteri. Bahkan yang mengakui manusia kebanyakan tidak mengetahui siapa manusia itu?

Yang mula tertangkap adalah badan. Badan tertangkap itu merupakan korper (bagian penutup). Badan ini di samping penutup juga menutupi sisi hakiki dari diri manusia. Ia bagaikan kedok atau topeng, yang pada saat saat tertentu menipu, namun pada saat tertentu pula perlu. Kedok inilah di samping berganti ganti juga sering menjadi yang hakiki; dan yang hakiki itu sendiri melenyap alatan tertindih oleh yang dianggap hakiki tadi. Di sini kelihatan ada badan yang mengelak. Badan ini sering disebut Leib.

Leib sebenarnya yang pandai berperan dan pembuat serta pengendali peran. Peran yang diigeulkan (diperankan)  tentu perlu perantara atau alat. Alat berperan itulah badan korper. Badan Korper yang dialati oleh Leib ini berposisi kedok yang menjadi cangkang (wadah yang memperpanjang) Leib. Jadi tampilan yang tertangkap berupa kedok itu mengada bukan berada. Sedangkan "mengada" terbatas bahkan harus pada batas batas; sedangkan yang terbatas dan dalam batas batas adalah tidak ada. Untuk itu, Badan Korper tidak ada. Adapun kelihatan itu adalah jebakan belaka. Penjebaknya adalah Leib. Jadi, yang ada adalah Leib. Dengan demikian inti tampilan manusia adalah jutru yang tidak tampil ke permukaan, tetapi yang ada di belangkang tampilan itu, yaitu Leib.

Leib adalah semacam daya hidup yang berkemungkinan menyebar ke berbagai arah. Karena itu, Dunia, yakni pendapat yang berpusat dari akal menjadi daya arah intensionalitas (kemengarahan) Leib. Leib yang terarahi oleh daya intensionalitas akal, yaitu Dunia (aqidah, pendapat, atau pandangan), menjadi bekerja secara fungsional. Kerja fungsional ialah berbuat selaras dengan dan ditujukan kepada tujuan. Dengan demikian, dunialah yang mengatur dan mengarahkan Badan, baik Badan Korper maupun Badan Leib. Sehingga jungtrungan (jelmaan) manusia itu adalah Dunianya atau pendapatnya, bukan sekedar badannya. Dan karena itu pula, yang berada dan mengada adalah Dunia.

Dunia yang turut tampil dan menampilkan dirinya pada dan lewat badan itu, bersifat keterpengaruhan oleh dirinya sendiri dan juga di luar dirinya, sehingga Dunia itu terbelenggu oleh ruang dan waktu sekaligus mampu menata ruang dan waktu itu. Bila Dunia meruang dan mewaktu, maka Dunia terkenai tema Historisitas. Tema Historisitas inilah yang mengendalikan Dunia, yang tak jarang Dunia itu adalah historistas itu sendiri. Tak ada dunia yang kosong tema historisitas. Dunia (pendapat, pemikiran, pandangan) atak lepas dan tak dapat melepaskan tema historisitas; segala dunia berada dan mengada dalam jiwa zamannya.

Jiwa tersebut bersifat individualitas. Jiwa secara singularitas sangat erat dengan dirinya sendiri sekaligus dengan dirinya sendiri yang ngateung (laten membentang berkaitan erat dengan) sang Pencipata, yaitu Tuhan. Daya laten berdialog dengan Tuhan ini, mengakibatkan jiwa tadi bersisi komunitas dan partikularitas, sehingga tak adalah manusia yang tidak berkomunikasi baik secara vertikal maupun horizontal. Namun jiwa tauhid menandaskan semua komunikasi itu pada pangkal, proses, dan penghujungnya adalah vertikal, yaitu pertautan tali dengan Allah Swt Awj.

Dengan demikian, tampilan manusia adalah wadah sebagai tempat ekspresi Diri Allah Swt Awj. Jadi yang ada adalah Allah Swt Awj. Di luarnya hanyalah wadah yang bersifat sementara dan selama perlu dan diperlukan, butuh atau dibutuhkan. Wa 'l-Llahu bi 'l-Shawwab.

CINTA KEPADA NABI MUHAMMAD SAW

Senin, 13 Februari 2012

Buku Al-Jami'u 'l-Shaghir mengungkap suatu pernyataan: Man Ahabba Syai-an Aksara Min Dzikrihi 'Orang yang mencintai sesuatu, ia banyak mengingat dan menyebutnya'. 
Sebagian Umat Muslim Indonesia banyak mengingat dan menyebut Nabi Muhammad Saw, termasuk penyelenggaraan memperingati lahir beliau. Penyelenggaraan peringatan tersebut dilangsungkan pada bulan Rabi'u 'l-Awwal, sehingga bulan ini disebut, khusus di Indonesia, bulan mulud. Bahkan dari ungkapan mulud tersebut dimunculkan istilah tertentu, seperti aki-aki tujuh mulud, kokoro manggih mulud, cangkaruk mulud, dan sebagainya. Ini menunjukkan istimewa dan terkenangnya lahir Nabi Muhammad Saw di bulan termaksud.
Pelaksanaan muludan ini dengan bermacam kegiatan. seperti ngabungbang, nyangku, dan bentuk bentuk lainnya. Meskipun beragam bentuk-bentuk kegiatan tersebut; namun maksud dan tujuanya sama, yaitu "memperingati lahir Nabi Muhammad Saw.
Maksud dan tujuan muludan, ialah (1) sarana dakwah dan (2) alatan mahabbah, yakni cinta kepada Nabi Muhammad Saw.
"Siapa yang mencintai Nabi Muhammad, Rasulullah Saw, maka ia akan bersama-sama dengan Beliau kelak di surga".
Namun cinta kepada Nabi Muhammad tidak sekedar memperingati lahirnya dan mencinti pribadinya; yang paling pokok adalah mengakui dan mengikuti kerasulannya, mentaati dan patuh akan ajarannya serta selaras dengan yang digariskan oleh Allah Saw Awj dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Bila cinta kepada Nabi Muhammad Saw semata-mata cinta kepada pribadinya saja, maka yang bersangkutan termasuk yang bercinta emosional, yakni manakala Nabi Muhammad Saw direndahkan orang, maka yang bersangkutan marah, namun ajarannya tidak dilaksanakannya, tidak mengikuti, taat, dan mencontohnya dalam segala ucap dan perbuatannya; inilah yang disebut cinta 'athfiyah. Cinta kepada Nabi Muhammad Saw, dapat dikatakan cinta minhajiyyah yang positif konstruktif, manakala cinta tersebut berupa mengikuti ajarannya.
Sikap manusia kepada Nabi dapat dikelompokkan kepada (1) yang tidak mengakui dan tidak mengikuti Nabi, menolaknya sepenuhnya bahkan memusuhi dan memeranginya; (2) yang mengakui tetapi tidak mengakui kerasulannya, karena gengsi dan intervensi; (3) yang mengakui dan mengikuti, namun tidak selaras karena munafik (hipokrit); dan (4) yang mengakui dan mengikuti serta selaras karena shiddiq.
Bila ada pada posisi kelompok yang keempat, maka jadilah penghuni surga bersama-sama Nabi Muhammad Saw.