Darul Manthiq - Bening Hati Cemerlang Akal Di Sini dan Di Sana

HAKIKAT PENDIDIKAN

Sabtu, 26 November 2011

Pembicaraan "Hakikat Pendidikan" mengundang dan mengandung pemikiran yang kritis, metodis, dan sistematis. N. Driyarkara menandaskan pendidikan sebagai suatu ilmu merupakan "Pemikiran ilmiah tentang realitas yang kita sebut pendidikan (mendidik dan dididik). Pemikiran ilmiah bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Kritis: Semua pernyataan, semua afirmasi harus mempunyai dasar yang cukup kuat. Orang yang bersifat kritis ingin mengerti betul-betul (tidak hanya membeo), ingin menyelami sesuatu dengan seluk-beluknya dan dasar-dasarnya. Metodis: Dalam proses berpikir dan menyelidiki itu orang menggunakan suatu cara tertentu. Sistematis: Pemikiran ilmiah dalam prosesnya itu dijiwai oleh suatu idea yang menyeluruh dan menyatukan, sehingga pikiran-pikirannya dan pendapat-pendapatnya tidak tanpa hubungan, melainkan merupakan kesatuan." 

Idea yang menopang hakikat pendidikan ialah bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan dasar yang memungkinkan berkembang dan dikembangkan ke arah yang selaras dengan kehendak diri sendiri, sesama, lingkungan, dan Tuhan.

Kalau idea bahwa manusia memiliki kemampaun dasar, maka idea tersebut menopang kepada suatu pengertian, dalam hal ini pengertian pendidikan; di mana pengertian pendidikan berdasar idea tersebut, pendidikan adalah "Upaya sadar dari pihak manusia yang telah dewasa berupa pemberian-bantuan kepada pihak manusia yang dianggap belum dewasa agar menjadi manusia dewasa."

Manusia yang telah dewasa ialah manusia yang telah mencapai kemanusiawiannya, yakni telah menjadi manusia. Sedangkan manusia yang dianggap belum dewasa ialah manusia sebelum menjadi manusia, yakni manusia berada dalam wujud potensi. Manusia yang dalam wujud potensi inilah perlu bantuan dari pihak yang menjadi manusia agar ia berhasil menjadi manusia. Namun kapan menjadi manusia itu?

M.J. Langeveld menjelaskan bahwa manusia dikatakan manusia manakala ia (1) memahami, mengerti, dan mencintai dirinya (individualitas); (2) memahami, mengerti, dan mencintai orang lain (sosialitas); dan (3) menyadari, memiliki norma kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan; serta bertindak, berbuat sesuai dengan norma kesusilaan, nilai-nilai hidup atas tanggungjawabnya sendiri demi kebahagiaan dirinya dan kebahagiaan masyarakat, orang lain. Sebelum menjadi pribadi dewasa susila, manusia berada dalam wujud potensi. Keadaan ini nampak jelas dialami anak-anak; namun keadaan anak bersama orang lain, memungkinkan dia memperoleh bantuan orang lain, yaitu orang dewasa susila, untuk mengangkat dirinya ke tarap insani, menjadi pribadi dewasa susila. Perbuatan yang menyebabkan manusia menjadi manusia, menjadi pribadi dewasa susila disebut pemanusiaan manusia muda. Inilah hakikat (intisari) pendidikan. Manusia dewasa susila merupakan tujuan umum pendidikan."

Ahmad Tafsir (2006) menandaskan bahwa "dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Tidaklah mudah menjadi manusia; sejak dahulu banyak gagal, banyak manusia gagal, menjadi manusia. Tujuan pendidikan ialah memanusiakan manusia; agar tujuan tesebut dapat dicapai dan agar program dapat disusun, maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu harus jelas. Kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani kuno menentukan tiga syarat untuk disebut manusia, yaitu (1) memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, (2) cinta tanah air, dan (3) berpengetahuan. Atas dasar ini inti pendidikan ialah menolong atau membantu, bukan mencetak atau mewujudkan. Pendidik mengetahui bahwa pada manusia itu ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu juga ada potensi untuk menjadi bukan manusia. Batu tidak mungkin ditolong menjadi manusia, karena batu tidak memiliki potensi menjadi manusia."


Related Post

0 komentar:

Posting Komentar