Darul Manthiq - Bening Hati Cemerlang Akal Di Sini dan Di Sana

SISI GENDER TERSELIP DALAM KONTEMPLASI KETUHANAN IBNU ARABI MELALUI KE-PEREMPUAN-AN

Sabtu, 03 Desember 2011

IBNU ARABI
Asy-Syaikhu 'l-Akbar menyelinap padaku sesaat dalam waktu yang sebentar
Bekasannya semacam ruang pertemuan untuk belajar berkepanjangan lewat khiwar
Pembuka ruang mengenang Asy-Syaikh kapan dilahirkan; senandung harapan kepada Tuhan lewat Al-Fatihah dan dzikir sufistik miragasukma sarana terjadinya i'tibar
Asmanya kusebutkan sebagaimana firman Tuhan
Perlambangnya mesra Peraga Agama di alam semesta Madlhar Tuhan, Muhyi 'l-Din, Abu Bakar Muhammad bin Ali bi Arabi keturunan Hatim al-Thaiy, dikenal Mahaguru Terbesar, juga Al-Kibritu 'l-Ahmar
Sang Sumber Api bernisbat Arab turunan heriditas Hatim Al-Thaiy menjelma pertama di tanah belahan Mursia, jumlah waktu 560 Hijriyah
Api melebar karena berbahan bakar Al-Qur'an dan berbensin Al-Hadits, yang menampak di Seville; menyalalah api semakin membesar menuju mantap menetap selama 30 tahunan di Sevilla tempat ia belajar
Sang Mahamerah berpindah diri menyebar diri ke negeri-negeri timur, demi mengkaji hadits pada Ibnu Asakir dan Ibnu Al-Jauzi
Baghdad, Mosul dan negeri-negeri di Roma ia jelajahi
Mahaguru Terbesar berpengetahuan amat luas, meskipun hampir menyaingi Al-Muhith, namun tidak jadi, ia sadar diri bahwa ia berupaya menjadi manusia ilahi, yang penghujung posisinya menjadi Wadah Ilahi, untuk mengilahiyahkan segala diri
Punahlah fisik wadah diri dan ilahi dipendam di bawah tanah Damaskus tahun 638 Hijriyah menurut khabar pasti; namun kuyakin percikan-percikan api Tuhan tak ikut fisik mati yang terendam padam sebab tak memungkinkan lagi memantulkan cahaya tadi; namun ruhnya bergabung dengan ruh-ruh tak umum dalam Ruh Umum yang tak pernah padam dan susah dikubur; bekas penampakan Tuhan bisa saja memusnah sementara, namun Sang Tuhan tetap ada, kilatan-Nya tak henti memercikkan api
Bercakan cahaya baik yang menempel pada karya tulis Sang Belerang Merah maupun siratan ruhaniyahnya yang tak pernah mati, kusedang sadap ia semoga menyerap
Bila Tuhan berkehendak demikian atau tidak, terjadilah serapan yang diharap sebagai limpahan Tuhan
Sang Madlhar Tuhan berbakat besar dianugerahi oleh Tuhan kemampuan sastra yang tinggi, pikirannya amat dalam, dan penuh gagasan imajinatif. Ia penulis karya-karya prosa dan puisi, tak peduli dengan kekayaan dan kekuasaan, sering ekstase dan mena'wil. Karya-karyanya mencapai lebih dari 150 buku dalam berbagai disiplin ilmu yang semuanya berkualitas dan berpengaruh. Buku-buku yang ditulis tentang dirinya begitu banyak tak dapat dapat dihitung. Karyanya yang terpenting adalah Fushushu 'l-Hikam dan Al-Futuhatu 'l-Makkiyyah. Namun kitab yang berkaitan dengan Kontemplasi Ketuhanan Ibnu Arabi melalui ke-perempuan-an, ialah, Kitab Tarjumanu 'l-Asywaq (Tafsir Kerinduan).

BUKU TAFSIR KERINDUAN
Kekangan Tuhan tidak membuat aku renggang; tak pula membuat aku bercengkraman lengket dekat tergenggam dalam buaian-Nya; di bilang dekat tidak, sebab tak terangkul dan tak merangkul; dibilang jauh tidak, sebab Dia lagi dekat, tetapi masalahnya bersemayam dalam jiwa dan ragaku; namun bila dibilang dekat maupun jauh dapat membawa kepada kepunahan dan kemeniadaan Tuhan, lagi pembukanan dan pengyaan Tuhan, padahal Tuhan nir pebukanan dan pengyaan.

Maka inilah barangkali yang disebut rindu. Tapi bila ini rindu, sedangkan objek yang dirindui gelap bagiku; aku bodoh dan memang bodoh di, dari, dalam gelap itu. Maka yang terpancar cahaya dari Makhluk-Nya yang elok dan indah, terutama perempuan dan laki-laki. Semua perempuan dan laki-laki elok dan indah, kecuali laki-laki dan perempuan semuanya elok dan indah. Karena aku laki-laki, maka perempuan kujadikan media penafsiran rinduku kepada Tuhan. Namun bukan berarti Tuhan itu laki-laki atau perempuan atau laki-laki dan perempuan, bukan pula pertengahan; tidak pula gelap karena Tuhan tak jelas jenis kelamin-Nya; dan memang nir kelamin..

Tuhan adalah Tuhan; yang tahu bahwa Dia Tuhan adalah Tuhan. Aku percaya Tuhan bersemayam dalam perempuan, tetapi bukan perempuan yang fisik tampil yang terkenai kepunahan, melainkan ke-perempuan-an, yang di samping meliputi laki-laki dan perempuan juga mengandung dan mengundang rahasia ketuhanan. Nah, kutafsirkan kerinduan akan Tuhan melalui ke-perempuan-an, bukan perempuan juga bukan laki-laki bukan pula laki-laki dan perempuan.

Kuuntun peristiwa interpretasiku itu dalam bentuk puisi dengan komposisi yang beragam. Lewat kompilasi puisi ini kumemperlihatkan gagasan rinduku kepada Tuhan. Upaya penenunan puisi ini ketika aku bermukim di Makkah; dan di kota suci muslim inilah, aku melihat madlhar Allah berupa beberapa orang perempuan suci. Yang membuat aku tertarik untuk berekspresi berbau interpretsi rindu akan sang elok ada tiga perempuan:

1. Fakhru 'l-Nisa, saudara perempuan Syaikh Abu Syuja' Ibnu Rustam Ibnu Abi Raja'u 'l-Ishbihani. Ia adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Aku menkaji kitab hadits Sunanu 'l-Tirmidziy kepadanya.

2. Qurratu 'l-'Ain, Aku bertemu dengannya pada saat aku asyik tawwaf, memutari Ka'bah: Ketika aku sibuk sedang begitu asyik tawwaf, pada suatu malam, hatiku gelisah. Aku segera keluar dengan langkah sedikit cepat, melihat-lihat ke luar. Tiba-tiba saja mengalir di otakku bait-bait puisi. Aku lalu menyenandungkannya sendiri dengan suara lirih-lirih,

Aduhai, jiwa yang gelisah
Apakah mereka tahu
Hati manakah yang mereka miliki

O, relung hatiku
Andai saja engkau tahu
Lorong manakah yang mereka lalui

Adakah engkau tahu
Apakah mereka akan selamat
Atau binasa

Para pecinta bingung akan cintanya sendiri
Dan menangis tersedu-sedu

Tiba-tiba tangan yang lembut bagai sutra menyentuh pundakku. Aku menoleh. O, seorang gadis jelita dari Romawi. Aku belum pernah melihat perempuan secantik ini. Dia begitu anggun. Suaranya terdengar amat sedap. Tutur-katanya begitu lembut tetapi betapa padat, dan sarat makna. Lirikan matanya amat tajam dan menggetarkan qalbu. Sungguh betapa asyiknya aku bicara dengan dia. Namanya begitu terkenal, budinya begitu halus. Begitu usai aku menyampaikan syair itu di atas, perempuan itu mengatakan kepadaku:

Aduhai tuan, kau telah memesonaku
Engkaulah kearifan zaman

Mengalirlah dialog antara aku dan dia dalam suasana mesra, saling memuji, mengagumi, dan dengan keramahan yang anggun. Lalu aku mengenalnya sangat dekat dan aku selalu bersama dengan dia. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan. Pengetahuannya tentang yang ini sungguh sangat luar biasa.

KH. Hussein Muhammad (2011)  menyebutkan bahwa, Sang perempuan memberikan komentar-komentar spiritualitas ketuhanan secara spontan atas puisi-puisi Ibnu Arabi di atas, bait demi bait. Sesudah itu, dia memperkenalkan dirinya sebagai Qurrah al-Ain, lalu dia pamit dan melambaikan tangan sambil mengucapkan "salam" perpisahan dan pergi entah ke mana. Dan, Ibnu Arabi pun terpana.

3. Aku bertemu dengan Sayyidah Nidlam, anak perawan Syaikh Abu Syuja'. Sayyidah Nidlam biasa dipanggil 'Ainu 'l-Syams (mata matahari) dan Syaikhahu 'l-Haramain (Gurubesar untuk wilayah Makkah dan Madinah). Aku begitu terpesona akan dia. Maka aku terus mengalirkan pujian-pujian yang begitu deras tak tertahankan kepadanya. Manakala dia bicara, semua yang ada menjadi bisu. Dia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya begitu jelita, tutur bahasanya sungguh lembut, otaknya memperlihatkan kecerdasan yang sangat cemerlang, ungkapan-ungkapannya bagaikan untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun dan bersahaja.

K.H. Hussein Muhammad (2011) menjelaskan bahwa, Banyak komentar orang yang menyatakan bahwa kitab Tarjumanu 'l-Asywaq merupakan refleksi-refleksi kontemplatif Ibnu Arabi atas keterpesonaannya yang luar biasa pada perempuan perawan mahaelok itu. Keterpesonaan ini, sekaligus pengalaman spiritualitasnya bersama Nidlam, diungkapkan jelas dalam syairnya dalam buku Tarjumanu 'l-Asywaq ini.

Betapa rinduku begitu panjang
Pada gadis kecil, penggubah prosa,
Nidlam (pelantun puisi), mimbar, dan bayan

Dialah putri raja-raja Persia
Negeri megah dari Ashbihan
Putri Irak, putri guruku
Sementara aku?
O, betapa jauhnya
Mayangku dari Yaman

Andai saja kalian tahu
Betapa kami berdua
Saling menghilangkan
Cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari

Adakah, kalian, wahai Tuan-Tuan
Pernah melihat atau mendengar
Dua tubuh yang bersaing
Dapat menyatukan rindu

Andai saja kalian tahu
Cinta kami
Yang menuntun kami
Bicara manis,
bernyanyi riang
meski tanpa kata-kata

Kalian pasti tahu
Meski hilang akal
Yaman dan Irak nyatanya
Bisa berpelukan

YANG TERSELIP DALAM BUKU TAFSIR KERINDUAN IBNU ARABI
Perempuan begitu pula laki-laki, kerinduan, birahi, seksual, dan erotisitas tubuh adalah sesak dengan keilahian, sekaligus dapat menjadi sarana penghilangan kesemuaan yang tinggal adalah dimensi spiritualitas, yang justru itulah realitas, yang bila kejadian sangat sulit digambarkan; ia ada dalam tataran das Ding An Sich, secara mahdhoh ada di Tuhan sendiri. Lantas Ibnu Arabi sang pemberani yang justru das Ding An Sich di das Ding fur Mich kan (Tuhan menurut penghayatan aku yang mengsufistik rasionalis lagi empirik) yang sarananya, ya itu lah diri, alam, dan budaya, namun yang terpenting yaitu diri manusia yang dilambangkan laki dan perempuan. Perempuanlah, yakni eksitensial ke-perempuan-an yang benar benar perempuan ajang kepanaan manusia pewujud ketuhanan, sebagai alat ngaboretekeun (ngebrehkeun; ngajelaskeun) bahwa yang ada hanyalah Allah. Makanya ke-perempuan-an di samping meusnahkan segala juga sekaligus mengaffirmasikan secara tegas dan lugas keberadaan dan mengada serta cara mengadakan Allah dalam diri manusia di tengah-tengah alam semesta.

Karena itu puisi-puisi Ibnu Arabi sesak spiritualitas, bukan sesak religionitas, sehingga bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan, meskinya lebih dibaca dari sisi menegasikan yang non ilahiyah, yang justru hasilnya jadi affirmasi kebertuhanan yang justru mengikis pemahaman yang dangkal, gersang, dan tanpa makna. Itulah, puisi adalah wadah mengerti dan suatu pengertian yang tak cukup terwadahi oleh kata-kata, namun terpaksa dan memaksakan digunakanlah kata-kata sebagai simbol dari pikiran dan relung hati yang amat dalam; maka ceraplah pengertiannya bukan kata-katanya. Puisi adalah untaian kata-kata yang sarat makna, penuh nuansa pikir dan hati yang sulit ditebak. Maka, memang puisi Ibnu Arabi bisa diberi makna ganda bahkan majmuk: esoterik dan eksoterik.

K.H. Hussein Muhammad (2011) menjelaskan bahwa, Dalam puisi-puisi di atas, Ibnu Arabi boleh jadi memang sedang dicekam kerinduan yang membara terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain, kecintaan Ibnu Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan intelektual, namun juga secara fisik dan psikhis. Katanya, "Jika saja tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap degan hasrat kebencian, akan aku sebutkan di sini keindahan lahiriah sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan". kan tetapi, para pengagumnya yang fanatik menolak tafsir ini. Dalam ungkapan-ungkapan Ibnu Arbi, menurut mereka, memang sungguh-sungguh tengah berkontemplasi dan merefleksikan cinta yang menggelora kepda Tuhan. Katanya suatu ketika, "Kontemplasi terhadap Realitas tanpa dukungan formal adalah tidak mungkin, karena Tuhan, Sang Realitas, dalam Essensi-Nya, terlampau jauh dari segala kebutuhan lama semesta. Maka, bentuk dukungan formal yang paling baik adalah kontemplasi akan Tuhan dalam diri perempuan". Dengan kata lain, dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.

Reflektif dan kontemplasi spiritualitas ketuhanan Ibnu Arabi, lebih merupakan upaya membantu simpanan-simpanan dan rahasia-rahasia, yang justru perlu dan dapat disadari, diketahui, dipahami, dikenali, dan dimaklumi melalui yang tersimpan dan hal rahasia itu sendiri. Simpanan dan rahasia itu adalah misteri diri di hadapan kita sendiri; namun jelas di hadapan Allah Swt Awj. Karena itu, puisi tadi sebenarnya mengelabui diri, sebab yang hakiki bila dinyatakan baik lewat kata maupun ekspresi gerak, maka ia bukan lagi yang hakiki melainkan gambaran tentang yang hakiki. Nah, kata, bahasa, ekspresi diri yang berupa upaya yang menggambarkan yang hakiki tadi, meski kiasan-kiasan, metafora-metafora, simbol-simbol, dan rumus-rumus yang mengandung makna-makna mistis dan sarat dengan embusan-embusan spiritualitas ketuhanan yang menukik dan melampaui, meskipun dimaknai dan ditangkap maknanya oleh sang penulisnya sendiri pasti tak cukup mewakili, baik bagi dirinya sendiri, apalagi pihak lain.

K.H. Hussein Muhammad (2011) menguraikan beberapa istilah dari Ibnu Arabi tadi di atas sebagai berikut:
1. Dzat Natsr wa Nidlam merupakan ungkapan tentang Wujud Mutlaq dan Sang Pemilik (Pengatur) alam semesta;
2. Mimbar bermakna sebagai martabat-martabat (tangga-tangga) dalam alam semesta, alam kosmos, metafisika, atau "mimbar alam semsta";
3. Bayan diberi makna "Maqam Risalah" (Tempat Kenabian);
4. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi selalu memperlihatkan dualisme makna: lahir dan batin, tubuh dan ruh, ketuhanan dan makrokosmos, teologis dan kosmologis, fisika dan metafisika;
5. Semua puisi berkaitan dengan kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai bentuknya, seperti tema-tema cinta, eulogi, nama-nama dan sifat-sifat perempuan, nama-nama sungai, tempat-tempat, dan binatang-binatang;
6. Ana Dhidduha (Aku lawannya):
    a). Jika anda mengetahui keadaan-keadaan kami berdua, niscaya anda mengerti satu tempat (maqam) yang tidak dapat dipahami akal pikiran;
    b). Penyatuan sifat kasar (al-Qahhr) dan kelembutan (al-Luthf);
    c). Penyatuan dua hal yang berlawanan merupakan cara mengetahui Tuhan, meskipun ini amat sulit untuk dipahami oleh akal (nalar);
7. Pengalaman spiritualitas menghanyutkan, sangat ruhaniah dan irrasional;
8. Gagasan yang berkaitan dengan penyatuan Yin dan Yang atau meskulinitas dan femenimitas, ittihad, dan hulul;
9. Pengetahuan tentang ketuhanan (Ma'rifah Ilahiyyah) hanya dapat ditempuh melalui kontemplasi pada diri perempuan;
10.Melalui perempuanlah Tuhan ditemukan dalam Wujud-Nya yang Mahasempurna dan Mahaindah;
11.Pada diri perempuanlah laki-laki dapat merenungkan keilahian. Ketika laki-laki merenungkan Al-Haqq (Tuhan) dalam dirinya sebagai wujud yang darinya perempuan diciptakan, maka (berarti) dia merenungkan Tuhan dalam modus yang aktif. Namun bagaimanapun juga, jika dia merenungkan Tuhan dalam dirinya tanpa mereferensi pada perempuan, maka dia merenungkan Al-Haqq (Tuhan) dalam modus pasif. Pada diri perempuan dia dapat merenungkan Tuhan baik dalam peran aktif maupun pasif.

Jadi penyebutan nama-nama perempuan dalam kontemplasi ketuhanan Ibnu Arabi menurut K.H. Hussein Muhammad (2011) terseliplah di dalamnya bahwa:
1. Ibnu Arabi ingin memperlihatkan pandangannya tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender;
2. Perempuan adalah jiwa yang sempurna;
3. Antara laki-laki dan perempuan memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang lain. Meski demikian, keduanya adalah setara (sama) dalam kesempurnaannya, ini identik dengan makna firman Tuhan, Tilka 'l-Rusul Fadhdhalna Ba'dhahum 'ala Ba'dh (Para utusan itu satu atas yang lain Kami lebihkan, QSS. Al-Baqarah, 2 : 253). Dari aspek kerasulannya keduanya sama, tidak ada yang lebih ungggul. Tapi dari aspek tugas kerasulannya, memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang. Memang, karena pada saat lain Tuhan juga menyatakan, La Nufarriqu Baina Ahad min Rusulih (Kami tidak membeda-bedakan di antara utusan-Nya, QSS. Al-Baqarah, 2 : 285). Untuk itu, relasi laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa kedua jenis kelamin ini adalah setara dalam aspek universalitas kemanusiaannya, tetapi berbeda dalam tugas kemanusiaannya dengan kadar yang yang relatif, tergandung konteks sosialnya. Ibnu Arabi menyatakan dalam Al-Futuhatu 'l-Makkiyyah bahwa:


Perempuan adalah saudara kandung laki-laki
Di alam ruh dan dalam tubuh kasar
Keduanya satu dalam eksistensi
Itulah manusia
Perbedaan antara mereka aksiden semata
Perempuan dan laki-laki memang beda.


Related Post

0 komentar:

Posting Komentar